Chapter 3 - Dilema

"Kembalilah ke negara asal mu." William mendesah berat, harusnya ia merasa senang akan kembali ke negara tempat ia dilahirkan tapi kini ia merasa gelisah.

Sudah delapan belas tahun lamanya, selama itu ia telah meninggalkan adiknya dan tinggal bersama Jackson menjadi anak angkatnya dan mengubah fakta tentang dirinya dan Mark. Jackson menjadikan William sebagai anak biologisnya sedangkan Mark terdaftar sebagai anak angkatnya, agar Jackson mendapatkan warisan dari ayahnya, seorang milyarder berhati dingin yang sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu dan seumur hidupnya, ia hanya mengenal William sebagai cucu biologisnya karena Jackson tidak pernah menunjukkan anaknya sampai anaknya berumur sepuluh tahun karena hubungan Jackson dan ayahnya renggang sebelumnya.

Selama ini Jackson mengatakan jika ia menjaga adiknya walaupun sekalipun mereka tidak pernah dipertemukan, meskipun Jackson bukanlah pria yang dapat dipercaya, tapi dengan bodohnya William tetap mengikuti apapun keinginan Jackson yang selalu membujuknya dan bahkan mengancamnya dengan alasan keselamatan adiknya dan tadi pagi secara tidak terduga kalimat yang tidak pernah Jackson ucapkan kepadanya akhirnya terlontar.

"Kamu tahu bukan, aku tidak suka merugi." Jackson memulai pembicaraan dengan serius, pria itu membuang pandangannya kearah jendela yang tertutup rapat dan melihat beberapa mobil melintasi mendahului mobil yang tumpanginya. 

"Aku telah menginvestasikan milyaran dolar untuk proyek pembangunan kompleks real estate, sebuah kota modern di pusat kota di kota Java, dan pembangunan itu dihentikan karena perijinan pembangunannya dicabut oleh pemerintah. Untuk itu..." Jackson menoleh dan menatap wajah William "...jadilah gubernur di sana." Lanjutnya.

William tentu saja tersentak dengan apa yang di pinta oleh ayah angkatnya itu.

"Musim pemilihan akan segera dimulai dua bulan lagi, kamu bisa langsung mendaftar, ayah akan mengurus semuanya termasuk untuk mengaturmu memasuki partai politik berpengaruh disana." 

"Itu terdengar konyol." William berkomentar, menjadi gubernur hanya untuk melancarkan proyek miliknya, betapa serakahnya Jackson. William tidak dapat menerimanya, menjadi seorang gubernur adalah sebuah tanggung jawab besar dimana tentu saja banyak lapisan masyarakat yang akan menaruh harapan besar kepada seorang gubernur untuk memajukan provinsi mereka dan menjadi gubernur hanya untuk kepentingan pribadi, itu sangat menjijikkan bagi William.

"Aku tidak bisa melakukannya." Tolak William dengan tegas. Jackson membawanya pergi dari negaranya belasan tahun yang lalu dan ia menyuruhnya kembali hanya untuk menjadi seorang pengkhinat, tentu saja William menolak. Akan lebih baik jika Jackson mengkambinghitamkan dirinya seperti biasanya dan ia akan membersihkan namanya sekaligus melancarkan proyek milik Jackson tapi tidak untuk menjadi seorang pengkhinat.

Jackson tersenyum penuh arti, seolah ia telah menebak jika William memang akan menolak dengan tegas.

"Bagaimana dengan bertemu adikmu?" 

William mengangkat bulu matanya, ia menoleh tidak percaya, sebuah kalimat yang tidak pernah didengarnya sebelumnya karena biasanya Jackson hanya akan mengancamnya dengan cara mengatakan jika ia menolak maka ia akan melenyapkan adik kandungnya tapi tidak dengan kali ini.

"Aku tidak akan mencegahmu untuk mencari adikmu dan aku juga tidak akan menghalangimu bahkan jika kamu ingin bertemu dengannya."

Mata William memerah, jantungnya memompa kencang, kerinduannya kepada adiknya yang selama ini tertahan membuatnya hampir tidak percaya mendengar apa yang diucapkan oleh Jackson terlebih Jackson selalu memonopoli dirinya selama ini.

"Jangan pernah mencoba untuk mengelabui ku." William mengancam tanpa sungkan, matanya mulai memancarkan kemarahan, untuk sesaat ia terbuai dengan bujukan Jackson tapi ia kembali mengingat bagaimana Jackson selama ini selalu menghalanginya mencari tahu informasi tentang keberadaan adiknya. 

Jackson menghancurkannya, setiap bukti yang didapatkannya dari orang suruhannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bagaimana rupa adiknya kandungnya selama ini, dimana keberadaannya dan bagaimana keadaannya, Jackson menghancurkannya dan mengancamnya setiap saat.

"Kamu tahu bukan, aku tidak senang berbohong." Jackson tersenyum kembali saat mobil yang di tumpanginya berhenti, ia kembali menoleh dan mengatakan "Jadilah gubernur dan temukan adikmu, sebuah keuntungan bagimu bukan? Lagipula aku tidak menyuruhmu menjadi gubernur selama masa periode, kamu hanya perlu menjadi gubernur sampai proyek ku selesai." Tukasnya sebelumnya keluar dari dalam mobil.

Ingatan di pagi hari yang sangat memuakkan.

William kembali mendesah berat, Jackson selalu dapat dengan mudah memonopoli dirinya dan membuatnya terjerembab dalam permainan yang Jackson mainkan.

William masih termenung ketika mendengar suara pintu terketuk, seorang wanita melangkah masuk dengan membawa berkas ditangannya. Wanita yang menguncir rapih rambut pirangnya itu, dan berpenampilan layaknya seorang sekretaris pada umumnya, dengan rok span dibawah lutut dan blues putih yang membalut tubuhnya dan terlihat sopan tapi tetap menunjukkan lekuk tubuhnya dari pakaian ketat yang dikenakannya.

"Ini adalah berkas dari tuan Jackson." Lapor wanita bernama Lucy itu, wanita bermata hijau terang yang sudah menjadi sekretaris pribadinya selama hampir lima tahun.

"Kamu boleh pergi sekarang." Ucap William setelah menerima berkasnya.

Lucy mengangguk dengan sopan dan bergegas pergi.

"Lucy." William memanggil sebelum Lucy menggapai gagang pintu.

"Ya pak?"

"Apa Gwen dapat ditemui hari ini?" Tanya William, walaupun pikirannya tengah berkecamuk kini, ia tidak melupakan barang titipan Mark untuk Gwen, untuk itu ia harus mengecek jadwal Gwen karena ia tidak bisa sembarangan ditemui.

"Saya akan mengecek jadwal nona Gwen." Jawab Lucy sebelum benar-benar melangkah keluar dari ruangan William yang luas dipenuhi oleh perabot minimalis dan jendela kaca besar yang membuatnya dapat melihat pusat kota dari ruangannya.

***

Suara musik berdentum memenuhi ruangan, bunyi decitan dari sepatu yang bergerak cepat menyentuh lantai dari gerakan tarian yang Rose lakukan.

Hari sudah hampir pagi, suara detakan jam tidak lagi terdengar tertutup bunyi suara musik yang menggema kencang.

Saat ini sudah hampir jam empat pagi, sejak semalam, Rose tidak berhenti berlatih walaupun ia hanya sendirian kini karena semua penari latarnya telah pulang beberapa jam yang lalu. Ia tidak dapat berhenti menari, hatinya selalu bergejolak kencang jika ia beristirahat sebentar, setiap kalimat yang diucapkan Rayhan ketika ia melamarnya membaut Rose gelagapan karena begitu senang.

Akhirnya, setelah sekian lama mereka menjalin hubungan sepasang kekasih secara sembunyi-sembunyi tanpa mengkonfirmasikan kepada publik tentang rumor hubungannya dengan Rayhan, akan tiba saatnya dunia mengetahui hubungan istimewa diantara mereka dan Rose sungguh tidak sabar menunggu saat itu tiba.

Tangan Rose terulur lentur meliuk mengikuti irama ketika seseorang kemudian menariknya. Tubuhnya tersentak dan tertarik kedalam dekapan pria yang menariknya.

Mata Rose membuka lebar, ia sangat terkejut sampai ia menyadari jika pria yang menariknya adalah Rayhan, seketika wajah terkejutnya berubah menjadi sebuah senyuman.

"Mengapa kamu berlatih sekeras ini?" Tanya Rayhan, ia sengaja tidak melepaskan tubuh Rose dari dalam dekapannya dan menuntunnya untuk berdansa bersamanya.

"Aku ingin konserku sempurna." Jawabnya sedikit terengah.

"Kamu kesulitan bernafas, apa mau aku berikan nafas buatan?" Goda Rayhan, membuat Rose tersenyum malu dan menyembunyikan wajahnya dibalik dada Rayhan, tentu saja semua itu membuat Rayhan gemas dan mendekap Rose lebih erat lagi.

"Aku akan melamarmu di depan ribuan penonton konsermu. Apa kamu keberatan?" Tanya Rayhan, tubuh Rose seketika membeku, ia mengangkat wajahnya dan menatap Rayhan tidak percaya.

"Kamu keberatan?" Tanyanya lagi, tentu saja Rose segera menggeleng cepat dan mengatakan "Aku sangat setuju."

Rayhan kemudian melepaskan tubuh Rose dan menuntunnya untuk mematikan irama musik lalu kemudian duduk bersandar pada dinding kaca besar.

Kepala Rose bersandar tepat di bahu bidang Rayhan, sambil mendengarkan sebuah lagu yang baru saja diselesaikan oleh Rayhan.

Entah sudah berapa puluh lagu yang Rayhan buatkan khusus untuk Rose. Rose adalah cinta pertamanya, ia tidak pernah melirik wanita lain selain Rose.

Sebelum menjadi seorang produser, Rayhan juga adalah seorang superstar, mereka bertemu disebuah panggung konser amal dan dari situlah hubungan asmara mereka mulai terajut dan tanpa terasa sudah lima tahun mereka bersama sampai pada akhirnya nanti mereka akan menikah.

"Hubungan kita akan berakhir bahagia seperti sebuah drama romantis. Aku sangat tidak sabar menunggu hari pernikahan kita." Ucap Rose memulai pembicaraan sambil menatap wajah Rayhan yang juga tersenyum menatapnya hangat sambil sesekali merapikan rambutnya yang berantakan, menyelipkan dibalik telinganya dan menyentuh hangat pipinya.

"Berjanjilah jika aku satu-satunya pria yang ada di hidupmu." 

"Memangnya ada pria lain yang selama ini mengisi hatiku selain kamu dan juga ayahku?"

Rayhan terkekeh pelan mendengar jawaban Rose.

"Terkadang aku takut kamu meninggalkanku disaat terakhir, kamu tahu bukan jika aku hanya memilikimu di dunia ini. Jika kamu berpaling maka aku akan benar-benar sendirian." Raut wajah Rayhan sedikit menggelap, sorot matanya terlihat sendu. Kata-kata sendirian selalu saja membuat Rayhan yang ceria menjadi bersedih seperti saat ini.

"Aku tidak akan pernah berpaling, aku hanya mencintaimu." Jawab Rose, ia tersenyum sambil menggenggam hangat punggung tangan Rayhan lalu bergerak memeluknya.

"Aku tidak dapat hidup tanpamu Rose... Aku mencintaimu." 

Semakin ia mencintai Rose maka semakin besar juga rasa takutnya, ia takut jika Rose akan meninggalkannya sama seperti kakaknya yang meninggalkannya dulu, tepat di hari ulang tahunnya.

...