"Sayang ... Ayo kita pulang. Aku datang kesini menjemputmu dan anak kita. Aku tak akan membiarkan kalian jauh dariku lagi", ucap Ardi.
"Mas, apa mas yakin? Aku ...."
"Aku tak ingin mendengar penolakan darimu. Aku ini masih suamimu sayang. Jadi tempatmu adalah dimana suamimu berada. Kamu paham itu?!"
Nia hanya diam dan mengangukkan kepala. Dia tak lagi membantah ucapan laki-laki halalnya itu. Dia membereskan beberapa potong pakaian dan memasukkannya dalam tas. Ardi membantunya membawa tas itu kedepan. Diteras rumah dia melihat Arlan tertidur diatas bale-bale bambu dengan lelapnya. Sifat jahil Ardi kambuh, dia memetik setangkai bunga marigold yang tumbuh dihalaman lalu mengusik hidung Arlan dengan bunga nya.
Arlan yang tertidur tadi mendadak terbangun dan mengucek-ucek geli hidungnya.
Huaaaciiih ... Hiaaaaciiih....
Ardi tertawa melihat sahabatnya bersin-bersin akibat ulahnya itu. Arlan yang sadar dijahili melotot pada Ardi. Lalu melemparkan marigold itu pada sahabatnya.
"Dasar si kampret. .. ",maki Arlan.
"Nyenyak sekali tidur mu, Lan"
"Dari pada aku bosan menunggu kalian bicara yang lama sekali, lebih baik aku tidur",sewot Arlan.
"Hahahaha... Maafkan aku. Tapi aku berhutang padamu, Arlan. Terima kasih"
"Kalau begitu nanti traktir aku makan malam",todong Arlan
"Siap... Boss!!"
Tania keluar dari dalam rumah dengan sudah berpakaian rapi, kedua laki-laki itu menoleh. Dia terlihat berbeda. Mungkin aura kehamilan yang membuatnya begitu, pikir mereka.
"Ayo sayang ...",ajak Ardi setelah mengunci pintu rumah.
"Ardi ... ",panggil Arlan. Dia melemparkan kunci mobilnya. Dengan sigap Ardi menangkapnya.
"Kamu saja yang bawa mobilnya",ucap Arlan sambil mengedipkan mata.
Ardi membukakan pintu depan mobil buat Tania. Arlan duduk santai sambil bermain ponsel dikursi tengah, sedangkan Ardi mengambil kendali mobil. Dia mengendalikan mobil itu dengan kecepatan sedang, sambil bersenandung kecil. Hatinya sedang senang saat ini. Sesekali Ardi melirik kesisi kirinya, meyakinkan kalau Tania benar-benar ada disebelahnya.
Sesampainya dipusat kota Ardi membelokkan mobilnya kesebuah restoran mewah. Dia menarik rem tangan lalu mematikan mesin mobilnya.
"Mampir kesini, Mas?", tanya Tania.
"Iya, sayang. . memberi makan anak burung yang ada dibelakang", Ardi melirik pada Arlan yang melotot padanya.
******
Pukul sepuluh malam Ardi dan Tania sampai diapartemennya. Tania merasa seluruh badannya pegal-pegal, dia langsung tidur setelah membersihkan diri. Ardi tidak dapat tidur dia asyik memandang wajah cantik perempuannya kerinduannya itu. Dia takut kalau-kalau ini semua mimpi yang akan hilang saat dia bangun nanti.
"Mas Ardi belum tidur?",tanya Nia yang tiba-tiba terbangun.
"Hmmm..."
"Tidak bisa tidur? Mau aku buatkan sesuatu?"
"Tidak usah sayang. Aku tidak mau kamu terlalu capek nantinya. Istirahatlah saja"
Nia kembali memejamkan matanya. Ardi kembali memandangi wajah Tania.
"Mas ... "
"Hmm ..."
"Kenapa memandang wajahku terus? Apa ada yang aneh dengan wajahku?"
"Tidak ada. Hanya saja. .. ", Ardi tersenyum pada Nia
"Hanya saja apa Mas?"
"Hanya saja kamu cantik sekali sayang. Bikin aku gemes. Pipinya itu loh ..."
Tania bangun dari tidurnya. Dia memonyongkan bibirnya.
"Maksud Mas Ardi aku gendut ya....??!",sewot Nia.
"Tidak sayang. Kamu tidak gendut. Kamu itu sangat menggemaskan. Aku suka itu"
Tania menatap pada suaminya, meminta keyakinan pada laki-laki yang tidur disampingnya itu. Ardi membelai-belai kepala perempuan kesayangannya itu.
******
"Mas ... "
"Mas ..."
"Hmmmm...", Ardi yang masih mengantuk membuka matanya.
"Bangun Mas, bersihkan dirimu. Mas Ardi kan harus kekantor"
Ardi melirik jam yang ada didinding. Hampir pukul enam tiga puluh pagi. Dengan separuh menganguk dia bangun menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setengah jam kemudian dia keluar dengan berpakaian rapi. Tania sudah menyiapkan sarapan untuknya di meja makan.
Kali ini nafsu makan Ardi meningkat empat bahkan lima kali lipat dari biasanya. Nyawanya seperti kembali kedalam tubuhnya. Setelah menghabiskan sarapannya, Ardi bersiap menuju kantor. Tania datang membawakan jasnya.
"Terima kasih, sayang", ucap Ardi.
Nia membantu Ardi merapihkan jas dan pakaiannya.
"Kamu harus janji padaku, sayang", ucap Ardi sebelum berangkat sambil merangkulkan tangannya pada pinggang Nia.
"Janji?", tanya Nia.
"Iya, Kamu harus janji padaku"
"Janji apa, Mas?"
"Berjanjilah kamu tak akan pernah lagi pergi dari sisiku, sayang. Jangan kamu ulangi lagi perbuatan mu kemarin. Kamu membuatku menjadi gila. Jika kamu tidak berjanji maka aku akan tetap tinggal disini?"
"Baiklah, aku janji Mas"
"Janji apa?"
"Aku janji tidak akan pergi lagi dari sisimu. Dan aku tidak akan pergi tanpa izin dari Mas Ardi. Maafkan aku ya, Mas"
"Tidak bisa sayang. Tidak bisa dimaafkan begitu saja. Aku akan menghukummu"
Belum sempat Tania menjawab kata-kata suaminya itu, Ardi langsung menerobos masuk mengajak bibir manis Nia bermain. Nia tak bisa melawan perlakuan suaminya itu. Dia hanya mengikuti irama indah yang dimainkan bibir nakal Ardi padanya.
"Jangan diam saja, balas aku",bisik Ardi.
Lagi-lagi dia tak bisa membantahnya, kali ini dia membalas perlakuan Ardi tadi dengan serangan yang lembut dan seirama. Setelah puas barulah Ardi melepaskannya. Tania mengambil tangan suaminya dan mencium punggung tangannya. Lalu kembali pada rutinitas hariannya setelah Ardi pergi kekantornya.
******
Sinar matahari yang menguning saat senja menyeruak masuk kedalam kamar apartemen, Nia segera menutup horden apartemennya dan menyalakan lampu. Sebentar lagi malam yang dingin akan menjelang, langit gelap akan menutupi sebagian bumi.
Ting ... tong ....
Tania segera melihat kearah pintu keluar, melihat siapa yang membunyikan bel. Dari layar monitor dia melihat Arlan berdiri didepan pintu.
Cekreeeeekkk ...
"Sore, Nia ... mana Ardi?", sapa Arlan.
"Sore Pak Arlan, maaf Mas Ardi belum pulang. Tadi dia menelepon akan pulang sedikit terlambat hari ini"
"Hmmm... dia mulai semangat lagi bekerja setelah kedatangan mu. Kalau begitu tolong serahkan berkas ini padanya, Nia"
"Baik, Pak. Nanti saya sampaikan pada Mas Ardi"
"Oiya... satu lagi. Jangan panggil aku pak. Aku tak setua itu. Bahkan Ardi lah yang setahun lebih tua dariku. Dan jangan menggunakan bahasa seresmi itu lagi padaku. Kami paham, Nia"
"Jadi harus bagaimana?"
"Arlan saja"
"Tidak mau. Tidak sopan"
"Kalau begitu, panggil Kak Arlan. Lebih akrab bukan?!"
"Baiklah, Pak ... eh... Kak Arlan"
"Kalau begitu, aku permisi dulu"
Arlan pergi meninggalkan Nia yang masih terheran-heran. Tapi ya sudahlah, pikir Nia. Satu jam kemudian Ardi sampai dari kantornya. Nia membantu Ardi membereskan pakaiannya.
"Ini Mas ...", Nia menyerahkan berkas titipan Arlan tadi seletah Ardi duduk santai di sofa.
"Apa ini, sayang?", tanya Ardi.
"Tadi Kak Arlan datang mencarimu lalu dia menitipkan itu untuk Mas Ardi"
Ardi menghentikan minumnya, lalu meletakkan cangkir teh nya diatas meja.
"Kamu panggil dia apa, sayang?"
"Kak Arlan"
"Sejak kapan seperti itu?"
"Sejak dia datang tadi, Mas. Dia yang meminta ku memanggil seperti itu. Katanya dia belum terlalu tua untuk dipanggil pak, malah kata Kak Arlan, Mas Ardi lah yang lebih tua satu tahun darinya"
"Dasar Arlan sialan. Awas kamu nanti", gumam Ardi.
****