Senin, 23 maret
Waktu telah menunjukan pukul 5.45 pagi. Pak Maman memasukan baju seragam ke dalam celananya dengan tergesa-gesa. Ia sudah terlambat 15 menit. Ia menyeruput teh dan mengabaikan sarapan lezat yang dihidangkan istrinya di atas meja. Sial, gara-gara pesta alumni itu, rutuknya dalam hati.
Pak Maman lantas memakai sepatu hitam dan memasukkan kaus kaki ke kantong celananya. Ia akan memakainya nanti setelah sampai ke pos satpam.
Dengan tergesa, Pak Maman memasukan kunci gerbang sekolah lalu membukanya. Ia langsung menuju dinding di balik gerbang, menempelkan jempolnya pada sebuah kotak pemindai sidik jari hingga berbunyi beeb.
"Tumben telat, Pak?" tanya Pak Kelik, satpam sekolah sekaligus rekan kerja Pak Maman. Dia sedang duduk di depan pos satpam. Ia menunggu Pak Maman yang membawa kunci posnya.
"Saya kelelahan, Pak. Jadi bangunnya telat," kata Pak Maman membela diri. Pak Maman adalah seorang satpam Sekolah Menengah Atas Negeri di Solo.
"Memangnya habis ngapain? Kok, sampai kelelahan?" goda Pak Kelik.
Usia Pak Maman memang 10 tahun lebih tua dari Pak Kelik. Namun, mereka bersahabat karena seprofesi dan setempat kerja serta tetangga. Rumah mereka masih satu komplek dengan sekolah tempat mereka bekerja.
"Gara-gara reuni itu," jawab Pak Maman sedikit kesal. Ia mengeluarkan kaus kaki dari kantung celana lalu memakainya.
"Lho, memangnya kenapa dengan reuninya?" tanya Pak Kelik heran.
Waktu reuni itu diadakan, Pak Kelik tengah pulang ke kampung halamannya. Ia menengok ibunya yang sakit.
Untuk keamanan, panitia akan meminta bantuan polisi. Tentu dengan ijin khusus. Jadi Pak Kelik dan Pak Maman tak perlu lembur menjaga keamanan jalannya pesta reuni yang diadakan di sekolah tersebut.
Reuni itu diadakan pada hari sabtu malam. Kalaupun Pak Maman merasa kelelahan, seharusnya pada hari minggu. Karena hari sabtu itu ia dipaksa begadang untuk menunggu kunci gerbang dikembalikan.
Sekarang adalah hari senin. Artinya, Pak Maman mempunyai satu hari yang cukup untuk istirahat. Tapi ia berkata bahwa sekarang ia kelelahan. Hal itu membuat Pak Kelik merasa penasaran.
"Panitianya payah! Masa jam 1 pagi baru mengembalikan kunci gerbang. Katanya jam 12 malam tet bakal dikembalikan." Pak Maman berdiri menghentakkan kakinya supaya pas di sepatu hitamnya.
"Bukan itu saja, petugas kebersihan yang seharusnya membersihkan, ternyata cuma membongkar panggung dan kanopi saja. Lalu, sampah-sampahnya? Ya dibiarkan begitu saja. Apa itu namanya tanggung jawab? Untung saja saya ngecek minggu sorenya. Kalau tidak, hari ini di halaman itu masih banyak sampah yang berserakan," lanjut Pak Maman sambil menunjuk-nunjuk lapangan.
"Wah, harus protes Pak Kepala Sekolah, nih! Lain kali tidak boleh mengijinkan reuni di sekolah. Kalau begitu terus, kita juga yang rugi," kata Pak Kelik menggeleng-gelegkan kepalanya. "Tahu begitu, saya tidak pulang. Kan, kasihan Sampeyan."
"Protes apa to, Pak kelik? Tahu sendiri perangai Pak Kepala Sekolah kita itu bagaimana."
"Benar juga sih, Pak. Tapi tetap saja kita harus bicara sama Pak Kepala Sekolah."
"Bicara bagaimana? Lha wong ketua panitianya itu keponakan Pak Kepala sendiri, kok! Bisa-bisa nanti dikira kita tukang ngeluh. Seolah-olah sekolah ini milik kita. Tidak boleh buat ini, tidak boleh buat itu. Bisa rame nanti," kata Pak Maman yang tahu persis sifat kepala sekolah SMA itu.
"Lalu kita harus bagaimana, Pak? Masa harus diam saja?" tanya Pak Kelik.
"Mau bagaimana lagi? Namanya juga wong cilik. Bisanya ya diam. Sudahlah! Bagaimana keadaan ibumu?" tanya Pak Maman.
"Alhamdulillah. Sudah mendingan, Pak."
"Syukur kalau begitu." Pak Maman membuka pintu pos dan mengambil dua gerendel kunci. Satu gerendel bertuliskan L dan gerendel lainnya bertuliskan I. Bangunan sekolah itu membentuk huruf LI dan terdiri dari dua lantai.
"Kamu buka yang sisi kanan(gedung L), saya buka yang kiri(gedung I)!" usul Pak Maman.
Pak Kelik mengangguk dan menerima dengan lapang pembagian tugas tersebut. Sudah 25 tahun bekerja di sekolah itu, Pak Maman belum juga menyadari bahwa kelas di gedung L lebih sedikit daripada kelas di gedung I.
Kalau dilihat dari banyaknya kunci, memang gedung L lebih banyak, tapi kunci-kunci itu merupakan kunci cadangan dari lab-lab, uks, koperasi, dan ruang lain yang tak perlu di bukanya. Pak Kelik sudah menjelaskannya berkali-kali padanya. Tapi Pak Maman tak pernah mau kalah.
Pernah suatu kali Pak Maman ingin mencoba membuka kelas di gedung L. Belum sempat memulai, dia sudah menyerah duluan.
Benar saja, Pak Kelik selesai lebih dulu. Ia berjalan kembali menuju posnya. Baru setengah perjalanan, Pak Kelik mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dan mendapati Pak Maman bersandar di tembok pembatas lantai dua gedung I. Tangan kanannya melambai-lambai, sedang tangan satunya diletakan di dada. Raut wajahnya menandakan kesakitan dan ketakutan.
Dengan segera, Pak Kelik berlari ke arahnya. Ia menaiki anak tangga dua-dua sekaligus.
"Ada apa, Pak?" tanyanya meraih tubuh renta Pak Maman yang merosot ke lantai. "Tunggu sebentar, saya telpon ambulan!"
Sebelum Pak Kelik sempat memencet nomor darurat, Pak Maman menghentikannya, "bukan--bukan ambulan." Pak Maman menelan ludahnya, lalu berkata lagi, "telpon--telpon Pak Kepala Sekolah. Cepat!"
"Itu nanti saja, yang penting Bapak ke rumah sakit dulu," protes Pak Kelik.
"Aku--aku--tidak sakit. Aku-- aku--kaget," kata Pak Maman di sela-sela bibirnya yang gemetar. Pak Kelik mengernyit menatap Pak Maman.
"Kaget? Kaget kenapa, Pak?"
"Itu! Itu--di sana! " tunjuk Pak Maman ke kelas paling pojok. Pak Kelik menoleh menatap kelas yang pintunya sedikit terbuka itu dengan bingung.
"Di sana--ada--ada--mayat!" lanjut Pak Maman. Napas Pak Maman tidak stabil. Debaran jantungnya yang kuat terasa saat Pak Kelik memegang pergelangan tangannya. Tubuhnya juga gemetar tak keruan.
Sesaat Pak Kelik merasa kasihan kepada rekannya yang sudah tua itu. Ia yakin Pak Maman pasti sangat kelelahan hingga berhalusinasi.
Mana ada mayat di sekolah? Paling itu hanya kerjaan iseng alumni-alumni yang kemarin reuni, pikirnya.
Pak Kelik ingin menuntun Pak Maman turun menuju pos satpam, tapi ia berkeras menyuruh Pak Kelik melihat ruang kelas 3 IPA 3. Meski malas, Pak Kelik melangkah menuju kelas yang ditunjuknya.
Semakin ia mendekat, bau busuk semakin menusuk hidungnya. Setengah percaya, Pak Kelik membuka pintu kelas itu. Ia tertegun menatap sesosok tubuh wanita berambut hitam panjang dengan blus putih, rok pink, dan tanpa alas kaki tergantung tepat di belakang pintu. Mayat itu menghadap ke dalam kelas sehingga Pak Kelik tak dapat mengenalinya.
Meski begitu, pemandangan di depannya ini telah membuat tubuh Pak Kelik terasa kaku. Mulutnya menganga. Ia tak menyangka bahwa perkataan Pak Maman benar.
Dengan langkah pelan, Pak Kelik menyentuh kaki si mayat. Ia memastikan bahwa itu bukan boneka yang sengaja digantung untuk mengisengi alumni kemarin. Kulit dingin dan kaku terasa di telunjuknya.
"Astaghfirullah! Ini mayat beneran, Pak!" serunya pada Pak Maman.
***
Bersambung.