Sabtu, 21 Maret
dr. Lutfi sampai ke acara reuni tepat jam setengah delapan malam. Rupanya sudah banyak alumni yang datang. Dia melangkah menikmati alunan musik band tahun 2000-an yang dibawakan sekelompok orang di panggung tengah lapangan.
Suasananya sangat ramai dengan hiasan-hiasan dan lampu kelap-kelip yang dipasang di tiang-tiang kanopi. Meja prasmanan berisi aneka macam hidangan tertata rapi di pinggir lapangan di koridor kelas. Pesta reuni itu diadakan di halaman sekolahnya yang dulu.
dr. Lutfi melihat Dhika yang tengah berdebat dengan dua orang wanita. Dhika Rahardian adalah panita pesta reuni ini. Namanya tercantum sebagai ketua di kertas undangan. dr. Lutfi berjalan menghampirinya.
Tapi rupanya Dhika masih sibuk berdebat dengan dua orang wanita tadi. Ia tidak dapat melihat wajah kedua wanita tersebut karena mereka membelakanginya. Wanita yang pertama berambut panjang terurai sedang yang kedua rambutnya dikuncir kuda.
"Cuma sebentar," kata wanita yang pertama.
"Iya, kami janji akan mengembalikannya sebelum jam sembilan," kata wanita ke-dua.
"Tidak boleh! Aku memang diberi kunci pos satpam, tapi aku tidak boleh memasukinya. Aku hanya boleh membuka gerbang saja. Lah, ini kalian malah mau minta kunci kelas. Bisa dimarahi Pak Maman nanti," kata Dhika menggelang-gelengkan kepalanya. Kedua wanita itu saling berpandangan kecewa.
"Dhik, Aku pinjam kunci kelas 3IPA3, dong!" kata dr. Lutfi berdiri disamping wanita pertama.
Kedua wanita itu menoleh ke arah dr. Lutfi.
"Lutfi?" kata wanita pertama. Rupanya dia adalah Erin, teman sekelas dr. Lutfi dulu. Dan wanita yang satunya ialah Herlina Susanto.
"Ini lagi. memangnya ada apa sih di sana? Kok, pada minjem kunci kelas itu?" tanya Dhika penasaran.
"Eh, kami dulu berjanji kumpul di sana saat dewasa," kata Lina.
"Oh, lima sekawan itu? tapi Eli ... " Dhika tidak jadi menyelesaikan kalimatnya karena melihat ekspresi ketiga temannya yang tegang saat mendengar nama Eli disebutkan. Dhika menghembuskan nafas panjang, "oke, tapi jam sembilan harus sudah dikembalikan."
Dhika membuka kunci pos satpam dan mengambil satu gerendel kunci bertuliskan gedung I. Ia memberikannya pada Erin, "ingat, ya! Jam sembilan."
Erin menerimanya dengan tersenyum, "terimakasih."
Mereka berjalan menuju lantai dua gedung I dengan saling bertanya kabar mereka masing-masing. Kelas 3 IPA 3 berada di pojok atas gedung I.
Sementara Erin berkutat dengan kunci-kunci, suara nada dering ponsel Lina berbunyi. "Eh! Sebentar, ya! Bossku nelpon." Lina beranjak meninggalkan kedua orang itu untuk menerima telpon dari Bossnya.
"Bisa tidak?" kata dr. Lutfi pada Erin.
"Susah, Nih! Gelap," kata Erin. dr. Lutfi menyinari kunci itu dengan lampu ponselnya. Tangan Erin yang berkeringat susah memutar kunci yang masih jadi satu dengan gerendelnya.
"Ambil dulu saja kuncinya," usul dr. Lutfi. Dia melepaskan satu anak kunci bertuliskan 3 IPA 3 dari gerendelnya lalu memberikannya pada Erin.
Erin memasukkan anak kunci itu ke dalam lubangnya. Ceklek. Suara kunci terbuka. Akhirnya mereka bisa memasuki kelas mereka yang dulu.
dr. Lutfi meraba-raba dinding di belakang pintu untuk menyalakan lampu. Kelas itu masih sama dengan yang diingatnya. Papan tulis putih, meja guru yang tinggi, meja dan kursi murid, serta lemari besar di pojok, semua sama.
Hanya saja sekarang ditambah meja kecil tinggi di tengah ruangan. Rupanya di dalamnya ada LCD Proyektor. "Wah! Sekarang tambah canggih saja ya, Rin?!" komentarnya. Erin yang mengintip meja bersama dr. Lutfi pun mengangguk setuju.
Erin menghampiri meja di pojok kiri tengah lalu duduk, "dulu kita di sini."
dr. Lutfi duduk di meja belakang Erin. "Aku dan Frans selalu menggodamu dari sini,"
"Sudah lama, ya?!" kata Erin memandang ke depan. Matanya menerawang.
"Iya, sudah lama. Ga nyangka, sekarang kamu berubah, Rin," kata dr. Lutfi memandang Erin.
"Kenapa? Tambah gendut, ya?" tanya Erin berbalik. dr. Lutfi menanggapinya dengan tersenyum. "Namanya juga sudah ibu-ibu, Fi!"
"Suamimu orang mana?" tanya dr. Lutfi.
"Orang Surabaya. Makanya sekarang aku tinggal di Surabaya. Aku ke sini cuma buat satu minggu," jawab Erin.
"Wah! Ga banyak berubah, ya?!" kata Lina yang berdiri di tengah pintu. Ia menatap kelas dengan senyum mengembang. Ponselnya masih menyala di tangannya. Ia lalu masuk ke dalam kelas.
"Tambah canggih, lho!" seru dr. Lutfi menunjuk meja tempat LCD Proyektor disimpan.
"Dulu jaman kita belum ada yang begituan," Lina duduk di depan Erin. Di sanalah tempatnya duduk saat sekolah. Sama seperti Erin, ia memandang ke depan, menerawang, mengingat kenangannya lima belas tahun yang lalu.
__=__=__
Tahun 2003, pagi hari.
"Lin, sudah ngerjain PR matematika belum?" tanya Erin yang duduk di belakangnya. Saat itu lima menit sebelum bel masuk berbunyi.
"Memangnya ada PR?" tanya Eli yang duduk di samping Erin.
"Ada, Li. Halaman 34." Lina yang terkenal paling rajin diantara teman-temannya berkata.
"Waduh! Matematika ada di jam pelajaran berapa?" tanya Eli.
"Pertama."
"Gawat, dong! Pinjam PR mu!" pinta Eli.
Belum sempat Lina memberikan bukunya, bel sudah berbunyi. Guru matematika mereka yang killer hadir kemudian. Guru itu memang sangat disiplin. Guru itu langsung meminta PR nya dikumpulkan. Karena lupa, Erin dan Eli tidak boleh mengikuti kelasnya. Mereka keluar dengan dua orang siswa lainnya, Lutfi dan Frans. Tiba-tiba Lina menyusul.
"Loh? Kamu kan sudah ngerjain PR nya. Kok ikut keluar?" tanya Erin bingung.
"Salah halaman," jawab Lina yang membuat mereka tertawa. Sejak itulah lima sekawan terbentuk.
__=__=__
Sekarang, lima belas tahun kemudian, Lina kembali ke kelas itu. Bibirnya tersenyum.
"Senang amat, Lin?!" komentar Erin.
"Eh, iya," jawab Lina yang masih menyunggingkan bibirnya.
"Mikirin apaan, sih?" Erin penasaran.
"Ga pa-pa, kok! Cuma tadi Boss bilang kalau aku mau naik jabatan." Lina tersenyum tambah lebar.
"Wah, selamat!" kata Erin memeluk sahabatnya itu dari belakang mejanya.
"Kamu kerja dimana, Lin?" tanya dr. Lutfi.
"Di PT. Batik Abadi. Aku jadi wakil manager dan sebentar lagi bakal jadi manager." Senyum masih menghiasi wajah Lina yang cantik.
"Aku ketinggalan apa, nih?" Seorang laki-laki memasuki kelas itu. Semua mata menatapnya. Laki-laki itu sangat tampan. Badannya yang gagah tersembunyi di balik kemeja putihnya. Celana jeans pas di kakinya yang panjang. Sepatu Sneakers dan jam tangan Rolex melengkapi gayanya yang mahal. Kulitnya putih dan bau parfumnya maskulin.
"Frans?!" kata Erin mengernyit menatap laki-laki itu. Ia membenci laki-laki tampan itu. Tapi ia menahannya. Dia tidak mau merusak reuni ini. Tidak sekarang. Ia menghirup napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Erin mengendalikan amarahnya.
"Yap!" kata Frans masuk ke dalam kelas. Ia memeluk dr. Lutfi yang masih terbengong menatap dirinya, "Apa kabar, Bro?"
"Baik. Kamu?" kata dr. Lutfi.
"Seperti biasa," katanya duduk di samping dr. Lutfi.
"Gimana Jakarta, Frans? Panas?" tanya Lina berbalik ke belakang.
"Lumayan," kata Frans memandang Lina. "Dari semua orang kawanku, kau yang paling berubah, Lin."
"Kenapa? Tambah cantik?" goda Lina.
"Kalau seandainya kamu seperti ini waktu sekolah dulu, aku pasti sudah memacarimu," goda Frans.
"Ah, tak usah bilang, dulu. Saat ini pun kau ingin memacarinya, bukan?" kata Erin sengit.
"Kau itu, Frans. Tak pernah berubah," gelak dr. Lutfi. Semua tertawa tapi Erin hanya tersenyum sekilas.
"Aku serius," kata Frans. "Tapi aku lebih penasaran bagaimana Eli jika sudah seumur kita?"
Hening. Semua mendadak berhenti tertawa. Raut tegang dan sedih mewarnai muka mereka.
"Itu di sini, kan? Di pintu ini?" Frans menunjuk pintu kelas yang terbuka.
"Ya, di situ. Aku mendengar wali kelas bilang Eli bunuh diri menggantung dirinya di pintu itu," Erin memandang pintu dengan mata berkaca-kaca. Eli, Elionora adalah sahabat mereka.
"Bunuh diri?" Lina menyaut, "Eli tidak bunuh diri! Dia dibunuh!" Semua mata terkesiap menatap Lina. Mereka mencerna perkataan Lina dengan kaget.
"Apa maksudmu?" tanya Erin.
"Jangan bercanda, Lin!" kata Frans.
"Aku tidak bercanda," kata Lina.
"Bagaimana kau tahu kalau Eli di bunuh?" tanya dr. Lutfi.
"Aku tahu. Pokoknya aku tahu,"
"Jangan ngaco kamu, Lin. Apa buktinya kalau Eli dibunuh?" tanya Frans.
"Ada! Buktinya ada. Cuma waktu itu kita masih remaja. Kita tak bisa berpikir jernih. Setelah dewasa, aku memikirkannya dan aku tahu kalau Eli sebenarnya dibunuh. Coba kalian pikir lagi!" kata Lina berdiri.
"Tidak mungkin, Lin. Eli jelas-jelas bunuh diri. Semua orang di sekolah kita tahu," Frans berdiri diikuti dr. Lutfi.
"Tidak! Mereka tidak tahu. Mereka hanya diberitahu," Lina melangkah ke depan kelas. Erin masih duduk diam di tempatnya. Jari-jarinya terpaut gugup.
"Tapi kita semua melihat jenazahnya," kata dr. Lutfi.
Lina menatap mereka dengan dagu yang di dongakan ke atas. Tangannya menggenggam erat ponselnya yang bersinar. Dia menantang, menantang semua bukti bahwa Eli bunuh diri.
"Jika kalian tak percaya, besok temui aku di sini jam delapan pagi. Aku akan menunjukan bukti bahwa Eli dibunuh." Dengan langkah tegak dia keluar dari kelas itu.
***
Benarkah Elionora dibunuh? ataukah Lina hanya berbohong? Penasaran?
Bersambung.