Sabtu, 21 Maret
dr. Lutfi Prasetya adalah Dokter di sebuah rumah sakit umum di Semarang. Sudah satu tahun dirinya berdinas jauh dari rumah.
Setelah sebulan mengajukan cuti, akhirnya tiga hari yang lalu pengajuannya disetujui. Dia mendapat cuti selama satu minggu dihitung dari hari senin besok.
Meski cutinya hari senin, dr. Lutfi pulang ke rumahnya setelah selesai bertugas malam di hari sabtu. Hari minggu memang jadwalnya untuk libur. Jadi jika dijumlah, dia mempunyai hari libur sebanyak 9 hari.
Perjalanan ke rumah dari tempat dirinya ditugaskan sebenarnya hanya 2-3 jam. Seandainya jalanan tidak macet, tentunya. dr. Lutfi memutuskan pulang dengan travel ketimbang mobil pribadinya. Alasanny supaya ia bisa tidur di jalan. Lima menit setelah duduk di kursi penumpang, ia tertidur.
Ia terbangun karena tepukan bahu dari penumpang lain di sampingnya, "Mas, ditanya Pak supir. Sudah sampai Solo. Mau turun dimana?"
dr. Lutfi meregangkan tubuhnya sebentar, "oh! Di klinik Harapan Bunda, Pak! Di jalan Kartini!"
dr. Lutfi turun dari travel tepat di depan klinik. Ibunya sudah menunggunya di depan, tempat bagian informasi. Dia sedang bercanda dengan perawat-perawat yang sedang bertugas. Ny. Prasetya tersenyum saat melihat anaknya memasuki pintu klinik.
"Lho, mana barang-barangmu?" tanya Ny. Prasetya menatap dr. Lutfi yang datang tanpa koper atau ransel. Dia hanya memakai tas selendang kecil.
"Barang apa, Ma? Baju? Kan ada di sini semua," katanya melangkah memasuki klinik.
"Baju, laptop, dan lain-lain?" Ny. Prasetya mengikuti anaknya.
"Baju kan di sini banyak, Ma. Laptop juga ada. Stetoskop? Tensimeter? Disini semua ada." dr. Lutfi terus melangkah melewati ruang kerja ayahnya dan Dokter SPoG, rekan kerja ayahnya. Ia terus menuju ke belakang klinik. Ia melewati ruang bersalin.
"Setidaknya bawa FirstAids, Le*. Kalau terjadi apa-apa di jalan, gimana?" kata Ny. Prasetya. dr. Lutfi adalah anak satu-satunya. Jadi wajar jika Ny. Prasetya menghawatirkannya.
"Tapi tidak kan, Ma? Nyatanya aku baik-baik saja." dr. Lutfi sampai ke bagian rawat inap. Ia mendengar tangis bayi dari salah satu kamar. Ia berjalan terus ke belakang hingga sampai ke pintu yang menghubungkan klinik dengan ruang keluarga rumahnya.
Memang rumah keluarga dr. Lutfi menjadi satu dengan klinik. Ini semua demi pasien. dr. Prasetya, ayahnya, tidak mau membuang-buang waktu. Ia tidak mau berjalan jauh untuk menemui pasiennya. Dengan membuka klinik di depan rumahnya, dr. Prasetya merasa lebih praktis dan efisien. Jika mereka membutuhkan pertolongan, mereka bisa langsung memencet bel yang ada di depan klinik sehingga dr. Prasetya bisa langsung menanganinya segera.
Ny. Prasetya menghembuskan nafas panjang. Ia tahu benar bahwa anaknya tidak seloyal suaminya. Tapi Ny. Prasetya memakluminya. Lutfi masih muda. "kamu ga menyapa Ayahmu dulu?" tanyanya.
"Nanti, Ma. Aku lelah. Aku mau tidur dulu." dr. Lutfi membuka pintu lebar yang menghubungkan ruang keluarga dengan klinik. Sebelum masuk, ia mencium pipi ibunya. Ny. Prasetya tak bisa berkata-kata lagi. Ia berbalik menuju ruang informasi.
dr. Lutfi masuk menuju ruang keluarganya yang nyaman. Sofa empuk dan TV LCD yang besar menunggunya. Tapi ia terlalu lelah. Ia naik ke kamarnya di lantai dua. Ia merebahkan tubuhnya ke kasur empuk, kemudian tidur.
***
Jam menunjukan pukul 6 sore. dr. Lutfi bangun lalu membongkar tas selempang untuk mengambil ponselnya. Sebuah kertas undangan terselip di tasnya. Ia mengambil dan mengamatinya.
Itu adalah undangan reuni SMA yang akan diadakan nanti malam pukul 7. Ia akan menghadirinya. Ia Pasti akan menghadirinya, demi Eli. Ia berjanji pada Eli lima belas tahun yang lalu. Ia akan kembali ke kelas mereka ketika dewasa nanti.
dr. Lutfi tak bisa mengingkarinya. Ia teringat bagaimana Eli yang mendorongnya hingga sampai menjadi dokter.
Masa depan dr. Lutfi sudah ditentukan saat dia masih bayi. Ketika SMA, nilai IPA nya tidak cukup baik. Wali kelas memasukannya ke dalam kelas IPS saat kelas dua, tapi ayahnya bersikeras memasukan Lutfi ke dalam kelas IPA. Untuk mencapai nilai rata-rata, baginya sudah cukup sulit. Dia hampir frustasi saat kelas tiga. Ditambah dengan ujian nasional yang harus dihadapinya, Lutfi ingin menyerah.
Tapi Eli membantunya. Eli mendorongnya terus dengan tekad yang dibangun dari diri Lutfi sendiri. Eli bahkan memberinya scapel(pisau bedah) untuk memberi semangat padanya. Tapi sesuatu yang tak termaafkan terjadi. Lutfi mengembalikan hadiah yang diberikan Eli padanya. Di saat dirinya kehilangan jati diri lagi akibat kehilangan Eli. Lutfi menyesal. Lutfi yakin Eli tak seperti yang orang lain sangka.
Lutfi sangat menyesal. Dia ingin minta maaf tapi terlalu gengsi. Diam-diam, ia membeli scapel sendiri dan menganggapnya sebagai scapel hadiah Eli. Itu adalah caranya mengingat jati diri, impian, dan Eli, Elinya, Elionora.
Setelah undangan reuni itu diterimanya satu bulan yang lalu, ia sudah bertekad untuk menghadirinya. Ia akan menemui Eli untuk meminta maafnya. Eli sungguh sahabat yang paling menawan.
Aku akan menemuimu, pasti. dr. Lutfi berjanji.
Pukul tujuh lebih sepuluh menit ia turun dari kamarnya. Ia meminjam kunci mobil Ibunya.
"Mau kemana?" tanya ibunya melihat Lutfi yang berdandan necis. Kemeja panjang biru dongker melekat di badannya yang tegak. Rambut hitam bergelombangnya di sisir rapi ke belakang. Ny. Prasetya juga mencium wangi parfum anaknya yang semerbak memenuhi ruangan.
"Malam mingguan, Ma," kata dr. Lutfi kembai mencium pipi ibunya.
"Memangnya punya pacar? Malam mingguan segala," ledek ibunya. Sebagai seorang dokter, Lutfi tidak punya cukup waktu untuk mencari pacar. Dunianya juga hanya berkutat antara rumah sakit dan pasien. Memang ada beberapa pasiennya yang menarik hati dokter muda tersebut. Namun biasanya, dr. Lutfi selalu gagal karena kesibukannya menangani pasien-pasiennya.
Ibunya yang merasa khawatir akan asmara anaknya pun telah berusaha menjodohkan dr. Lutfi dengan anak kenalan-kenalannya. Namun kisah itu kembali terulang. Hingga sang ibu kini hanya pasrah menunggu datangnya seorang wanita yang cukup pengertian kepada profesi anaknya. Ny. Prasetya yakin pasti nantinya jika dr. Lutfi mendaatkan SIP dan diijinkan berpraktek sendiri, ia mempunyai waktu untuk asmaranya. Seperti dirinya dan suaminya dulu.
dr. Lutfi menyeringai memamerkan giginya yang putih bersih bekas disikat, "ini lagi mau nyari." Ia lalu pergi melangkah menuju sekolah lamanya.
***
Le adalah kependekan dari kata Tole yang artinya panggilan kepada anak laki-laki dalam bahasa Jawa.
Bersambung.