Sabtu, 21 Maret
Tumpukan berkas-berkas dalam map berwarna-warni menggunung di meja salah satu pegawai PT. Batik Abadi. Laptop masih menyala di tengah ruangan yang sempit itu. Seorang wanita cantik menekan keyboard dengan jarinya yang lentik. Sesekali matanya memandang map yang terbuka di samping laptopnya. Dia adalah Herlina Susanto, seorang wakil manager pemasaran PT. Batik Abadi di Solo.
Jam sudah menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya para pekerja untuk pulang ke rumahnya. Tapi sial baginya karena atasannya, Pak Rudi Purnomo menginginkan laporan itu selesai hari senin pagi.
"Dia pasti dendam padamu," kata Bu Reni, dari bagian akunting. Dia duduk di sudut meja Lina yang berantakan. "Masa kerjaan sebanyak ini dilimpahkan semua padamu."
"Pastinya," kata Lina tanpa berhenti mengerjakan laporannya. Tangannya masih sibuk menekan tuts keybord laptopnya.
"Malam minggu pula. Harusnya Bossmu itu lebih pengertian pada anak muda. Andai kamu di bagianku...,"
"No! Aku ga bisa matematika, Bu. Tambah pusing nanti," potong Lina.
Bu Reni tertawa, "cuma seandainya, Nduk." Nduk adalah panggilan Orang yang lebih tua kepada anak perempuan di Jawa Tengah. Biasanya panggilan ini digunakan dalam satu keluarga. Bisa Orang tua kepada anak perempuannya atau paman/bibi kepada keponakan perempuannya dan lain-lain. Bisa juga orang lain selain keluarganya yang merasa sayang dengan perempuan yang lebih muda darinya.
Seperti Bu Reni yang merasa sayang kepada Herlina atau yang sering dipanggil Lina ini. Bu Reni pernah membaca resume yang digunakan saat wanita itu melamar pekerjaan di kantor tersebut. Bu Reni tahu bahwa untuk sampai ke posisinya sekarang, Lina telah menjalani kehidupan yang cukup sulit.
Ibunya hanyalah seorang buruh cuci dan Ayahnya hanyalah supir angkot. Untuk menghidupinya dan kedua adiknya, orang tuanya harus bekerja keras. Dengan tekadnya, Lina mampu mencari uang untuk biaya kuliahnya. Untunglah dia lumayan pandai hingga diterima di Universitas Sebelas Maret yang merupakan univesitas top di kota Solo.
Di tahun pertama ia bekerja di perusahaan ini, Lina telah menunjukkan kerja keras yang tinggi. Loyalitasnya terhadap perusahaan pun telah di tunjukkan lewat prestasi-prestasi yang telah dicapainya.
Belum genap setahun ia bekerja dalam bagian pemasaran, Lina sudah meningkatkan omset dua kali lipat lebih banyak dari karyawan yang lainnya. Tak heran bahwa dalam waktu kurang dari sepuluh tahun dirinya sudah diangkat menjadi wakil manager.
Manager saat ini, Pak Rudi pun menyadari bahwa potensi yang dimiliki Lina lebih baik dari dirinya. Ia mulai merasa terancam akan posisinya di kursi manager. Ditambah usia Pak Rudi yang sudah tua telah menurunkan staminanya.
Padahal untuk menjadi seorang manager pemasaran dibutuhkan stamina serta ide-ide kratif yang tinggi. Belum lagi ketika dia harus menemui klien-kliennya. Tak ayal membuat Pak Rudi kewalahan. Dia berusaha untuk membuat tugas Lina semakin berat sehingga Lina bosan dan meninggalkan perusahaan ini. Tapi rupanya Lina merupakan wanita bermental baja.
"Kamu ga malam mingguan, tah?" tanya Bu Reni menyampirkan tasnya. Ia bersiap untuk pulang.
"Wah! Belum punya pacar, Bu," jawab Lina. Meski cantik, Lina belum mau menikah. Ia masih ingin mengejar karirnya. Ia juga masih butuh uang untuk sekolah adik bungsunya. Jika dia menikah, dia tak yakin masih bisa bekerja. Dia pasti disibukan dengan kesibukan rumah tangga yang dianggapnya membosankan. Apalagi jika mempunyai anak. Dia tak akan mempunyai waktu lagi untuk bersenang-senang. Tidak. Lina belum mau kebebasannya terenggut.
"Masa orang cantik begitu belum punya pacar," kata Bu Reni tak percaya.
"Cariin, dong!" kelakar Lina.
"Teman Ibu sudah tua semua. Memangnya kamu mau?"
"Kenapa ga? Asal tanahnya banyak," gelak Lina.
"Buat apa nyari yang tanahnya banyak? Buat ngubur?" canda Bu Reni. Mereka tertawa.
"Ya sudah. Aku pulang dulu. Ngomong sama kamu nanti ga pulang-pulang." Bu Reni melangkah meninggalkan Lina.
Belum sampai lima langkah Bu Reni kembali dan meletakkan kartu undangan di depan Lina, "eh, ini tadi kartu undanganmu terjatuh di depan. Bye!"
Lina terpaku menatap undangan reuni yang ada di depannya. Ia ragu akan menghadirinya. Ia takut. Tapi ia telah berjanji. Lina berjanji kepada Eli dan sahabatnya yang lain. Ia harus pergi.
Lina teringat dulu saat SMA. Dulu dia merupakan anak yang selalu dibully karena miskin. Penampilannya pun jelek dan tak terawat. Kulitnya kusam. Baju seragamnya merupakan baju bekas dari tetangganya yang sudah lulus. Untuk belajar pun dia memilih memfotocopy buku panduan daripada membelinya yang harganya diatas kemampuan orang tuanya.
Sikapnya yang penakut menjadi sasaran empuk kakak kelas yang sok berani. Dia bahkan tak berani bicara. Lina selalu gugup. Tapi Eli membantunya. Perlahan Eli mengangkatnya dari tempatnya yang gelap. Ia mulai melihat cahaya saat bersama Eli. Eli adalah sumber cahayanya.
Lina ingin seperti Eli. Eli yang dicintai semua orang. Dan Eli dengan setia membantunya. Eli menuntunnya menjadi dirinya yang terang. Hingga sesuatu menimpanya dan dia kambali kehilangan cahayanya.
Lina kembali ke dalam kegelapan seorang diri. Semakin dalam dan gelap. Ia tak mampu bangkit hingga suara Eli terus terngiang di kepalanya, "katakan, 'Aku cantik dan tak ada yang boleh menghinaku'." Itu adalah kata-kata yang digunakan Eli untuk menariknya ke permukaan. Menariknya menuju cahaya. Kini kata itu telah merasuk ke dalam dirinya.
Lina kini melihat pantulan diri pada layar laptopnya yang memasuki mode tidur. Ia melihat seorang wanita berambut lurus hitam dan panjang. Kulitnya nampak putih dan mulus. Wajahnya terlihat tirus dengan dagu yang mungil. Bibir merahnya yang tipis menambah kesan cantik alami. Ya, dia memang cantik seperti apa yang di katakan Eli. Eli selalu benar.
Lina menyimpan laporannya lalu mematikan laptopnya. Ia memasukan kartu undangan ke dalam tas tangannya yang elegan. Dengan langkah pasti ia menuju keluar kantor. Lina akan menghadiri reuni itu. Ia tak sabar bertemu Eli. Elionora.
***
Bersambung.