***
"Maaf saya belum bisa mengatakan siapa dia. Saya harus mempertimbangkan banyak hal karena dia adalah orang yang sangat sulit dijangkau?" jawab Dikta.
"Apakah dia anak seorang konglomerat?" Aisha masih belum menyerah.
"Seperti itulah," kilah Dikta. "Ini sudah hampir subuh, sebaiknya Ibu kembali istirahat. Saya mau kembali ke kamar saya. Permisi!"
Dikta segera melarikan diri menuju kamarnya sebelum Aisha terus menanyainya. Belum waktunya dia mengatakan tentang isi perasaannya. Mungkin juga takkan pernah ada kesempatan. Mereka berbeda status sosial. Aisha adalah wanita yang tidak akan pernah bisa dijangkau olehnya.
Aisha heran melihat sikap Dikta yang menghindar darinya. Tetapi itu adalah hak pria itu untuk tidak menceritakan masalah pribadinya.
Aisha melangkah menuju tempat tidur putranya. Bocah mungilnya begitu lelap. Masih terlihat jejak-jejak air mata di wajahnya. Aisha merasa trenyuh. Putranya harus kehilangan kasih sayang seorang ayah di saat dia masih sangat membutuhkan figur kuat untuk melindunginya.
'Sayang, kami sangat merindukanmu,' gumam Aisha lirih sambil masih menatap putranya. Dia mengecup dahi Alfa, memandang wajah kecil dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis. Alif memberi andil besar menyumbang gennya pada putra mereka. Alis, hidung mancung, rambut hitam lurus, semua mirip dengan Alif. Bocah yang tampan.
Aisha masuk ke dalam selimut, memeluk putranya kemudian ikut terlelap hingga suara adzan Subuh membangunkannya untuk menunaikan kewajiban ibadah subuh.
Titik-titik hujan mengembun di lapisan luar kaca jendela. Mengantarkan hawa dingin membelai kulit, membuat penghuni semesta begitu enggan beranjak dari peraduannya. Namun matahari tetap bersemangat untuk bersinar memberi rasa hangat pada pagi untuk bangun dengan senyum yang ceria.
***
Pukul tujuh pagi Aisha turun dari kamarnya di lantai dua. Dia langsung disambut oleh Alif yang melompat gembira ke dalam pelukannya.
"Mama ... Mama ... kata Paman Mama mau bawa Alfa ke taman bermain. Benar, Ma?" tanya Alfa dengan suara melengking antusias. Aisha langsung menggendong putranya.
"Auwh ... anak Mama sudah besar dan berat ya," goda Aisha sembari menepuk pantat putranya gemas. Alfa tertawa senang.
"Mama ... kita jadi ke taman bermain?" tanya Alfa dengan raut memohon.
"Iya sayang. Tapi Alfa janji. Alfa tidak menangis lagi cari Papa," ujar Aisha. Alfa langsung mengangguk kuat.
"Pergi dengan Paman?" tanya Alfa lagi dengan suara khas anak-anak yang menggemaskan. Aisha mengangguk dan tersenyum. Dia mengecup pipi Alfa dengan sayang.
"Yeyyy!!" Alfa langsung merosot dari gendongan Aisha dan menghampiri Dikta. "Paman kita jadi ke taman bermain. Yeeyyyy ... Paman, nanti Alfa ajari Paman main mobil-mobilan ya." Alfa begitu antusias bercerita tentang wahana yang akan dia mainkan nanti. Dikta hanya terkekeh meladeni keceriaan majikan kecilnya. Dia senang karena bocah itu langsung gembira saat dia mengatakan ibunya akan mengajaknya ke taman bermain.
"Ayo, Alfa! Sarapan dulu sayang. Mama akan buatkan bento untuk bekal ke taman bermain," ajak Aisha pada putranya.
"Asiiiikk ... Paman ayo sarapan," kata Alfa sambil menarik tangan Dikta. Mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Bu Suri ikut bahagia melihat keceriaan majikan kecilnya. Bocah yang manis.
Pukul sembilan pagi mereka tiba di taman bermain terbesar di kota M. Fasilitas bermain itu baru saja buka namun sudah banyak pengunjung yang antri mengambil tiket.
Mereka bertiga turun dari mobil. Dikta membawa kotak bekal mereka sedangkan Aisha membawa sebuah tas di tangan kiri dan tangan kanannya menggandeng erat tangan Alfa.
"Saya beli tiket masuk dulu," ujar Dikta langsung menuju konter tiket. Tak lama dia kembali dengan tiga lembar tiket masuk di tangannya. Mereka langsung menuju pintu masuk.
Setelah melewati pintu masuk Alfa langsung bersorak sambil melompat lompat menunjuk berbagai macam wahana di dalam taman. Alfa menarik tangan Dikta menuju ke wahana kuda-kudaan. Dikta membantu bocah itu menaiki wahana. Lalu berpindah ke area bermain mobil-mobilan.
Alfa tertawa lebar. Aisha tidak melewatkan momen-momen kebahagiaan putranya dengan mengambil beberapa gambar dengan kamera ponselnya.
Sebelum istirahat makan siang, Alfa merengek ingin bermain wahana air. Awalnya Aisha keberatan tetapi Dikta meyakinkannya akan menjaga Alfa. Akhirnya Aisha mengalah dan mengizinkan kedua pria beda usia itu bermain di wahana luncuran air.
Dikta bukan hanya bertindak sebagai seorang sekretaris yang tangkas bagi Aisha, kini pria itu berperan seperti seorang ayah bagi Alfa. Dengan sabar sekretaris tampan itu mengajari Alfa berenang di kolam khusus anak-anak. Alfa tertawa memekik kegirangan saat Paman Dikta-nya membopong tubuhnya melayang seakan sedang terbang.
"Suami dan anaknya kompak banget ya Bu. Keduanya cakep lagi," celutuk seorang ibu yang duduk di sebelah Aisha ikut mengawasi anaknya yang sedang bermain di kolam.
"Hahh?" Aisha terperangah.
"Itu suami dan anaknya kan? Pantas anaknya cakep Ibu dan suami ibu juga cakep hehehe ..." sambung si ibu.
"Oh iya, itu putra saya. Tetapi itu ...," jawab Aisha tetapi langsung disela lagi.
"Putranya umur berapa Bu?" Si ibu terus saja kepo.
"Empat tahun," kata Aisha.
"Wah, bahagianya ya! Anak saya itu bla bla bla ..." Si ibu terus saja nyerocos sementara Aisha tidak fokus lagi mendengarkan. Dia memandang Alfa dan Dikta yang tak berhenti tertawa sambil berendam dalam kolam. Mereka juga berlomba naik ke seluncuran air. Aisha mengakui mereka memang tampak seperti pasangan ayah dan anak jika orang tidak tahu status sang sekretaris. Membayangkan itu Aisha langsung merona.
'Ya Allah! Apa yang aku pikirkan?'
Seketika Aisha merasa malu dengan pikiran-pikiran liarnya.
"Saya pamit duluan ya, Bu." Aisha tersadar ketika si ibu tadi menepuk lengannya pelan lalu beranjak dari tempat itu. Aisha gamang dan wajahnya merah padam karena malu kedapatan melamun.
Dikta dan Alfa pun telah selesai bermain air. Mereka menghampiri Aisha dengan tubuh basah kuyup.
Aisha terpana menatap tubuh basah Dikta yang hanya mengenakan selembar celana pendek tanpa atasan. Tubuh atasnya yang terbentuk proporsional tanpa otot berlebihan namun tampak maskulin semakin seksi dalam tampilan basah. Belum lagi rambutnya yang berantakan sebagian menutupi dahinya. Tanpa sadar Aisha menelan salivanya.
"Mama ... Alfa dingiiiin." Teriakan Alfa seketika menarik Aisha dari alam fantasinya. Aisha terkejut.
'Astaga segitu jablainya kah dirinya,' rutuk Aisha dalam hati. Pipinya tak urung merona apalagi ketika Dikta memperhatikan sikap salah tingkah. Aisha rasanya ingin menyeburkan dirinya ke dalam kolam. Malu.
"I- iya sayang. Cepat keringkan badan terus ganti baju," ucap Aisha cepat langsung menggosok handuk kecil ke tubuh Alfa. Dikta meraih sebuah handuk lain dan menutupi tubuh atasnya lalu meraih tas jinjingnya dan beranjak mencari kamar mandi untuk ganti pakaian.
Aisha menarik napas lega saat Dikta sudah berjalan menjauh. Segera dia memakaikan pakaian untuk putranya kemudian membereskan perlengkapan mereka sambil menunggu sang sekretaris.
Tak lama Dikta kembali dengan penampilan segar dan wangi. Rambutnya disisir berantakan membuat Aisha kembali terpesona.
"Ayo kita makan siang. Kita ke pinggir danau di sana," ujar Aisha berusaha menyembunyikan keterpesonaannya.
Dikta langsung meraih semua tas perlengkapan dan membimbing Alfa. Aisha mengikuti mereka dengan kotak bento di tangannya.
Mereka makan siang di bangku panjang di pinggir danau buatan yang ada di taman bermain itu. Tempatnya rindang karena ada banyak pohon-pohon besar yang sengaja ditanam.
Setelah membuka dan mengatur kotak di atas bangku, mereka mulai makan dengan tenang. Aisha menyiapkan sushi, udang goreng tepung, sedikit acar yang dia buat semalam, ikan kukus dan beberapa potong buah semangka.
Alfa makan dengan lahap dipangkuan Dikta yang juga menyuap makanan ke mulutnya dengan nikmat. Aisha memandang kedua pria itu makan dengan hati berdebar. Entah mengapa ada desiran aneh yang dia rasakan melihat kedekatan Alfa dan Dikta seperti saat ini. Selama ini Alfa sudah dekat dengan sekretarisnya itu, tetapi tidak pernah dia melihat ikatan yang begitu dekat. Mereka berdua seolah saling membutuhkan.
Mungkin benar. Alfa masih kecil dan dia membutuhkan figur seorang pria untuk melindungi dan memberikan kepercayaan diri. Dan Dikta juga adalah tipikal penyayang yang sudah terbiasa dekat dengan Alfa. Bahkan pria muda itu sudah bersama dengan Alfa sejak anak itu lahir hingga sekarang. Maka hal yang wajar jika ada ikatan benang samar yang menautkan keduanya.
Tetapi Aisha sadar. Dikta punya kehidupan sendiri. Dia tidak selamanya akan ada untuknya dan Alfa. Suatu saat pria itu akan menikah. Memiliki keluarga sendiri dan anak-anaknya. Alfa tidak bisa selamanya bergantung padanya.
"Bu, apakah jadi belanja hari ini?" tanya Dikta membuyarkan lamunan Aisha.
"Iya," jawab Aisha.
Mereka selesai makan dengan cepat karena matahari sudah mulai terik. Setelah mengemas kembali bekas piknik, mereka langsung keluar area taman bermain menuju mobil. Dikta mengarahkan kendaraan pulang. Sebelum sampai rumah, mereka singgah ke sebuah supermarket yang menjadi tempat Aisha berbelanja. Mereka bertiga turun bersamaan dan masuk ke dalam supermarket.
Dengan sigap Dikta mengambil sebuah troli dan mendorong mengikuti Aisha menuju ke rak-rak yang berjejer memanjang dan menjulang. Alfa naik ke atas troli yang didorong Dikta karena bocah itu sudah kelelahan.
Aisha sibuk mengambil beberapa kebutuhan harian mereka berupa kebutuhan kamar mandi, beberapa bahan makanan dan buah-buahan. Aisha mengajak mereka menuju ke area perlengkapan pria.
Aisha memilih beberapa baju kaos anak-anak untuk Alfa dan menyisihkan sebuah kemeja hitam lengan panjang untuk Dikta. Aisha heran dengan tindakan impulsifnya. Tetapi kemudian Aisha mengembalikan kembali kemeja tersebut karena khawatir Dikta tidak suka.
Aisha melirik Dikta yang berdiri di depan lemari yang memajang parfum pria. Tampak pria itu mencoba mengendus beberapa aroma sementara Alfa hanya memperhatikannya. Namun tak satu pun dari botol parfum itu masuk ke dalam troli.
"Masih ada yang kalian butuhkan?" tanya Aisha sambil menyerahkan kumpulan baju kaos yang dipilihnya kepada pramuniaga untuk dibungkus. Dikta menggeleng.
"Kalian duluan ke kasir ya, nanti aku nyusul," pinta Aisha. Dikta lalu mendorong troli ke depan meja kasir. Sedangkan Aisha kembali ke depan etalase parfum.
Dia mengamati deretan parfum dan label aroma. Aisha memperhatikan jenis minyak wangi yang dipegang oleh Dikta. Aroma musk. Aroma maskulin.
Aisha meminta pramuniaga membungkus parfum tersebut dan membayarnya. Segera dia beranjak ke meja kasir dengan dua paper bag.
Setelah menyelesaikan acara belanja, mereka kembali ke rumah. Hari sudah sore. Bahkan Alfa sudah tertidur di pangkuan Aisha ketika mobil memasuki halaman rumah. Dikta segera keluar dari kursi kemudi dan dengan sigap segera mengambil alih Alfa dari pangkuan Aisha. Para ART mengeluarkan belanjaan dari bagasi mobil dan meletakkan di ruang tengah.
Aisha menyusul Dikta ke kamar tidur Alfa. Pria itu membaringkan bocah yang telah tidur pulas tersebut di atas ranjang dan menyelimutinya.
"Terima kasih untuk hari ini. Alfa menjadi sangat ceria," lirih Aisha. Dia berdiri bersandar di pintu.
"Itu sudah kewajiban saya. Saya sudah berjanji pada Bapak akan melindungi Alfa dengan baik dan menyayanginya," jawab Dikta memandang Aisha. Namun dalam hatinya dia bisa mengatakan bahwa ini bukan sekedar tanggung jawab tetapi murni karena dia sangat menyayangi bocah itu.
"Kalau begitu terima kasih karena sudah menyayanginya." Aisha tersenyum. "Ini untukmu," katanya menyerahkan sebuah paper bag kecil.
"Terima kasih hadiahnya, saya anggap ini sebagai sebuah perhatian untukku," ucap Dikta tanpa melihat isi paper bag karena dia sudah bisa menebak isinya hanya dengan mencium aroma samar dari dalamnya.
Mereka saling menatap sejenak sebelum Dikta pamit meninggalkan Aisha masih bersandar di depan pintu. Aisha memegang dadanya. Perasaan aneh itu kembali menghentak disana. Berdebar, membelai lembut permukaan hatinya hanya dengan melihat senyum pria itu.
'Akh, aku bisa gila rasanya.'
Bersambung ...
🍁🍁🍁
See you next chapter. Jangan lupa dukungannya selalu. Terima kasih 😊