Chereads / Sekretarisku Pengawalku / Chapter 6 - Kerinduan

Chapter 6 - Kerinduan

Terima kasih kepada teman-teman yang telah membaca dan mendukung karya author ini, semoga diberikan kebaikan di bulan puasa ini.

Tetap dukung karya ini ya!

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Setelah menduduki posisi sebagai direktur utama sementara membuat kesibukan Aisha bertambah. Dia harus bisa berperan ganda menjadi ibu sekaligus ayah bagi putranya Alfa, mengelola Pramana Corporation yang besar dengan anak cabang di beberapa kota dan menjalani profesinya sebagai penulis. Bahkan dia harus sedikit mengesampingkan pekerjaan sebagai penulis agar bisa fokus pada masalah besar yang sedang dihadapinya. Ada Maghdalena yang harus dihadapinya mengingat betapa besar ambisi keponakan Almarhum suaminya itu untuk menguasai Pramana Corporation.

Lebih dari seminggu sejak meninggalnya Alif masalah lain datang. Masalah baru itu adalah kerewelan Alif yang terus menerus mencari ayahnya. Hampir tiap malam bocah empat tahun itu merengek memanggil ayahnya dan tidak mau dibujuk oleh ibunya. Hal ini wajar mengingat betapa dekatnya Alfa dengan sang ayah. Alif yang baru memiliki keturunan setelah hampir dua puluh tahun penantiannya begitu total mencurahkan kasih sayang pada putra tunggalnya itu. Setiap hari dia akan menyempatkan waktu untuk bercengkerama dengan bocah imut itu, mengajarkan banyak hal-hal sederhana yang selalu ditanyakan oleh anak seusia Alfa bahkan menidurkan putranya di malam hari. Kebaiasaan-kebiasaan yang seminggu ini tidak didapatkannya lagi membuat Alfa merasa kehilangan. Saat Alfa mulai menangisi ayahnya maka saat itu pula Aisha akan ikut tersedu mengingat suaminya.

"Papa ... Papa mana, Ma? Alfa mau bobo dengan Papa hiks hiks .." Alfa terus meronta dalam pelukan sang ibu yang tak berhenti menenangkan putranya.

"Papa belum pulang sayang. Alfa sabar ya tunggu Papa pulang," bujuk Aisha seraya mengecup dan membelai rambut legam Alfa.

"Alfa rindu Papa ... huhuhu ... Papa ... pulang Papa ..." sedu Alfa menggapai-gapai ke arah pintu. Dua bulir bening kristal bergulir di pipi Aisha. Meskipun Alfa baru empat tahun tetapi bocah itu sudah fasih melafalkan setiap huruf dengan sempurna.

'Ya Allah, sampai segini kah harus aku hadapi?' jerit batin Aisha.

Dia akan mampu menahan semua tekanan orang-orang yang silih berganti berusaha merebut aset warisan suaminya, namun saat putranya menangisi kepergian ayahnya maka saat itu pertahanan Aisha langsung runtuh. Hatinya terasa teriris dan sakit. Kerinduannya dan kerinduan putranya pada Alif bercampur menjadi satu dalam bejana air mata nelangsa.

Para ART berdiri tak jauh dari nyonya majikan mereka yang berusaha menenangkan majikan kecil dalam gendongannya. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena bocah kecil itu tak ingin digendong oleh siapa pun. Mereka ikut berkaca-kaca melihat kesedihan pasangan ibu dan anak malang tersebut.

Dikta yang sedang mempelajari beberapa dokumen perusahaan di kamar tidur sekaligus merangkap kamar kerjanya di lantai satu mendengar teriakan dan rengekan bocah di lantai dua. Dia segera menutup dokumen di tangannya dan berjalan ke lantai dua. Di sana, di ruang keluarga lantai dua, Aisha sedang menggendong Alfa yang sedang menangis memanggil-manggil ayahnya. Tiga orang ART hanya berdiri tak bisa melakukan apa pun.

Dikta mendekat. Hatinya trenyuh melihat pemandangan di depannya.

"Alfa, kenapa Alfa menangis?" tegur Dikta berdiri di belakang Aisha.

"Paman ... Paman ... Alfa rindu Papa. Papa belum pu- pulaaaang huhuhu ..." Airmata terus berderai di wajah imut bocah itu. Dikta tidak tahan melihatnya. Meskipun dia kehilangan ayahnya saat dia sudah dewasa, namun dia merasakan bagaimana sedihnya kehilangan figur seorang ayah. Apalagi anak sekecil ini? Dia bahkan belum mengerti bahwa selamanya dia tidak akan pernah bertemu ayahnya lagi.

"Alfa mau tidak Paman gendong. Nanti Alfa bobo dengan Paman ya?" bujuk Dikta.

"Kamu perlu istirahat juga Dikta. Biar Alfa aku yang urus," cegah Aisha.

"Tapi Ibu sudah kelelahan. Ibu saja yang istirahat. Nanti saya yang menenangkan Alfa," ucap Dikta. "Alfa sama Paman ya sayang!"

Bocah itu lalu mengulurkan tangannya pada Dikta. Segera Dikta meraih tubuh mungil itu dan mendekap di dada lebarnya. Bocah itu melanjutkan raungan sedihnya dalam pelukan sang sekretaris.

"Bi Suri, tolong bantu Ibu bersih-bersih dan istirahat. Ibu masih kelelahan. Buatkan susu hangat agar bisa cepat tidur," titah Dikta pada kepala ART. Kemudian dia membawa Alfa masuk ke kamar tidur bocah itu di samping kamar tidur Aisha yang merupakan kamar tidur utama.

"Baik, Pak," jawab Bu Suri. Pegawai rumah yang sudah berusia lima puluhan itu menuntun Aisha yang tampak lelah ke dalam kamar. Dua asisten lainnya segera turun ke lantai satu dan menyiapkan apa yang diperintahkan.

"Pak Dikta perhatian sekali ya sama Nyonya," celutuk salah satu ART yang masih muda.

"Wajar saja. Pak Dikta kan sekretaris dan asisten pribadi Nyonya. Memang sudah tugas dia memperhatikan segala keperluan Nyonya," cetus ART satunya.

"Tapi ..." Asisten rumah tangga muda itu masih ingin mengemukakan pendapatnya ketika terdengar suara Bu Suri di belakang mereka.

"Kalian di sini dibayar untuk bekerja bukan untuk membicarakan majikan kalian. Apa pun yang kalian lihat di dalam rumah ini jangan sekali-kali kalian ceritakan di luar sana jika kalian masih ingin bekerja. Nyonya masih sedang berkabung. Sebaiknya kalian menjaga sikap," tegas wanita tua itu. Kedua pembantu muda itu mengangguk dan tidak berani mengangkat kepala. Bu Suri lalu mengambil nampan dengan segelas susu hangat di atasnya kemudian kembali ke lantai dua. Kedua ART muda tadi kembali ke kamar tidur mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Mereka segera istirahat untuk memulihkan tenaga.

Sementara di kamar Alfa. Bocah itu masih sesenggukan dalam gendongan Dikta. Kedua lengan mungil Alfa melingkar dengan erat di leher pria itu sembari merebahkan kepalanya di bahu lebar itu. Tangan Dikta mengusap lembut punggung Alfa memberikan kenyamanan dan rasa aman bagi sang bocah. Suasana begitu hening. Hanya desau angin malam membelai permukaan malam yang pekat dan dingin setelah hujan.

Mungkin karena lelah menangis, tak lama suara napas teratur terdengar berhembus pelan dari mulut sang bocah. Alfa terlelap dalam gendongan Dikta. Perlahan Dikta merebahkan tubuh kecil itu di atas ranjang bergambar kartun mobil kesukaan sang bocah.

"Papa ..." gumam sang bocah lirih masih dengan mata terpejam. Kedua tangannya melingkar erat di leher Dikta. Akhirnya Dikta pasrah dan ikut merebahkan diri di samping tubuh majikan kecilnya. Dikta meraup tubuh mungil Alfa ke dalam pelukannya sembari tangannya masih mengusap punggungnya.

Aisha terlelap setelah mandi air hangat dan minum segelas susu. Dalam tidurnya dia masih memimpikan suaminya. Melihat pria itu tersenyum padanya. Ketika bayangan suaminya menghilang Aisha menangis memanggil sang kekasih hati. Hingga dia terbangun dengan napas yang terasa sesak. Aisha melirik jam di meja nakas. Pukul 02.00 dini hari.

Aisha turun dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Wanita itu kemudian melaksanakan shalat malam dan di akhir shalatnya tak lupa dia mendoakan Almarhum suaminya. Saat Aisha selesai melipat mukenanya, dia melihat cahaya samar-samar dari ruang tidur putranya melalui celah pintu penghubung dengan kamarnya. Aisha membuka pintu pengubung tersebut.

Dalam gelap ruang tidur Alfa, Aisha menangkap bayangan Dikta yang sedang duduk di sebuah sofa tunggal. Sekretarisnya sedang serius menatap leptop di pangkuannya. Cahaya yang dilihat Aisha sebelumnya berasal dari perangkat persegi tersebut.

"Kamu belum tidur?" tanya Aisha dengan suara pelan sambil menekan saklar lampu. Seketika ruangan itu terang benderang. Dikta mengalihkan pandangannya ke sumber suara dan mendapati wajah damai Aisha di sana. Wanita itu selalu cantik dalam situasi apa pun.

"Saya baru saja terbangun. Tadi ketiduran waktu menidurkan Alfa," jawab Dikta mengalihkan kembali pandangannya ke layar di depannya.

"Aku buatkan kopi ya?" tawar Aisha.

"Boleh," jawab Dikta tersenyum. Aisha melangkah keluar melalui pintu kamar Alfa. Dikta melirik punggung wanita itu menghilang di balik pintu. Dikta menggigit bibir bawahnya menekan sebuah debaran di dadanya.

Wanita itu cantik, senyumnya juga cantik, perangainya lembut dan penuh kasih sayang. Tetapi dia adalah majikannya. Pria mana pun akan kagum pada Aisha. Paket sempurna untuk seorang perempuan yang diidamkan oleh pria.

Ketika pertama kali Dikta datang ke rumah ini atas permintaan Alif Pramana, dia terkejut ketika mendapati bahwa istri majikan barunya begitu muda. Bahkan usianya lebih muda darinya. Dalam imajinasinya, istri Tuan Alif itu wanita yang hampir seusia dengan pria berusia setengah abad itu atau sedikit lebih muda.

Dan sejak hari pertama, enam tahun lalu, dia bekerja sebagai pengawal pribadi yang disamarkan sebagai sekretaris pribadi Aisha, Dikta sudah terpesona dan kagum pada wanita itu. Namun dia harus menjaga profesionalitasnya dan menanamkan dalam pikirannya bahwa wanita yang dikawalnya itu adalah nyonya majikannya. Dikta harus memendam kekaguman itu di sudut hatinya paling dalam dan tersembunyi agar sang nyonya tetap merasa nyaman saat bekerja dengannya.

Waktu berganti, setiap hari dia berinterkasi dengan pasangan suami istri itu, dia melihat langsung bagaimana Tuan Alif begitu mencintai dan menyayangi istrinya. Tuan Alif memberikan semua kemewahan yang diidamkan oleh semua wanita di dunia ini. Tuan Alif juga memberikan kebebasan pada istrinya untuk melakukan hobinya sekaligus cita-citanya menjadi seorang penulis. Demi keamanan sang istri Tuan Alif mempekerjakan dirinya untuk melindungi sekaligus menjadi sekretaris yang membantu karir istrinya.

Begitu pula sebaliknya dengan sang istri yang begitu penurut dan penuh perhatian pada sang suami. Tuan Alif memberikan kesempatan pada Aisha untuk melanjutkan kuliah tetapi Aisha memilih hanya menjalani kelas menulis untuk menunjang hobinya. Wanita itu lebih memilih menghabiskan lebih banyak waktunya bersama sang suami dan anaknya, merawat dan melayani mereka dengan penuh kasih dan cinta.

Dikta sempat merasa iri pada majikannya dan juga memimpikan seorang istri seperti Aisha. Tetapi dia tahu diri dan tidak ingin mempermalukan Tuan Alif yang begitu baik padanya. Majikannya itu tidak pernah membentak atau berkata kasar selama dia bekerja dengan keluarga Pramana. Dia diperlakukan seperti keluarga, diminta tinggal bersama mereka dan diberikan fasilitas yang sangat memadai. Tuan Alif bahkan sering memberikan bonus padanya sehingga dia bisa membelikan sebuah rumah yang layak untuk ibunya dan menyekolahkan adiknya hingga perguruan tinggi. Tuan Alif sudah banyak berjasa padanya maka sudah seharusnya dia juga menghormati dan melindungi keluarga itu.

"Ini kopimu!" Suara Aisha membuyarkan lamunannya tentang wanita yang sedang meletakkan sebuah cangkir di meja di depannya.

"Terima kasih, Bu," tukas Dikta.

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Aku melihatmu tadi melamun," tanya Aisha. Dikta langsung merasa jengah. Dia tidak menduga jika Aisha akan memergokinya sedang melamun. Hal yang hampir tidak pernah dilakukannya selama bekerja.

"Saya hanya memikirkan beberapa masalah diperusahaan," jawab Dikta. Dia menyeruput kopi yang dibuat Aisha untuk mengalihkan rasa jengahnya. Seperti biasa kopi buatan wanita itu selalu enak, perpaduan manis dan pahitnya pas. Seperti Aisha.

'Ya Allah, apa sih yang aku pikirkan,' gerutu Dikta dalam hati mengomeli dirinya sendiri.

"Besok kan akhir pekan, apa kamu punya rencana sendiri?" tanya Aisha. Wanita itu menimang cangkir di tangannya.

"Tidak ada. Apakah Ibu butuh sesuatu?" Dikta balik bertanya. Biar pun dia punya kesibukan tetapi jika majikannya memerlukannya maka dia harus mengesampingkan semua urusan pribadinya dan siap siaga di samping sang majikan.

"Aku berencana membawa Alfa ke taman bermain agar dia bisa sedikit terhibur dan melupakan kehilangannya. Sekalian juga mau belanja bulanan kebutuhan Alfa," kata Aisha.

"Saya rasa itu hal bagus untuk mengalihkan perhatian Alfa dari Tuan Alif. Saya akan mengantar Ibu dan Alfa," ujar Dikta. Tangannya kembali sibuk atau pura-pura sibuk di papan kibor untuk mengalihkan perhatiannya dari wanita cantik yang sedang mengenakan piyama tidur di depannya. Piyama itu panjang dan sopan tetapi masih saja bisa memecahkan fokus pria tampan itu. Apakah karena dia sudah terlalu lama sendiri hingga dia mulai sering memikirkan wanita itu. Hal wajar karena selama ini fokusnya hanya tentang Aisha, lalu ada ibu dan Diksa adiknya. Selain itu dia tidak pernah memikirkan wanita lain.

"Apakah tidak apa-apa di akhir pekan kamu menemani kami? Apakah tidak ada yang marah?" tanya Aisha.

"Siapa yang bakal marah, Bu?" tanya Dikta bingung.

"Pacar kamu mungkin?" pancing Aisha.

"Hahh?? Tidak ada Bu," jawab Dikta cepat.

"Jadi kamu tidak punya pacar?" selidik Aisha. Dikta menggeleng. Aisha tertawa pelan.

"Rasanya aku tidak percaya pria sepertimu tidak punya pacar. Tapi iya juga ya. Selama bekerja denganku dan tinggal di rumah ini kamu memang tidak pernah membawa seorang gadis atau memperkenalkan pada kami." Aisha kembali terkekeh. Dikta hanya tersenyum malu.

"Saya tidak punya waktu untuk pacaran Bu. Saya harus fokus kerja dan menghasilkan uang. Adik saya masih butuh banyak biaya sekolah," ujar Dikta.

"Fokus kerja perlu tetapi kamu juga harus memikirkan masa depanmu. Pastinya kelak kamu akan menikah. Apakah ada wanita spesial yang sedang menunggumu?" kulik Aisha lagi. Tiba-tiba Aisha merasa penasaran dengan kehidupan percintaan pria di depannya. Hal mustahil jika pria itu tidak mempunyai seorang gadis yang ditaksirnya.

"Tidak ada," jawab Dikta dengan wajah merona.

"Oh! Apakah perlu aku perkenalkan dengan seseorang?" goda Aisha. Senyumnya semakin lebar melihat rona malu di wajah pria yang kesehariannya selalu serius.

"Terima kasih tapi tidak perlu. Sebenarnya ... sebenarnya ada seseorang," gumam Dikta kaku tapi masih bisa didengar oleh Aisha

"Siapa dia? Mau mengenalkannya padaku?" tanya Aisha antusias. Wanita itu bahkan mencondongkan tubuhnya yang duduk di sofa yang berhadapan dengan Dikta ke arah pria itu.

Dikta terpana sesaat. Haruskah dia jujur jika selain ibu dan adiknya, wanita di depannya itu adalah wanita spesialnya sejak enam tahun yang lalu?

Bersambung ...

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Baca juga ya novel author berjudul Bukan Wonder Woman, dan jangan lupa beri dukungan dan masukan. See you next chapter! ๐Ÿ˜˜