Chereads / Bukan Wonder Woman / Chapter 39 - BWW #38

Chapter 39 - BWW #38

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

Dalam semalam semua berubah. Danuar yang mendapati kenyataan pahit tentang istrinya langsung terpukul.

Elena pernah aborsi?

Di malam pertama mereka Danuar menyadari bahwa istrinya sudah bukan gadis original lagi. Tapi Danuar tidak mempermasalahkan hal tersebut dan menerimanya sebagai masa lalu sang istri. Karena sewaktu mereka memutuskan berpacaran pertama kalinya, Elena mengaku bahwa dia masih memiliki kekasih dan bersedia memutuskan hubungan dengan sang kekasih demi bersamanya.

Kenyataannya Elena sedang mengandung benih cinta pria lain saat mereka memutuskan memulai sebuah hubungan. Rupanya cinta telah membutakan segala nalar yang ada di diri mereka.

Kini, setelah mengecap manisnya sebuah pernikahan karena cinta, dirinya harus merasakan pahitnya kenyataan tentang cinta itu.

***

Sudah lima hari pasca bertemu Dokter Wirajaya. Dan selama lima hari itu pula kondisi Danuar terlihat berantakan. Dia jarang pulang ke rumah dan lebih sering bermalam di kantornya. Dan Elena pun gusar dibuatnya.

Pasalnya tak ada angin tak ada hujan, Danuar menjadi orang yang sangat sibuk, jarang pulang dan susah dihubungi. Elena terus dan terus menelepon suaminya. Panggilannya tersambung tetapi Danuar sama sekali tidak menjawab panggilannya.

Seandainya pun Danuar pulang ke rumah maka dia memilih pulang tengah malam saat seluruh penghuni rumah tidur. Dia akan langsung menuju kamar tamu, mengunci diri di sana dan keluar lagi di pagi buta saat penghuni rumah belum menyadari kehadirannya.

Beberapa kali Elena menyambangi suaminya di kantor tetapi selalu tidak ada di kantornya. Sekretarisnya mengatakan bahwa Danuar sedang melakukan pertemuan di luar kantor atau apalah. Rasa heran, marah dan kesal bercampur jadi satu.

Bukan tanpa alasan Danuar bersikap seperti itu. Menghindari Elena adalah jalan yang bisa dia tempuh saat ini. Karena bertemu Elena hanya akan membuat hatinya hancur. Mengetahui kenyataan pahit itu saja sudah membuat dunianya seolah runtuh apalagi menemui Elena yang selama ini telah membohonginya.

Benar. Istrinya telah menyimpan sebuah rahasia dengan sangat rapat. Bahkan mertuanya pun sama sekali tidak mengatakan apa pun. Oh, anggaplah keluarga Elena tidak tahu apa-apa dan itu lebih baik. Jika sampai keluarga istrinya sebenarnya mengetahui masalah ini dan mereka turut andil merahasiakan, maka betapa kecewanya Danuar. Terutama kedua orang tuanya.

***

Danuar sedang bersandar pada bahu sofa di ruang kantornya. Kepalanya terasa pening karena semalam dia menghabiskan waktunya bersama Joni, Riyadi, Fery dan beberapa kawannya di bar tempat mereka biasa nongkrong sebelum dia menikah. Dia menenggak beberapa gelas minuman memabukkan itu hingga hampir tak sadarkan diri. Teman-temannya berinisiatif mengantar ke rumahnya tetapi Danuar menolak dengan alasan akan mampir sebentar di kantornya.

Namun yang tidak Danuar ketahui adalah Fery sepupu Danuar mengirim pesan kepada Elena memberitahukan kondisi Danuar saat itu.

Danuar dalam keadaan berantakan. Dia belum mengganti pakaiannya sejak kemarin. Rambut di kepala dan di wajahnya pun sudah mulai panjang dan tak terawat. Matanya terlihat sayu dan tak bersemangat.

Tiba-tiba telepon di mejanya berdering. Dengan enggan Danuar beranjak perlahan menuju meja kerjanya dan mengangkat gagang telepon.

"Pak, bagian resepsionis bilang ada Nyonya Elena sedang naik lift menuju kemari." Suara sekretarisnya bergaung di rongga telinganya.

"Katakan saya tidak ada," balas Danuar.

"Tapi Pak, maaf Nyonya ...," Terdengar teriakan sang sekretaris diluar ruangan Danuar kemudian disusul pintu yang terpantang lebar dengan keras. Elena masuk dengan wajah merah padam.

"Mas. Apa-apaan ini? Kamu kenapa tidak pernah pulang ke rumah. Ada masalah apa?" pekik Elena menghampiri suaminya yang bersandar di kursi kerjanya sambil memejamkan mata. Aroma alkohol samar menguar dari tubuh Danuar.

"Ngapain kamu ke sini?" Danuar membuka mata dan menatap tajam istrinya.

"Kenapa tanya lagi? Tentu saja untuk menyeret kamu pulang. Papa dan mama khawatir di rumah. Ada apa sih, Mas?" tukas Elena dengan masih nada marah.

"Aku pulang saat aku pengen pulang. Tidak perlu datang jemput."

"Mas. Kamu kenapa sebenarnya?" tanya Elena makin bingung dengan sikap aneh suaminya.

"Kamu tanya kenapa? Kenapa tidak cari tahu sendiri?" Danuar berdiri sempoyongan. Elena segera menangkap lengan suaminya tetapi langsung ditepis. Danuar melangkah keluar melewati Elena.

"Saya mau pulang," kata Danuar pada sekretarisnya. Sang sekretaris mengangguk dan langsung menelepon sopir sang atasan.

Tanpa berkata apa pun Danuar masuk ke dalam lift diikuti oleh Elena di belakangnya. Namun sayang Elena terlambat masuk ke lift yang sudah tertutup sehingga dia harus turun lewat tangga darurat.

Tiba di lantai bawah, Danuar melewati lobi tanpa menghiraukan panggilan Elena serta puluhan pasang mata yang memandang ke arah mereka. Danuar masuk ke kursi penumpang belakang dan langsung memerintahkan sopir untuk memacu kendaraannya. Sekali lagi Elena ketinggalan langkah. Dia harus rela naik taksi demi segera menyusul sang suami.

Elena bersyukur karena arah mobil Danuar menuju rumah. Ketika taksi yang ditumpangi Elena tiba di depan pintu gerbang, mobil Danuar sudah terparkir cantik di dalam garasi.

Elena setengah berlari masuk ke dalam rumah.

"Ada apa Elena?" tanya Nyonya Rosita yang baru keluar dari arah dapur. Dia heran melihat menantunya berlari tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu.

"Tidak ada apa-apa, Ma. Mas Danuar baru saja pulang," jawab Elena.

"Dimana kamu temukan dia?" tanya Nyonya Rosita dengan raut cemas.

"Di kantornya, Ma. Saya naik ke atas dulu, Ma." Tanpa menunggu respon dari mama mertuanya Elena segera naik ke lantai dua menuju kamarnya.

Saat masuk ke dalam kamar dia mendapati Danuar sudah rebah telungkup di atas tempat tidur tanpa membuka jas dan sepatunya. Elena mendekati suaminya, membuka jas yang melekat di tubuh suaminya serta sepatu dan kaos kakinya.

Danuar hanya menggumam tidak jelas saat Elena dengan susah payah membalikkan tubuh suaminya agar tidur telentang. Kini jemari lentik Elena meloloskan dasi yang masih terikat di leher suaminya kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh suaminya.

Elena menatap wajah suaminya yang selama hampir seminggu susah dia temui. Wajah itu tampak kusut masai, brewokan, dan berkerut tidak bahagia. Banyak hal yang ingin Elena tanyakan tetapi melihat kondisinya saat ini Elena harus menahan diri. Dia akan membiarkan suaminya beristirahat kemudian menanyainya nanti.

Dengan langkah lunglai Elena turun ke dapur menyiapkan makan malam untuk suaminya. Pikirannya berkecamuk tak jelas. Perasaannya tidak tenang. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang telah terjadi pada suaminya. Sepertinya bukan masalah pekerjaan. Karena jika Danuar punya masalah di kantor dia pasti akan berkonsultasi dengan ayahnya. Entah masalah apa yang sedang disembunyikan Danuar. Elena makin cemas.

***

Dua hari berlalu Elena belum bisa mengkonfrontasi Danuar. Pria itu selalu menghindar dan keluar rumah tanpa pamit. Meski berulang kali Elena bertanya, Danuar tak mau bersuara. Dia hanya diam dan menghindari Elena. Kedua orang tuanya pun heran melihat sikap Danuar. Pria itu lebih banyak diam. Namun gurat emosi tergambar di wajahnya.

Hari masih pagi, Danuar sudah bersiap keluar dengan penampilan kasualnya. Karena akhir pekan dia memutuskan untuk keluar rumah sendirian tanpa istrinya. Dia tidak menghiraukan teriakan Elena di belakangnya. Dia segera memacu mobilnya tanpa menoleh ke belakang.

Elena menangis sesenggukan di depan pintu gerbang menatap mobil suaminya yang melaju pergi. Segera dia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Fer, tolong cari tahu kemana perginya suamiku," pinta Elena pada sepupu Danuar di sambungan telepon.

"Suami kamu kabur lagi?" tanya Feri dengan suara cemas.

"Iya Fer. Aku bingung ada apa sebenarnya dengan Mas Danuar," isak Elena.

"Sabar, El. Ntar aku hubungi yang lain. Kali aja Danu sama-sama Joni atau Riyadi," ujar Fery menenangkan ipar sepupunya.

Elena memutus sambungan dan menuju ke kamarnya. Dia duduk di tepi ranjang dan mulai terisak sedih.

***

Sementara itu, di terminal kota, Ayushita berdiri memandang sahabatnya, Firda yang bersiap menaiki bus yang akan dia tumpangi ke kampungnya.

"Hati-hati di jalan ya Fir. Maaf ya kita sama-sama datang tapi tidak sama-sama balik ke Petak Hijau," ujar Ayushita dengan raut bersalah.

"Tidak apa-apa kok, Sit. Lagian kalau bukan karena ibuku lagi kurang sehat aku sih maunya masih di sini dan barengan pulang sama kamu. Tapi mau gimana lagi," ucap Firda sambil memegang tangan Ayushita.

Firda memutuskan pulang terlebih dahulu karena ibunya sudah sangat rindu padanya. Sedangkan Ayushita masih bertahan di kota P sebab permohonan bantuan yang mereka ajukan ke perusahaan Pak Salam masih dalam proses.

"Pokoknya usahakan sering-sering kasi kabar dalam perjalanan. Begitu juga kalau sudah sampai di kampung ya?" tukas Ayushita. Dia merasa berat melepas sahabatnya pergi sendiri.

"Don't worry, Sayang. Kamu selesaikan semua urusan dan secepatnya pulang. Jangan sampai kelamaan ditinggal Arjunanya nanti dia mendua," goda Firda.

"Ihh ... jangan ngomong gitu. Omongan itu adalah doa. Nanti kalau betulan gimana?" rajuk Ayushita.

"Astagfirullah. Maaf, Sit. Hehehe ... Pokoknya urusan Dokter Arjuna nanti aku yang urus. Kalau dia jelalatan ntar aku ruqiyah biar sadar," kekeh Firda. Ayushita hanya tersenyum lebar.

Ayushita pun sudah kangen ingin bertemu sang Arjuna. Setiap malam mereka bertukar kabar melalui video call jika Arjuna sedang berada di kota kabupaten dan sering berbalas pesan jika sang dokter berada di kampung. Sangat dimaklumi akses internet yang kurang mendukung di kampung Firda.

Setelah berpelukan beberapa saat, Firda naik ke dalam bus dan duduk di kursi sesuai nomor tiketnya. Firda melambaikan tangan ketika bus antar kota itu mulai bergerak maju. Ayushita pun membalas lambaian Firda hingga gadis itu menghilang dari pandangannya.

Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi ketika Ayushita keluar dari terminal keberangkatan bus menuju tempat parkir. Ayushita mengemudikan sendiri mobil ayahnya untuk mengantar Firda karena Ayub sedang dinas ke luar kota. Bukan hal yang sulit bagi gadis itu karena dia telah terbiasa mengemudikan mobil kemana-mana.

Ayushita telah duduk di belakang kemudi ketika ponselnya berdering. Ayushita meraih tas selempang di atas kursi penumpang di sampingnya dan mengeluarkan ponselnya. Dia mengerutkan keningnya melihat nama yang tertera di layar. Danuar.

"Halo! Assalamu'alaikum. Ada apa Kak?" sapa Ayushita.

"Wa'alaikumussalam. Ayu, bisa kita ketemu?" jawab Danuar.

"Ada apa, Kak?" tanya Ayushita.

"Ada yang pengen aku kasi tahu ke kamu. Please! Bisa kan kita ketemu?" ujar Danuar dengan nada memohon.

Ayushita berpikir sejenak. Ada yang aneh dengan nada suara Danuar. Suaranya terdengar seperti sangat frustasi. Seumur hidupnya mengenal pria itu maka dia paling tahu perubahan yang terjadi pada orang yang dicintainya dulu itu.

"Dimana?" tanya Ayushita.

"Aku share lokasinya sekarang ya. Aku tunggu." Danuar lalu memutus sambungan. Tak lama masuk notifikasi pesan ke ponsel Ayushita. Lokasi pertemuannya dengan Danuar.

Ayushita lalu menyesuaikan dengan GPS di mobil kemudian melaju ke tempat yang ditentukan Danuar.

***

Di kafe Zero, Danuar duduk sendirian di pojok kafe tersebut. Dia sengaja memilih tempat itu karena agak terlindung dari pandangan orang yang masuk di pintu kafe. Dengan sabar dia menanti kedatangan Ayushita. Dia memesan segelas kopi dan sepiring stik pisang yang merupakan kesukaan Ayushita.

Tak lama gadis yang ditunggu tiba. Dia memperhatikan sejenak gadis semampai dalam balutan gamis biru langit bercorak mawar putih dan kerudung polos warna senada. Gadis kecil yang dulu sangat polos dan pemalu kini telah bertrasformasi menjadi seorang gadis dewasa nan cantik dan lembut. Danuar tidak menyadari perubahan Ayushita karena gadis itu terus saja berkeliaran di sekitarnya. Kini setelah Ayushita menjauh dari hidupnya, dia baru menyadari perubahan besar pada gadis kecilnya.

Ayushita masih celingak celinguk hingga dia mendengar panggilan dari arah pojok kafe. Dia menoleh dan melihat orang yang dicari sedang duduk sendiri di sana. Ayushita bergerak ke arah Danuar lalu duduk di depan mantan tunangannya itu.

Beberapa hari tidak bertemu pria itu terlihat berbeda. Tubuhnya sedikit kurus, jambangnya dibiarkan tumbuh memenuhi rahangnya serta rambutnya awut-awutan. Ayushita mengerutkan dahi menilik penampilan pria itu.

"Kamu pesan apa?" tanya Danuar.

"Jus jeruk saja," jawab Ayushita namun tatapannya tak lepas dari wajah pria di depannya.

Danuar memanggil pelayan dan memesan segelas jus jeruk. Setelah pelayan pergi, Danuar kembali fokus pada gadis di depannya.

"Maaf memintamu bertemu di sini. Mungkin aku mengganggu aktifitasmu," ujar Danuar. Dia memainkan jarinya pada permukaan cangkir kopinya.

"Ada apa, Kak?" tanya Ayushita. Danuar menghela napas panjang.

"Elena membohongiku," ucap Danuar. Dia menjeda sejenak dan Ayushita tetap diam hendak mendengarkan kelanjutan ucapan Danuar.

"Ternyata dia pernah melakukan aborsi dan sekarang rahimnya bermasalah karena aborsi itu," lirih Danuar. Dia mengusap wajahnya kasar demi mengusir keresahannya.

Pelayan datang mengantarkan pesanan Ayushita. Gadis itu tersenyum ramah pada sang pelayan dan mengucapkan terima kasih. Ketika sang pelayan pergi, Ayushita kembali bungkam.

"Sekarang Elena sakit dan dokter mendiagnosa bahwa dia akan sulit untuk hamil lagi," Danuar tergugu di depan Ayushita. Dua tetes air bening menetes dari manik matanya.

"Aku menyesal Ayu. Aku menyesal pernah menyakiti dan meninggalkanmu. Seandainya aku tahu Elena membohongiku mungkin aku tidak akan membatalkan pertunangan kita. Aku menyesal, Yu," pungkas Danuar dengan suara lirih. Raut wajahnya menyiratkan emosi penuh penyesalan. Danuar menunduk dalam karena malu menatap gadis yang pernah dicampakkannya.

"Tiada guna lagi menyesal Kak dan tidak ada kata seandainya. Semua sudah terjadi," tukas Ayushita datar. Dia berusaha membuang jauh perasaan simpati berlebihan kepada pria itu. Dia hanya mencoba menjadi pendengar atas keluh kesah Danuar saat ini.

Tiba-tiba seseorang mendekat ke arah meja mereka.

"Oh, jadi seperti ini kelakuan kalian berdua ya. Sembunyi-sembunyi bertemu di belakang aku?" teriak seseorang tersebut.

Sebelum Ayushita sadar siapa yang berteriak di sampingnya, seketika jus jeruk yang belum sempat dia nikmati telah berpindah ke wajahnya. Jus jeruk malang itu membasahi wajahnya, kerudungnya dan merembes ke gamis bagian atas. Ayushita menutup matanya demi menetralisir emosinya agar tidak meledak seketika.

"Elena!" seru Danuar marah.

Bersambung ....

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

Hai hai haiiii

Part ini drama banget ya? Semoga kalian tetap suka.

Maapkeun diriku baru up lagi. Hiks kalian pasti lama menunggu. Diriku masih sibuk dengan gawe di dunia nyata sampai beberapa hari selanjutnya. Nanti banyak waktu free setelah tanggal 27 Juni. Tapi ....

Sebisa mungkin aku nyicil tulisan. Jadi harap kalian bersabar. Karena orang sabar disayang Tuhan dan author hehehe

Oke, jangan lupa batu kuasanya ๐Ÿค—

See you next chapter ๐Ÿ˜˜