๐๐๐
Beberapa hari tidak bertemu Ayushita, memberi kesempatan kepada Arjuna untuk memikirkan banyak hal terkait hubungan mereka berdua. Sampai kini dia masih sulit meraba kemana arah hubungannya dan Ayushita.
Jika dirinya ditanya tentang perasaannya kepada sang gadis pujaan hati maka sudah tentu mulutnya akan lantang mengatakan bahwa dia mencintai Ayushita. Dia akan memuja gadis itu dengan kata-kata manis nan indah.
Hampir setiap hari dia mendambakan gadis itu. Saat mereka berdekatan dia akan melakukan apa saja untuk membuat sang gadis tersenyum senang. Melakukan hal-hal konyol yang belum pernah dilakukannya, mengucapkan kata-kata manis yang dulu terasa sangat lebay baginya.
Di awal dia menjejakkan kaki di kampung Petak Hijau, kehidupan kampung terasa biasa dan sepi. Jauh dari keluarga, dari keramaian kota, terasa tak ada yang istimewa.
Tetapi kehadiran seorang Ayushita Ramadhani di kampung itu, seolah memberi warna baru dalam kehidupannya yang hitam putih. Senyum manis dan tulus sang ibu guru idola membuat pagi terasa hangat, siang terasa menyejukkan dan malam bagai penuh bintang terang benderang.
Tawa khas gadis berjilbab itu ibarat oase di tengah gersangnya hati Arjuna. Semua masa lalu menyakitkan yang pernah menyurutkan keinginan untuk mengikat perasaan pada seorang perempuan perlahan tergerus oleh rasa ingin mencintai dan memiliki seseorang yang akan selalu menemani sisa hidupnya.
Dan tatkala Ayushita jauh dari jangkauan pandangannya, ada rasa kosong di ceruk hatinya yang meminta untuk diisi. Perasaan menggebu itu semakin kuat mengentak dadanya menyisakan rasa sakit di setiap aliran darahnya.
Apakah sekuat itu pengaruh Ayushita baginya?
Apakah ini sudah cukup dikatakan sebagai sebuah cinta?
Bagaimana dengan Ayushita?
Apakah dia merasakan denyut rasa yang sama dengannya?
Apakah gadisnya merasakan kekosongan yang sama saat raganya tak hadir menemani kesendiriannya?
Arjuna menghela napas dan merebahkan kepalanya di sandaran sofa. Perlahan tangannya menyulut sebatang kretek lalu mengisap lembutnya kretek perlahan. Asap putih mengepul ke udara membelah pekatnya malam yang perlahan merayapi ruang tamu yang temaram.
Cukup dua kali isapan, Arjuna meletakkan kretek yang masih membakar dirinya dalam asbak bulat.
Dengan gusar Arjuna mengusap rambut kelamnya. Memejamkan mata meresapi setiap bunyi detik jarum jam yang tak pernah lelah mengitari piring waktu.
Dalam gelap temaram cahaya malam, layar ponsel Arjuna berpendar. Sebuah nada pengantar pesan menyapa rongga rungu sang dokter.
Arjuna meraih ponsel di atas meja, menekan ikon chat lalu tampaklah pesan dari gadis impiannya siang dan malam.
๐ฅ
From : My Ayu
Jika aku tak bernama Ayushita Ramadhani
Akankah kau masih memanggil namaku
Andai diriku bukanlah aku
Mungkinkah kau masih mau mengenalku
Jauh ... jauh ... jauh ...
Masih jauh aku menggapai sulur itu
Jika dikata aku masih ragu
Itu karena sulurnya kurang panjang
Dan aku takut jatuh lagi
Jika bayangku bukan bayanganku
Akankah kau masih melihatku
Arjuna tersenyum membaca pesan puisi dari Ayushita. Setelah berpikir sejenak, jemarinya mulai menekan permukaan layar dengan ringan dan cepat.
๐ค
To : My Ayu
Jika sulurnya kurang panjang nanti aku sambung dengan tali rafia
Pesan terkirim. Dan kurang dari semenit sebuah pesan balasan datang.
๐ฅ
From : My Ayu
๐๐
Senyum Arjuna kian lebar.
๐ค
To : My Ayu
Aku tidak paham bikin puisi. Aku bukan pria romantis ya?
๐ฅ
From : My Ayu
Dasar tukang bedah
๐ค
To : My Ayu
Aku dokter anak sayang bukan dokter spesialis bedah.
๐ฅ
From : My Ayu
Kalau gitu tukang anak
Arjuna terbahak. Benar-benar gadis lmenggemaskan.
๐ค
To : My Ayu
Aku kangen kamu my honey ๐
Pengen peluk
๐ฅ
From : My Ayu
Belum halal
๐ค
To : My Ayu
Kalau gitu aku halalin ya
๐ฅ
From : My Ayu
Apa???
Arjuna berpikir sejenak. Dengan sedikit ragu dia berusaha menguatkan hatinya.
๐ค
To : My Ayu
Aku mau lamar kamu
Sedetik
Dua detik
Lima detik
Satu menit, hingga ....
Sepuluh menit tak ada balasan dari Ayushita. Arjuna menggenggam erat ponselnya. Dia bangkit dari sofa ruang tengah menuju ke kamarnya. Meletakkan ponsel di atas meja nakas. Pria itu merebahkan tubuhnya di atas kasur berbalut selimut abu-abu.
"Mungkin terlalu cepat aku mengatakan untuk melamarnya," gumam Arjuna. Perlahan kelopak matanya meredup. Pikirannya memberat oleh gumpalan-gumpalan keraguan yang datang silih berganti. Hingga kesadarannya terselimuti oleh mimpi.
Mungkin esok. Iya esok kamu akan mendapatkan jawabannya.
***
Sementara di sisi lain. Ayushita menatap pesan chat yang dikirim terakhir Arjuna. Matanya enggan berkedip. Menelisik tiap huruf dalam barisan kata. Mencari kesungguhan dalam kalimat yang kembali menggetarkan dawai hatinya untuk kedua kalinya tersebut.
Di suatu waktu di masa lalu, dia tersenyum malu dan tertawa bahagia mendengar kalimat lamaran tersebut. Gelora hatinya membucah. Pikirannya berkelana senang ke imaji tertinggi tentang membangun rumah tangga bahagia bersama kekasih pujaan hatinya. Hingga matanya tak mampu terpejam karena dilambung perasaan bahagia.
Saat kalimat itu terucap kedua kalinya oleh seseorang yang berbeda, entah mengapa hatinya malah gamang. Ada benang-benang ragu yang terajut dalam sanubarinya yang baru saja sembuh dari luka.
Begitu cepat kata 'lamaran' itu datang lagi. Seolah tak memberinya kesempatan menelaah apa yang telah terjadi sebelumnya. Hatinya berusaha mengejawantahkan perasaannya terhadap Arjuna namun pikirannya selalu tak sejalan dengan perasaannya.
Jika Danuar yang selalu mencurahkan kasih sayangnya hampir di seluruh hidupnya mampu menorehkan bilah kecewa di hatinya, maka bagaimana dia bisa yakin dengan seseorang baru saja hadir di sepersekian persen hidupnya. Bagaimana dia yakin tidak akan terluka lagi.
Bersalah? Iya. Dia merasa bersalah pada Arjuna karena telah mengombang-ambingkan perasaan pria tampan dan baik itu. Dia sadar telah bersikap tidak adil pada sang dokter. Danuar dan Arjuna adalah orang berbeda yang mungkin saja akan memperlakukannya berbeda.
Meragu? Jelas dia meragu. Dia seperti Roro Jonggrang yang begitu meragu akan ketulusan Bandung Bondowoso dengan semua pengorbanannya.
Ayushita menarik napas panjang untuk mengurai sesak yang menjejali rongga dadanya. Netra matanya menatap langit-langit kamar dengan seksama berharap ada jawaban atas keputusan hati yang harus diambil. Tetapi sekeras apapun dia menerawang di sana, tak ada jawaban yang tergambar.
Tersadar dari lamunannya, dia tahu kepada siapa dia akan mencari petunjuk. Hanya ada satu. Kepada Sang Pemberi Petunjuk terbaik.
(Menulis part di atas sambil dengarkan lagu Ada Apa Dengan Cinta - Melly G feat Erick biar feel-nya dapat. Tapi susah juga ๐)
***
Elena sedang menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya. Dengan telaten dia memadu-padankan kemeja, jas dan dasi yang akan digunakan Danuar. Sementara Danuar masih menyelesaikan kegiatan bersih-bersih di kamar mandi.
Ketika Elena akan menunduk menjangkau sepatu yang terletak di rak paling bawah, tiba-tiba sebersit rasa perih menggelegar di perutnya. Elena mengaduh kesakitan dan langsung memegang perutnya yang menegang seperti kontraksi. Dengan tertatih dia menjangkau sofa tanpa sandaran dalam walk in closet tersebut dan merebahkan separuh tubuhnya di sana.
Elena menarik napas dan mengembuskan perlahan untuk menetralisir rasa sakit yang seperti menggigit di dalam perutnya.
Derit pintu kamar mandi terbuka dan tak lama sosok Danuar masuk ke dalam walk in closet. Elena segera duduk tegak sambil masih mengelus perutnya.
Danuar mengerutkan dahi melihat wajah pucat Elena.
"Kenapa Yang?" tanya Danuar cemas. Dia menyentuh dahi Elena untuk memeriksa kondisi istrinya. Tampak bulir-bulir keringat membasahi dahi perempuan itu.
"Mules nih," jawab Elena menahan sakit.
"Kalau gitu tidak usah ikut ke kantor. Di rumah saja istirahat ya," ujar Danuar. Elena menggeleng.
"Cuma mules aja kok. Nanti juga baikan lagi. Aku ikut ya?" rayu Elena.
"Okelah. Tapi kalau sakit banget kita ke rumah sakit ya," tukas Danuar. Elena mengangguk sambil tersenyum. Dia kemudian bangun dan membantu suaminya berpakaian. Setelah itu keduanya menuruni tangga menuju ke ruang makan untuk sarapan bersama.
Nyonya Rosita sedang melayani suaminya saat Danuar dan Elena bergabung di meja makan.
"Kalian mau ke kantor bersama?" tanya Nyonya Rosita.
"Iya, Ma," jawab Danuar sambil mengangkat piringnya ke depan Elena. Istrinya menyendok nasi goreng ke piring Danuar dan meletakkan sepotong omelet daging.
"Pulang sore ya. Pak Ruslan dan keluarganya Mama undang makan malam di sini," pungkas Nyonya Rosita.
Danuar yang hampir menyuap nasinya berhenti sejenak menatap kedua orang tuanya lalu menatap Elena yang juga terlihat sedikit terkejut.
"Tidak apa-apa kan?" lanjut Nyonya Rosita.
"Iya, Ma," sahut Danuar lalu melanjutkan suapannya. Mereka lalu makan dalam keheningan. Hingga Danuar dan Elena berangkat ke kantor. Pak Yuda pun menyusul dengan kendaraan berbeda bersama sopirnya.
***
Sore harinya setelah shalat Ashar, Ayushita, Firda, Nyonya Aliyah serta Pak Ruslan telah berkendara menuju rumah Nyonya Rosita. Perjalanan hanya setengah jam sehingga Pak Ruslan memutuskan menyetir sendiri mobilnya. Mereka bercakap-cakap dengan riang dalam perjalanan.
Setengah jam kemudian mobil Pak Ruslan masuk pekarangan kediaman Pak Yuda Raharja. Mereka disambut oleh Nyonya Rosita yang tersenyum lebar di depan teras.
"Assalamu'alaikum!" seru Nyonya Aliyah.
"Wa'alaikumussalam!" jawab Nyonya Rosita merangkul sahabatnya itu dengan hati bahagia. Pak Ruslan ikut menyalami Nyonya Rosita disusul Firda lalu Ayushita yang lebih dahulu mengambil buah tangan di bagasi.
"Aduh ini gadis-gadis kok geulis pisan euy," seru Nyonya Rosita yang keturunan Jawa Barat. Dia memeluk satu persatu Firda dan Ayushita yang menyalami dan mencium tangannya hikmad. Hati Nyonya Rosita berbunga. Sekian lama dia mendamba punya anak gadis yang manis dan cantik seperti Ayushita atau Firda.
"Apa ini?" tanya Nyonya Rosita ketika Ayushita menyodorkan sebuah bungkusan berbentuk kotak sangat besar.
"Coba tebak!" ujar Ayushita dengan senyum manisnya. Nyonya Rosita mencoba mengendus permukaan bungkusan. Seketika matanya membulat berbinar.
"Asiiikkk!!! Terima kasih sayang!" seru Nyonya Rosita berjingkrak kecil seperti anak kecil yang mendapat hadiah permen kesukaannya. Semua tertawa melihat tingkah sang nyonya rumah.
"Ma, apaan sih malu-maluin aja," protes Pak Yuda yang baru muncul di depan pintu.
"Biarin. Aku senang karena putri Mama bawain kesukaan Mama. Pokoknya Sita paling mengerti Mama sedunia," kilah Nyonya Rosita melihat suaminya yang sewot.
"Emang apa sih hadiahnya?" Pak Yuda penasaran melihat bungkusan kotak di tangan istrinya.
"Dari aromanya ini pasti cake pisang cokelat tabur keju kesukaan Mama. Pokoknya Papa tidak boleh minta ya," pungkas Nyonya Rosita.
"Tidak apa-apa sih. Nanti Papa minta Sita bikin lagi untuk Papa yang paling enak," sahut Pak Yuda tak mau kalah.
"Eh, tamunya tidak disuruh masuk hehehee maaf. Mari Al masuk. Yuk cantik-cantiknya Bibi."
Mereka semua masuk ke dalam rumah mewah tersebut. Firda kembali berdecak kagum melihat interior mewah kediaman Raharja. Kalau rumah Ayushita terkesan mewah dengan sentuhan alam, sedangkan rumah Danuar lebih ke moderen mewah.
Kedua keluarga berkumpul di ruang tamu. Pak Yuda dan Pak Ruslan langsung asik mengobrol berdua. Pembahasan mereka tak jauh-jauh dari urusan perusahaan membuat para wanita memilih membuat lingkaran obrolan sendiri.
"Danuar dan istrinya kemana?" tanya Nyonya Aliyah.
"Mereka berdua ke kantor dari tadi pagi. Palingan juga terus belanja dan sebagainya," jawab Nyonya Rosita cuek.
"Elena sudah isi?" lanjut Nyonya Aliyah.
"Kayanya belum sih. Masih ramping aja badannya," sahut Nyonya Rosita.
"Hamil kan tidak langsung buncit Ros," tukas Nyonya Aliyah. Nyonya Rosita terkekeh. Sementara duo gadis hanya mendengarkan dalam diam percakapan duo nyonya.
"Ngomong-ngomong kita mau masak apa nih?" tanya Nyonya Rosita mengalihkan pembicaraan seputar menantunya.
"Ayu saja yang masak Bibi," ujar Ayushita.
"Oh ya. Oke. Ke dapur saja ketemu Mbok Yum. Tadi Bibi sudah belanja macam-macam sesuai permintaan kamu. Pokoknya masak yang enak ya," ucap Nyonya Rosita.
"Oke. Nanti Ayu masak kesukaan Bibi, Paman dan Kak Danuar," ujar Ayushita.
"Aku bantu ya Sit," kata Firda. Dia segera berdiri hendak menyusul Ayushita ke dapur.
"No! Kamu duduk saja di sini ya temani Mama dan Bibi Ros." Ayushita menekan bahu sahabatnya agar duduk kembali di tempatnya. Firda hanya menurut dan kembali menyamankan dirinya di samping duo nyonya.
Ayushita kemudian melenggang ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Bukan pertama kalinya dia melakukan hal tersebut di rumah itu. Sejak remaja dia sering datang menemani ibunda Danuar memasak dan tentu saja memasak makanan kesukaan calon suaminya saat itu. Danuar sangat suka sayur cap cay udang buatan Ayushita.
Tak lama Mbok Yum ART senior di rumah itu muncul dengan beberapa cangkir teh dan sepiring besar cake pisang yang tadi dibawa oleh Ayushita. Mereka lalu menikmati camilan sore sambil menunggu makan malam siap.
Pak Yuda begitu antusias memuji kue buatan Ayushita dan tak berhenti mencomot kue di atas piring. Nyonya Rosita tersenyum simpul dan merasa bangga sekaligus sedih dalam hatinya. Namun tak ada yang perlu dia sesali lagi. Meski Ayushita tak bisa jadi mantu idamannya, gadis itu tetap jadi putri kesayangannya.
Menjelang waktu Magrib Danuar dan Elena pulang. Keduanya heran melihat suasana rumah yang riuh sampai dia teringat pesan ibunya saat sarapan tadi pagi. Dia hampir lupa karena asik menemani Elena berbelanja.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam!" seru mereka bersamaan dan menoleh ke arah Danuar dan Elena yang baru saja masuk.
Pasangan suami istri itu bergantian menyalami keluarga Ayushita.
"Mana Ayu, Tante?" tanya Danuar saat tak mendapati gadis itu di antara mereka.
"Lagi di dapur. Masak makan malam," jawab Nyonya Rosita. Danuar melongok ke arah dapur. Karena tidak bisa melihat dengan jelas, Danuar memutuskan melangkah ke dapur. Di sana dia melihat Ayushita dalam balutan gamis warna burgundy dipadu kerudung warna ungu muda sedang serius mengaduk masakan dalam wajan sambil bercakap-cakap dengan Mbok Yum yang menemaninya. Sesekali dia menyeka keringat di keningnya yang melengkung indah dengan punggung tangannya. Gadis itu tampak sangat menikmati kegiatan memasaknya membuatnya tampak cantik. Aura perempuannya begitu memikat.
Danuar terpana menyaksikan pemandangan dapur yang terlihat lebih segar dan berwarna dari biasanya. Pria itu masih terpaku di depan pintu dapur begitu lama hingga tersadar ketika sebuah tangan halus menyentuh lengannya. Danuar menoleh dalam keadaan linglung.
"El?" Danuar terkejut mendapati istrinya berdiri di sampingnya.
Bersambung ....
๐๐๐
Hai hai haiiii
Episode kali ini banyak kalimat narasi yang agak puitis. Akhir-akhir ini jiwa puitis author lagi bergejolak ceileeee ๐
Nah bakal mulai nih konflik. Tapi konflik hati aja dan ringan-ringan. Karena gak mungkin kan Danuar balik ke Ayushita. Eh, tapi kan sapa tahu juga hati Danuar berbalik ya dan Ayushita juga menyambutnya. Gimana? ๐๐
Makasi sudah setia menunggu BWW. Jangan lupa batu kuasanya. Seikhlasnya aja heheheh
See you next chapter ๐