Chereads / Bukan Wonder Woman / Chapter 1 - BWW #1

Bukan Wonder Woman

๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉAeRi_purplish
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 166.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - BWW #1

Sebuah mobil angkutan umum berhenti di depan sebuah bangunan sekolah menengah pertama. Seorang gadis berusia awal dua puluh tahun turun dari mobil tersebut dengan menenteng sebuah koper besar dan tas ransel di punggungnya. Dia adalah Ayushita Rahmadani.

Baju gamis warna baby pink menutup rapat tubuhnya yang semampai. Mungil tidak, tinggi juga tidak. Kerudung panjang warna senada dengan gamisnya sesekali berkibar tertiup angin membingkai wajahnya yang lumayan cantik. Mau bilang cantik banget, tapi kan cantik itu relatif sesuai dengan selera bola mata yang memandang.

Wajahnya oval dihiasi hidung ramping yang tidak terlalu mancung, bibir sedang dan segar, mata bulat dan bulu mata lebat khas orang Indonesia, serta alis melengkung indah tanpa tersentuh pisau cukur.

Tangan kirinya diangkat ke atas kening untuk menghalau silau cahaya matahari sedangkan tangan kananya menarik koper berjalan perlahan masuk ke halaman sekolah. Suasana lingkungan sekolah lengang mungkin karena ini waktu belajar siswa. Ayushita melangkah ke sebuah gedung dengan plakat bertuliskan 'KANTOR' di atas pintu.

"Assalamu'alaikum," ucap sang gadis.

"Wa'alaikumussalam," jawab beberapa orang yang memakai pakaian dinas. Sudah pasti mereka tenaga pengajar di sini.

"Saya Ayushita, guru kontrak daerah yang ditugaskan di sekolah ini." Ayushita menyalami seorang pria paruh baya yang tadi menyambutnya. Posturnya lumayan tinggi dan auranya berwibawa. Usianya mungkin sepantaran ayahnya, pikir Ayushita.

"Oh, mari Bu Ayushita. Saya Pak Mardi, kepala sekolah di sini." Dengan ramah bapak kepala sekolah mempersilahkan duduk. Seorang guru perempuan menyuguhkan segelas air putih segar.

"Ibu Ayushita asalnya dari mana?" tanya Pak Mardi.

"Panggil Sita saja, Pak. Saya dari kota P. Ini nota tugas saya." Ayushita lalu menyerahkan sebuah amplop berwarna putih.

Pak Mardi membuka amplop dan membaca isinya sambil manggut-manggut.

"Jadi, Ibu Sita akan mengampu pelajaran Bahasa Inggris?" Ayushita mengangguk.

"Sekolah kami ini sangat kekurangan guru. Hanya ada lima tenaga guru selain saya sebagai kepala sekolah. Kami belum punya guru mata pelajaran Prakarya. Jika Ibu Sita tidak keberatan, mungkin ibu bisa menangani mata pelajaran itu," pinta Pak Mardi penuh harap.

Ayushita berpikir sejenak lalu menyetujuinya. Pak Mardi lega dan mengajak Ayushita berkenalan dengan tenaga pengajar lainnya.

Ada dua guru pria dan tiga guru perempuan. Ayushita mendapat meja kerja di samping Ibu Firda, guru mata pelajaran IPS yang seusia dengan Ayushita. Firda adalah gadis yang ceria dan bersahabat. Dua guru pria dan guru perempuan lainnya sudah berumur hampir seusia Pak Mardi. Sehingga hanya Ayushita dan Firda guru muda dan masih lajang.

Selanjutnya Firda ditugaskan oleh Pak Mardi mengantarkan Ayushita ke sebuah mes atau rumah tinggal untuk guru. Jangan berharap itu adalah sebuah bangunan mewah seperti apartemen karyawan kantoran. Rumah tinggal itu adalah bangunan berdinding papan, beratap seng dengan sebuah kamar ukuran delapan meter persegi, sebuah dapur kecil dan kamar mandi.

Ayushita bersyukur karena kamarnya masih dilengkapi dengan sebuah dipan kecil dan lemari pakaian. Sedangkan kamar mandinya sederhana namun air mengalir dengan lancar.

"Seperti inilah keadaan di desa, Bu," kata Firda dengan senyum malu. Dia merasa khawatir Ayushita akan merasa tidak nyaman dengan rumah tinggal yang disediakan.

"Tidak apa-apa. Seperti ini sudah cukup," kilah Ayushita dengan senyum menenangkan.

Firda terpesona memandang senyum gadis di depannya.

"Ngomong-ngomong, karena kita seumuran maka kalau di luar jam sekolah panggil saya Sita saja. Tidak perlu pake embel-embel Ibu," tutur Ayushita.

"Kalau begitu panggil saya Firda juga. Biar lebih nyaman," timpal Firda. Ayushita mengangguk.

Mereka lalu sibuk membersihkan rumah yang akan menjadi tempat bernaung Ayushita selama bertugas di sana.

***

Ayushita POV.

Aku merebahkan tubuh di atas dipan yang baru saja ditutupi dengan sebuah kasur tipis dan selembar seprai yang dipinjamkan oleh Firda serta dua buah bantal. Ku pandangi langit-langit kamar yang warna catnya sudah memudar. Memutar kembali ingatan tentang alasan aku berada di tempat ini.

Masih ku ingat bagaimana sedihnya Mama saat aku memperlihatkan nota tugas yang ku terima dua hari sebelum keberangkatanku. Sebenarnya aku yang meminta untuk ditempatkan di pedalaman seperti ini tanpa sepengetahuan Papa, Mama dan Kak Ayub. Dimana pun asalkan jauh dari kota tempat tinggal. Aku hanya ingin menjauh dari sumber kekecewaan dan sakit hatiku. Dia adalah tunanganku, Danuar. Oh, tepatnya mantan tunangan.

Sebulan sebelumnya, keluargaku dan keluarga Danuar telah mempersiapkan pesta pertunangan kami berdua. Kami dijodohkan, tapi aku mengenal Danuar sejak kecil karena keluarga kami saling mengenal.

Semuanya baik-baik saja hingga seminggu sebelum acara pertunangan Danuar menghilang entah kemana. Tidak ada kabar berita dan sulit dihubungi karena ponselnya dimatikan. Padahal undangan acara pertunangan sudah diedarkan ke sanak keluarga dan kenalan kedua keluarga. Semua keluarga panik dan berusaha mencari keberadaan Danuar. Bahkan polisi ikut dilibatkan karena khawatir Danuar jadi korban penculikan. Namun hasilnya nihil.

Empat hari kemudian, Danuar tiba-tiba muncul entah dari mana. Dia menggandeng seorang perempuan dan meminta restu untuk menikahi perempuan itu. Kedua orang tuanya murka karena merasa sangat malu. Pun dengan keluargaku. Papa dan Mama sangat kecewa dan sangat menyesali keputusan Danuar. Kak Ayub bahkan menghajar pria itu hingga hampir babak belur.

Kalau aku? Tidak usah ditanya lagi. Meskipun ini adalah perjodohan tapi aku menyukai Danuar sejak dulu. Kami dekat dan aku merasa nyaman dengannya. Dia pun sangat perhatian padaku. Ketika kedua keluarga berniat menjodohkan kami, Danuar pun tak menolak. Jadi kalian dapat membayangkan bagaimana kecewa dan patah hatiku.

Untuk menghalau rasa sedih dan kecewa itu, aku memutuskan untuk menghindar dari segala hal yang akan mengingatkanku pada Danuar. Aku harus secepatnya melupakan Danuar dan menata kembali hatiku yang sudah hancur berantakan.

Aku memejamkan mata mencoba menahan laju airmata yang hampir mengalir di pipiku.

Sayup-sayup terdengar suara azan Ashar dari masjid kampung. Aku bangkit untuk mandi dan melaksanakan kewajiban menghadap pada Sang Khalik. Menenangkan pikiran dan hatiku dari semua kegalauan.

Aku baru saja selesai menanggalkan mukena saat ponselku berdering. Dari Mama.

"Assalamu'alaikum, Sayang," sapa Mama dengan suara sendu.

"Wa'alaikumussalam, Ma. Apa kabar Mama dan Papa?" jawabku.

"Mama dan Papa sehat. Bagaimana denganmu, Nak? Kamu sudah sampai ya?" cecar Mama dengan nada khawatir.

"Alhamdulillah Sita sehat dan tiba tadi siang. Sita melapor dulu ke kepala sekolah lalu bersih-bersih rumah tinggal selama di sini." Aku mencoba menetralkan suaraku agar Mama tidak khawatir.

"Bagaimana tempat tinggalmu, apakah rumahnya bagus? Setahu Mama di pedalaman itu sepi, semua serba susah. Mungkin saja di situ listriknya gak ada. Nak, kalau kamu tidak betah dan tidak nyaman, pulang saja ya!" Mama mulai merengek.

"Mama, Sita baik-baik saja di sini dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Lalu, bagaimana kalau Mama sama Papa kangen?" Mama belum menyerah.

"Kita bisa telponan atau video call, Ma. Sita ingin menjauh sejenak. Sita ingin menenangkan diri dulu,"

"Baiklah, Sayang. Kalau kamu kepingin pulang segera kasi tahu Mama, nanti Mama dan Papa yang jemput," Akhirnya Mama mengalah.

"Oke, Mama sayang," Aku berusaha membuat suaraku terdengar ceria. Mama lalu mematikan panggilan setelah mengucapkan salam.

'Baiklah, Sita. Ayo kita memulai hidup baru di sini.'

Lagi-lagi aku harus menyemangati diriku. Aku berharap kampung ini bisa memberikan penawar rasa sakit ini. Semoga.

Bersambung ...

๐Ÿ’๐Ÿ’๐Ÿ’

Terima kasih sudah mampir baca. Semoga suka. ๐Ÿ˜‡