Ayushita POV.
Hari kedua aku di kampung ini.
Pukul setengah tujuh aku sudah tiba di ruang kantor Kepala Sekolah merangkap ruang guru yang tidak terlalu luas. Jarak rumah tinggalku dan sekolah tidak begitu jauh, masih dalam satu lokasi. Firda dan dua teman guru lain sudah datang juga.
Aku memulai aktifitas dengan mengisi absen, mengecek jadwal mengajar dan mulai menyiapkan bahan ajar. Setelah itu aku berdiri di teras kantor menikmati udara segar pedesaan.
Burung pipit dan pasangannya beterbangan dan meloncat dari satu dahan pohon ke dahan lainnya. Suara cicit mereka begitu riuh seolah begitu gembira menyambut matahari pagi yang perlahan merangkak naik ke permukaan langit. Aku cemburu melihat kegembiraan mereka.
Langit pagi ini begitu bersih, tak ada awan yang menggantung di sana.
Suara deru motor memasuki halaman sekolah mengalihkan perhatianku. Itu motor Pak Mardi.
Dengan senyum semringah beliau membalas sapaan siswa-siswa yang menyalaminya. Lalu menghampiriku yang masih berdiri di teras.
"Assalamu'alaikum. Bagaimana kabar hari ini, Bu Sita?" sapa Pak Mardi.
"Wa'alaikumussalam, alhamdulillah baik, Pak," jawabku sambil menampilkan senyum terbaik.
"Gimana, betah kan di sini?" tanya Pak Mardi lagi.
"Baru sehari, Pak. Tapi Insyaallah betah. Namanya juga tugas. Betah tidak betah tetap harus diusahakan betah," Pak Mardi hanya tersenyum kecil mendengar jawabanku.
"Kenapa Ibu Sita memilih ditugaskan di tempat jauh seperti ini? Bukankah Ibu bisa mendapatkan tempat tugas yang tidak jauh dari tempat tinggalnya?" Pak Mardi kepo.
Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Tidak mungkin aku jawab kalau aku ke sini untuk menghibur diri karena patah hati, kan? Mau ditaruh dimana wibawaku.
"Ingin mencoba seperti apa rasanya bertugas di daerah pedalaman seperti ini. Biar punya pengalaman hidup juga," jawabku sekenanya.
"Wah, ternyata Ibu Sita ini orangnya penuh dedikasi. Kami beruntung bisa punya guru Bahasa Inggris seperti Ibu." Senyum Pak Mardi makin mengembang.
'Jika pelarian ini membuat aku menjadi orang yang berdedikasi, maka haruskah aku bersyukur? Dan aku pun berharap akan beruntung datang ke tempat ini, Pak,' batinku.
"Mari, Bu. Kita apel pagi dulu. Saya akan perkenalkan Ibu Sita kepada seluruh siswa," ucap Pak Mardi saat bel apel pagi berdering panjang.
Aku memandang lekat semua siswa yang begitu rapi dengan seragam putih biru dilengkapi dasi dan topi. Meski mereka hidup di kampung, jauh dari hingar bingar kota, namun mereka berusaha tampil lebih baik dengan segala kesederhanaan mereka.
Kini, mulai hari ini mereka yang akan mengisi hari-hariku bersama semua kehidupan yang akan ku jalani di kampung ini.
Beberapa siswa saling berbisik-bisik saat Pak Mardi memperkenalkan diriku kepada semua pasang mata di depan sana. Hatiku berbunga saat mereka saling berebut hendak menyalami dan mencium punggung tanganku.
"Ya Allah, semoga Engkau mengganti kepedihanku dengan kebahagiaan lain. Aku akan selalu bersyukur karena diberi kesempatan mengecap kebahagiaan itu," doaku dalam hati.
***
Author POV.
Jam istrahat siang, Firda menghampiri Ayushita dengan senyum riangnya seperti hari kemarin.
"Gimana tadi di kelas? Sukses kan?" tanya Firda.
"Lumayan. Anak-anak antusias mengikuti pembelajaran. Mungkin ini karena pertama kalinya mereka diajar guru Bahasa Inggris asli." Ayushita terkekeh saat mengatakan hal itu. Firda pun ikut tertawa mendengarnya.
"Iya kali. Secara mereka sudah lama tidak punya guru Bahasa Inggris. Ditambah lagi gurunya pun masih muda dan cantik," Firda mengerling menggoda kepada Ayushita.
"Ah, biasa aja Fir. Aku merasa biasa-biasa saja kok." Tak dipungkiri wajah Ayushita sedikit merona. Bukan hanya sekali dua kali orang-orang mengatakan dia cantik. Bahkan teman-teman arisan Mamanya suka menggodanya.
"Ish, benar lho, Sit. Bahkan kabar tentang kedatangan kamu sudah tersiar ke seantero kampung padahal kamu baru dua hari tiba di sini. Banyak ibu-ibu termasuk pemuda kampung yang penasaran denganmu, lho!" cerocos Firda dengan wajah menggemaskan. Ayushita bahkan tidak bisa menahan tawa memandang ekspresi wajahnya itu.
"Ah, masa sih? Tapi kamu kan juga tidak kalah cantik. Pasti kamu menjadi salah satu kembang kampung di sini," kilah Ayushita. Wajah Firda seketika ikut merona juga.
"Aku sih kalah sama kamu, Sit. Kalau tidak percaya, sebentar malam ikut acara kondangan ya di rumah Pak Jaja," tutur Firda meyakinkan.
"Acara apa?" kening Ayushita mengernyit.
"Acara aqiqah cucunya Pak Jaja."
"Tidak usah. Aku tidak enak mau ke sana belum kenal siapa-siapa," tolak Ayushita halus.
"Kan di sana bisa kenalan sama warga. Bapak juga meminta kamu hadir," Firda mulai masuk mode merayu.
"Bapak???" Dahi Ayushita kembali berkerut.
"Bapak Kepala Desa. Dia bapakku," Firda cengar-cengir saat Ayushita membulatkan mulutnya.
"Mau ya?" bujuk Firda.
Akhirnya Ayushita hanya bisa mengiyakan meski dengan berat hati. Maka jadilah mereka janjian akan berangkat bersama ke tempat kondangan malam harinya.
Hari pertama Ayushita berjalan lancar. Rasa sedih dan rindu pada kedua orang tuanya sedikit terobati.
***
Setelah menunaikan shalat Isya, Ayushita sudah bersiap sambil menunggu Firda yang akan menjemputnya. Gadis itu memakai gamis warna lembayung dipadankan dengan kerudung berwarna ungu muda kian menambah kadar kecantikannya. Wajahnya dipoles bedak tipis dan tak lupa lipgloss warna cherry. Ayushita tampak lebih dewasa dan elegan.
Bahkan Firda yang baru tiba ikut terpana melihat tampilan Ayushita.
"Masyaallah! Kamu kok cantik banget sih Sit," seru Firda tanpa melepaskan pandangannya dari Ayushita.
"Biasa aja kali, Fir. Yuk ah nanti kemalaman," gamit Ayushita pada lengan Firda untuk menutupi semburat merah di pipinya. Firda terkekeh melihat wajah tersipu temannya itu.
Belasan menit kemudian mereka telah tiba di lokasi kondangan. Kampung ini tidak terlalu luas dan bisa dikelilingi hanya dengan jalan kaki. Dan ternyata rumah Pak Jaja sang tuan rumah acara hanya berjarak dua ratus meter dari rumah tinggal Ayushita alias hanya beda gang.
Kedua gadis itu masuk dan menyalami Pak Jaja dan istrinya yang sibuk menerima tamu undangan. Ciri khas di kampung, para warga akrab satu sama lain.
"Wah, ini ibu guru yang baru datang dari kota?" tanya Pak Jaja dengan senyum semringah.
"Iya, Pak. Saya Ayushita. Panggil Sita saja," jawab Ayushita seraya menyambut uluran tangan suami istri itu.
"Benar-benar cantik ya, Pak? Ternyata kabar itu bukan hoak," timpal istri Pak Jaja. Pak Jaja mengangguk setuju.
Ayushita jadi salah tingkah. Sedangkan Firda hanya senyum-senyum saja sedari tadi.
"Ayuk diincip-incip makanannya Bu Guru," tawar Pak Jaja kepada kedua gadis itu.
"Ntar aja, Pak. Saya mau kenalin Ibu Sita ke Bapak Kades dulu sekalian mau laporan." jawab Firda cepat.
"Oh, iya benar, Pak. Saya belum sempat laporan ke Pak Kades atau Pak RT sebagai warga baru padahal saya sudah dua hari di sini," Ayushita jadi merasa malu.
"Silahkan Bu Guru. Kebetulan ada juga Pak Dokter hadir malam ini,"
Ayushita lalu pamit dan mengikuti langkah Firda yang menariknya ke arah sekumpulan bapak-bapak yang duduk di kursi deretan depan. Ayushita merasa gugup dan canggung karena gerakan mereka diikuti tatapan penasaran campur kagum oleh warga yang hadir di tempat itu. Siapa lagi yang menjadi obyek rasa penasaran dan kekaguman kalau bukan dirinya.
'Hehehe ... Kok aku jadi ge-er ya?' cetus Ayushita dalam hati.
Ketika mereka sampai di depan bapak-bapak yang asik mengobrol itu, seketika semua perhatian tertuju pada mereka tanpa kecuali.
"Pak, ini Ibu Ayushita guru baru yang mengajar di SMP kami. Sit, kenalin ini bapakku, beliau Kades di sini," Firda memperkenalkan Ayushita pada pria paruh baya berbaju batik cokelat.
."Selamat datang di kampung kami, Bu. Bagaimana? Apakah betah di sini?" balas Pak Kades dengan senyum kebapakannya.
"Alhamdulillah, Pak. Semoga bisa betah." jawab Ayushita.
"Ini Pak RT. Kalau butuh bantuan atau ada urusan penting lainnya silahkan minta bantuan pada beliau. Boleh juga tandang ke rumah, Firda akan membantu Ibu Sita selama di sini,". ungkap Pak Kades bernama Pak Junaid. Wajahnya sekilas mirip dengan Firda saat tersenyum. Benar-benar berwibawa dan hangat.
Pak Junaid juga memperkenalkan Ayushita pada beberapa warga yang berkumpul di sana. Ada pemandangan berbeda saat tatapannya fokus pada satu titik dimana seorang pria dengan penampilan berbeda dengan bapak-bapak itu duduk santai seraya menyimak obrolan mereka.
Mengapa berbeda? Karena pria itu terlihat masih muda dengan setelan kemeja putih lengan panjang digulung sampai siku, celana bahan berwarna biru dongker lengkap dengan sepatu kulit mengkilat. Rambut hitamnya dipotong rapi. Kulitnya cerah dan wajahnya tampan. Yah, Ayushita tidak bisa menampik kalau pria itu tampan dan jelas berbeda. Menilik penampilannya, Ayushita menduga kalau sang pria bukan warga asli kampung itu.
Menyadari arah tatapan Ayushita, Pak Junaid langsung memperkenalkan sang obyek pengalih fokus Ayushita.
"Ibu Sita, kenalin ini Dokter Arjuna. Beliau juga tenaga medis kontrak di sini. Beliau ditugaskan di sini untuk menangani penyakit endemik yang menyerang anak-anak di kampung ini."
'Fix. Ternyata kami sama-sama tenaga kontrak meski berbeda profesi. Apakah dia juga punya masalah berat sehingga terdampar di pedalaman ini?'
Ayushita terkekeh dalam hati membayangkan kemungkinan itu.
Sang Dokter Anak mengulurkan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku dengan sikap elegan.
"Arjuna Prawira," Suara dalam sang dokter kembali menyadarkan Ayushita dari lamunannya.
"Ayushita, panggil Sita," dengan sopan Ayushita menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Bukan tidak mau menghargai, tapi Ayushita merasa sangat canggung untuk bersentuhan tangan dengan sang dokter.
Arjuna tampak maklum dan menarik perlahan tangannya lalu memasukkan ke dalam saku celananya.
"Hmm... sepertinya dia sangat canggung. Astaga. Pipinya sampai merah. Menggemaskan. Cantik sih. Tapi, masih dibawa standard,' gumam Arjuna dalam hati.
Ayushita yang menyadari tatapan intens Arjuna padanya merasa sangat sesak dan dia butuh melarikan diri dari sana. Dengan sopan dia pamit pada bapak-bapak di sana lalu menyeret Firda untuk menghampiri meja prasmanan.
"Eheemm...," Firda berdehem jail ke arah Ayushita yang pura-pura sibuk menyendok beberapa menu.
"Apa??" tanya Ayushita polos.
"Sepertinya ada yang tidak berkedip nih lihat kamu?" goda Firda mengedipkan matanya.
"Siapa?" Ayushita kembali bertanya dengan nada polos.
"Tsk, pura-pura tidak tahu." Firda mendengus sebal dengan sikap pura-pura gadis di depannya. Dia melirik ke arah Arjuna yang masih menatap mereka dan Ayushita pun melirik ke arah yang sama.
'No. Big No. Aku tidak boleh kege-eran. Ingat Ayushita, apa tujuanmu datang ke sini. Hindari masalah dan hindari sakit hati,' ultimatum Ayushita pada diri sendiri.
Cukup sekali dia terluka oleh pria. Dia tak ingin menambah panjang goresan luka di hatinya. Lagian dia tidak ingin terlena hanya karena tatapan seorang pria yang bisa berarti banyak hal. Iya, kan???
Bersambung ...
💝💝💝
Happy reading 😊