Chereads / Bukan Wonder Woman / Chapter 3 - BWW #3

Chapter 3 - BWW #3

Jika ada yang perlu ku hindari maka itu adalah masalah yang berhubungan dengan pria. (Ayushita)

***

Ayushita POV

Akhir pekan pertama di kampung Petak Hijau. Eh, sebelumnya aku tidak tahu nama kampung ini karena saya selalu terlewat membaca papan nama sekolah di depan pagar. Barulah kemarin Firda menyebutkannya saat aku bertanya padanya.

Hari ini aku janjian dengan Firda buat belanja kebutuhanku di rumah tinggal. Aku butuh beberapa alat masak, alat makan dan alat untuk bersih-bersih. Sekalian belanja bahan makanan dan beberapa keperluan receh perempuan.

Sore hari setelah shalat Ashar, Firda menjemput aku dengan menggunakan motor matic-nya. Aku menyangka kami akan keluar kampung untuk membeli keperluanku, ternyata kami hanya menyambangi sebuah toko yang lumayan lengkap di dalam kampung juga yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Firda.

Awalnya aku mengira kampung ini benar-benar udik jauh dari peradaban. Namun prasangkaku akhirnya terpatahkan.

Meski di pedalaman tetapi kampung ini bukan kampung yang terbelakang. Selain sebuah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, di kampung ini juga ada beberapa toko yang lumayan lengkap, sebuah masjid yang lumayan besar, jaringan seluler dan internet pun lumayan bagus. Hanya pasar saja yang lumayan jauh di kampung sebelah dan kalau malam hari listrik padam pada jam sepuluh. Harus selalu sedia lilin atau lampu charge.

Sebelum menyambangi toko yang akan kami tuju, Firda mengajak aku singgah ke rumahnya karena dia lupa membawa dompet.

"Assalamu'alaikum." Secara bersamaan aku dan Firda mengucapkan salam saat tiba di pintu rumah.

"Wa'alaikumussalam," sahut seorang wanita paruh baya dari dalam rumah.

"Mari masuk, Sit. Kenalin ini ibuku," kata Firda seraya menyeret aku masuk. Aku lalu menyalami dan mencium tangan ibunya.

"Wah, ibu guru baru. Cantik sekali ya." Bu Junaid menepuk-nepuk punggung tanganku lembut khas seorang ibu. "Mari duduk, Nak."

Aku mengangguk seraya tersenyum lalu duduk di salah satu sofa tunggal. Rumah Firda sangat besar untuk ukuran rumah di kampung ini. Halamannya juga luas dan bersih dengan beberapa pohon buah yang rindang. Benar-benar nyaman.

"Mau minum apa, Nak?" tawar Bu Junaid.

"Tidak usah repot Bu. Kami tidak lama-lama karena akan ke toko mau beli beberapa perlengkapan," tolakku dengan nada sopan.

"Oh, gitu,"

"Bu, kami mau pamit ke toko ya," tukas Firda yang baru keluar dari bilik kamarnya.

"Iya, hati-hati bawa motornya, Fir," ucap Bu Junaid. Aku lalu pamit dan menyalami ibunya Firda.

Saat aku dan Firda sudah keluar pagar, Dokter Arjuna juga keluar dari pagar bangunan yang terletak di seberang jalan. Pria itu menatap kami sebelum bertegur sapa dengan Firda tanpa menghiraukanku.

"Mau kemana, Fir?" tanya Arjuna.

"Eh, Pak Dokter. Mau temani Ibu Sita belanja keperluan sehari-hari," jawab Firda.

Arjuna hanya melirik sekilas padaku. Tidak ada senyuman atau sapaan ramah tamah untukku. Aku merasa jengah juga. Firda yang memahami situasi langsung pamit pada Arjuna kemudian menyalakan mesin motornya. Aku yang sudah duduk di belakang Firda hanya mengangguk sekilas pada sang dokter sebelum motor yang kami tumpangi melaju.

Masih sempat ku lihat lewat ekor mataku bayangan sang Arjuna maksudku Dokter Arjuna yang memandangi kami yang semakin menjauh.

"Sit, kamu lihat kan kalau Dokter Arjuna melirik ke kamu terus," Firda mulai masuk dalam mode gosip sambil konsentrasi menyetir motornya.

"Ah masa sih? Tadi ku lihat dia cuek aja tuh," balasku dengan nada sebisa mungkin aku buat biasa saja.

"Kamu saja yang tidak perhatikan gerak-geriknya, Sit," Firda kekeh dengan pendapatnya.

"Kamu salah lihat kali,"

Firda tertawa mendengar jawabanku. Meski baru berteman beberapa hari tapi sepertinya Firda sangat paham dengan sifatku yang tidak terlalu peduli dengan sikap pemuda-pemuda kampung yang selalu mencari perhatian. Aku selalu mencoba bersikap ramah pada warga kampung hanya saja selalu merasa tidak nyaman saat ditatap oleh mereka.

"Fir, kok Dokter Arjuna keluar dari sana tadi?" tanyaku dengan sedikit penasaran. Hanya sedikit ya.

"Dia kan tinggal di rumah itu. Dokter Arjuna itu petugas medis kontrak yang menangani beberapa kampung di sini. Karena kampung kita ada Puskesmas maka dia tinggalnya di sini. Biar dekat gitu," tukas Firda panjang lebar.

"Dalam rangka apa dia ditugaskan di sini? Bukankah sudah ada bidan dan perawat?" tanyaku lagi.

"Beberapa tahun terakhir penyakit malaria menjadi penyakit endemik di daerah ini. Banyakan penderitanya adalah anak-anak. Sebelum Dokter Arjuna ada dokter lain yang tugas di sini. Dia baru tiga bulan tugasnya."

Aku hanya ber-oh ria menanggapi penjelasan Firda.

"Eh, dia masih bujang lho." Mulai lagi deh ini anak.

"Terus?"

"Siapa tahu tertarik kan? For more information, aku punya nomor kontak dia," Firda lanjut menggodaku.

"Tidak minat," elakku cepat. Firda kembali tertawa lebar mendengar tanggapanku.

Beberapa menit kemudian kami sampai di toko yang dimaksud oleh Firda. Dengan bantuan gadis itu, aku memilih beberapa perlengkapan yang sudah aku tulis sebelumnya di selembar kertas. Biar cepat dan tidak kebablasan membeli barang yang tidak terlalu diperlukan.

Setelah berkeliling dan memilih selama hampir satu jam, aku lalu membayar barang-barang yang telah aku pilih lalu memasukkan ke dalam tas belanja yang aku bawa dari rumah. Aku terbiasa membawa tas belanja untuk mengurangi penggunaan kantong plastik dan demi mendukung program ramah lingkungan.

Setibanya di rumah tinggalku, Firda ikut membantu membereskan berbagai peralatan yang kami beli kemudian pamit pulang. Firda benar-benar teman yang bisa diandalkan dan aku tidak merasa kesulitan dalam berinteraksi dengan siapapun karena bantuannya. Kadang aku berpikir bahwa aku akan mengalami banyak kendala hidup di kampung orang karena aku belum pernah jauh dari rumah sebelumnya. Lambat laun aku merasa kalau semua itu hanya ketakutanku saja. Nyatanya aku baik-baik saja hingga sekarang.

Sesudah menunaikan shalat Maghrib, aku makan malam sendirian tanpa Papa, Mama dan Kak Ayub seperti malam-malam sebelumnya. Aku harus belajar tegar tanpa mereka agar luka hatiku bisa cepat sembuh.

Sebagai seorang guru, aku harus menyiapkan bahan ajarku lebih awal agar besok aku sudah siap saat masuk ke kelas. Sejenak aku membaca rencana pelaksanaan pembelajaran dan membuat media penunjang yang akan aku gunakan.

Sebelum pukul sepuluh aku menutup leptop lalu merendahkan tubuhku di atas dipan. Sekilas wajah kedua orang tuaku melintas dalam benakku. Wajah sedih Mama serta ekspresi menyesal Papa. Mereka menyesal telah menjodohkanku dengan Danuar.

Tapi nasi sudah jadi bubur, semua sudah terjadi dan tidak bisa disesali lagi. Marah sekali pun tak akan mengembalikan posisi Danuar kepadaku. Dia sudah memilih jalannya sesuai kehendak hatinya meskipun aku tetap menganggap dia kejam. Iya, dia kejam karena tidak mempertimbangkan perasaanku, keluargaku dan keluarganya.

Sekali lagi, marah sekalipun takkan mengembalikan semuanya seperti semula. Maka aku hanya bisa mengikhlaskan Danuar. Semoga pilihannya adalah yang terbaik.

Perlahan aku memejamkan mata sambil mulutku masih komat kamit lirih melantunkan doa, Surat Alfatihah dan beberapa surat pendek dalam Al-Quran.

Derik bunyi jangkrik mengantarkanku ke jagat mimpi. Melambungkan kesadaranku ke puncak awang-awang yang penuh keindahan. Meninggalkan sejenak kesedihanku di alam nyata. Sebentar saja. Ku ingin bahagia dalam mimpi ini.

***

Author POV

Bel panjang berdering memekakkan telinga di pagi menjelang siang yang mulai terik. Namun bagi para siswa dering bel itu ibarat nyanyian surga yang membebaskan mereka dari sesaknya pelajaran di dalam kelas. Waktu istrahat telah tiba.

Dengan riuh mereka berhamburan keluar ruang kelas dan masuk ke kantin sekolah. Dengan tidak sabar karena didera rasa lapar mereka berebut memesan makanan dan minuman membuat ibu kantin kewalahan melayani mereka.

Ayushita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah anak-anak didiknya itu. Dengan gontai Ayushita melangkahkan kakinya ke kantor untuk beristirahat sejenak.

Saat tiba di teras kantor, Ayushita melihat sebuah motor matic terparkir di halaman. Bukan motor Kepala Sekolah ataupun salah satu guru. Sepertinya ada tamu berkunjung.

Dengan mengucap salam Ayushita masuk ke dalam ruang kantor. Terlebih dahulu tatapannya bersirobok dengan tatapan tajam seorang pria berjas putih ala petugas medis.

Ayushita sedikit terkejut mendapati sang dokter anak sedang berbincang dengan Pak Mardi. Di sebelahnya duduk seorang wanita dengan baju dinas warna sama dengan sang dokter.

Dengan senyum sopan Ayushita melangkah perlahan ke meja kerjanya, meletakkan buku-buku yang dibawanya lalu meneguk segelas air untuk menghilangkan dahaga sekaligus rasa terkejutnya.

"Bu Sita mungkin sudah kenal dengan Dokter Arjuna. Beliau petugas medis yang ditugaskan di kampung ini." Suara Pak Mardi berhasil mengalihkan perhatian Ayushita pada mereka.

"Iya, Pak. Pak Kades sudah mengenalkannya," jawab Ayushita tanpa mengurai senyumnya. Tampak Arjuna melirik sekilas ke arah Ayushita. Gadis itu pun melakukan hal yang sama.

"Dan ini Bu Dian, perawat yang membantu tugas Dokter Arjuna di Puskesmas," ucap Pak Mardi memperkenalkan wanita berbaju putih itu. Ayushita beranjak menyalami sang perawat dan hanya mengangguk sopan seraya menangkupkan kedua tangan ke arah Arjuna.

"Pak Dokter akan melakukan pemeriksaan berkala kepada siswa. Hari ini adalah jadwal bulan ini. Saya mohon Ibu Sita bisa membantu Pak Dokter dan Ibu Dian untuk mengarahkan mereka ke salah satu ruang kelas dan mendampingi anak-anak," ujar Pak Mardi.

"Saya Pak?" Dahi Ayushita berkerut bingung.

"Iya Bu. Sebelumnya Ibu Firda yang melakukan namun Ibu Firda sedang ada keperluan keluar," pinta Pak Mardi.

"Baik, Pak," jawab Ayushita.

Arjuna dan teman perawatnya yang bernama Dia pamit pada Pak Mardi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan kepada para siswa. Ayushita keluar mendahului kedua orang tersebut. Dia segera mengarahkan seluruh siswa untuk berkumpul di satu ruangan. Jumlah siswa yang tidak terlalu banyak membuat Ayushita tidak kesulitan mengumpulkan mereka.

"Silahkan Dok, anak-anak sudah siap," kata Ayushita mempersilahkan Arjuna masuk ke dalam ruang kelas.

Arjuna hanya memandang sekilas pada Ayushita lalu melewatinya tanpa sepatah kata.

'Cih, ini dokter tidak ada sopan-sopannya. Muka datar dipelihara. Kok muka datar gitu bisa jadi dokter anak ya?' Ayushita memberengut dalam hati.

Sementara si perawat Dian tampak tersenyum simpul di depan Ayushita sembari menghampiri Arjuna. Dengan nada manja dibuat-buat, Dian berbicara sambil tertawa-tawa pada sang dokter. Arjuna menanggapinya dengan senyum kecil. Mereka asyik menyiapkan peralatan yang akan digunakan dan seolah mengabaikan keberadaan Ayushita di sana.

Ayushita hanya diam memandangi kesibukan kedua insan itu. Dengan enggan dia melangkah ke salah satu bangku kosong. Anak-anak mulai riuh bercanda dan berkejaran satu sama lain.

"Hei ... Bisa tidak anak-anak ditenangin?" Tiba-tiba suara pria itu menggema.

"Apa?" Ayushita tersentak kaget.

"Bukankah tugas kamu menenangkan anak-anak ini? Kalau mereka kacau begini gimana pemeriksaan akan dimulai?" ketus sang dokter.

Ayushita ternganga mendengar ujaran ketus sang dokter. Sementara Dian tersenyum mengejek di sampingnya.

'Ni dokter kok sensi amat. Dendam apa dia sama aku sampai ketus gitu,' sungut Ayushita dalam hati. Disabarkan hatinya agar tidak terprovokasi oleh sikap ketus pria itu.

Ayushita hanya berdoa agar berikutnya tidak berurusan dengan sang dokter lagi. Benar-benar menjengkelkan.

Bersambung ...

💝💝💝

Makasi sudah mampir baca. Jika kalian suka jangan lupa batu kuasa dan penilaiannya ya.

Happy reading and stay healthy 😘