Chereads / Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian) / Chapter 8 - 7. Caius Ballad's Untouchable-Men

Chapter 8 - 7. Caius Ballad's Untouchable-Men

Dengan kondisi wajah yang terdapat sedikit luka lebam, Aldy berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju tempat di mana adiknya, Maureen berada. Heri berbalik begitu mendengar suara pintu yang dibuka di belakangnya.

Wajah Heri jelas menunjukkan rasa cemas. "Kamu berantem lagi?"

Aldy mengangguk mengiyakan pertanyaan Heri dan menutup kembali pintu kamar rumah sakit itu. Ia menaruh tasnya di atas sofa yang terdapat di sudut ruangan dan melepas juga jaket yang ia kenakan, memperlihatkan seragam putih khas SMA-nya yang sudah kusut. Sangat jelas bahwa Aldy memang habis berkelahi dengan seseorang.

"Bukannya dulu kamu pernah bilang kalo kamu bakal melatih diri kamu untuk jadi kakak yang baik buat Maureen kalau dia bangun nanti?"

Aldy duduk di sofa di sebelah tempat ia menaruh tas dan jaketnya sambil menyandarkan punggungnya. "Ini juga Aldy lakuin buat Maureen."

"Buat Maureen? Maksudnya? Kamu berantem buat dia? Emang ada orang yang menghina adikmu di sekolah?"

"Ga gitu. Susah jelasinnya." jawab Aldy.

Heri berjalan mendekat ke arah Aldy dan duduk tepat di sebelahnya. "Kalo gitu, jelasin biar ayah ngerti. Siapa tau ayah bisa bantu kamu, nak."

Aldy menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan hembusan napas yang sedikit keras. "Kan ayah pernah bilang kalo Maureen harusnya masuk SMA. Ada kemungkinan kalo nanti Maureen bakal satu sekolah sama Aldy, iya kan?"

Heri masih mendengarkan sambil mengangguk menanggapi pertanyaan Aldy.

"Situasi di sekolahnya Aldy tuh lagi kacau, yah. Geng-geng sekolah yang ada di sekolahnya Aldy selalu nyari masalah satu sama lain. Belum lagi geng-geng sekolah lain yang hampir setiap hari dateng buat nyerang."

Heri seakan hampir tak percaya dengan apa yang anaknya katakan. "Kalo emang gitu keadaannya, kenapa kamu ga pernah cerita ke ayah? Mulai besok, kamu bisa cari sekolah lain yang lebih kondusif dari sekolahmu sekarang."

Aldy menggeleng, membuat Heri penasaran dengan tanggapannya itu. "Loh, kenapa? Tunggu โ€ฆ Jangan bilang kamu,"

Kini Aldy mengangguk, Hari merasa tersentak karena apa yang ia pikirkan ternyata benar-benar terjadi.

Aldy mengadahkan kepalanya menatap langit-langit kamar rumah sakit tempat Maureen terbaring koma itu, masih menyandarkan punggungnya di kepala sofa yang ia duduki. "Tadi Aldy terlambat pulang karena Aldy nantang semua geng yang ada di sekolahnya Aldy sekaligus. Dan sekarang, mereka semua udah tunduk sama Aldy."

Heri seakan tak bisa berkata apapun untuk menanggapi ucapan anaknya. Ia hanya diam mendengarkan apa yang Aldy katakan.

"Dan mulai besok, Aldy bakal bikin sekolah Aldy adalah sekolah yang paling ga bisa diganggu oleh siapapun. Dengan begitu, Maureen bisa tenang masuk sekolah nanti."

Heri menghembuskan napas secara perlahan, berusaha mengendalikan dirinya sendiri. "Kenapa kamu bisa punya pemikiran begitu? Bukannya lebih mudah untuk pindah sekolah aja?"

Aldy pun menegakkan posisi duduknya dan menoleh untuk menatap balik mata ayahnya. "Aldy juga ga tau pah. Tapi setiap Aldy melamun di kamar, yang ada di otaknya Aldy tuh apa yang bisa Aldy lakuin buat Maureen. Padahal Aldy belum pernah kenal sama Maureen, tapi rasanya Maureen udah kayak seseorang yang harus Aldy jaga apapun taruhannya. Ga masuk akal kan?"

Heri kini mengerti bahwa yang Aldy lakukan hanya sebagai seorang kakak yang menyayangi adiknya. Meskipun cara yang Aldy ambil terkesan kelewat bar-bar, namun jika memang Aldy melakukannya dengan hati yang bersungguh-sungguh, bahkan dirinya sendiri tak bisa berbuat apa-apa.

Heri pun menyunggingkan senyuman hangat yang selalu bisa membuat Aldy merasa tenang. "Kalo memang itu keputusan yang kamu ambil, ayah ga akan bisa ngelarang. Cuman satu yang ayah minta. Jangan terlalu maksain diri. Kalau memang hal itu udah ga bisa kamu atasi, kita bisa carikan sekolah lain untuk kamu sama Maureen nanti."

Aldy terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan permintaan Heri. Kini Aldy mengalihkan pandangannya pada gadis yang masih terbaring koma di atas ranjang rumah sakit di hadapannya.

Sambil terus memandang wajah damai Maureen, Aldy bertanya dalam hatinya, kapan Maureen akan bangun.

Apakah Maureen bisa menerima seseorang seperti dirinya sebagai seorang kakak?

Entahlah, yang bisa Aldy lakukan hanyalah menerka, karena jawabannya hanya diketahui oleh Maureen seorang.

Meskipun Maureen dalam kondisi tak sadarkan diri, namun sebenarnya ia bisa mendengar apapun yang terjadi di sekitarnya. Dan Maureen, si gadis yang terbaring koma itupun bisa mendengar apa yang Aldy bicarakan dengan Heri.

Dalam keadaan koma-nya, Maureen benar-benar merasa penasaran, sebenarnya siapa lelaki bernama Aldy yang dipanggil dengan sebutan 'nak' oleh ayahnya. Dan kenapa orang itu menganggap Maureen sebagai adiknya?

Dan kenapa seseorang bernama Aldy itu mengatakan bahwa ia ingin melakukan sesuatu untuk dirinya, walau mereka belum saling kenal?

Dalam hati, Aldy dan Maureen saling menanyakan satu sama lain.

Dan hanya mereka berdua lah yang tahu jawaban dari semua pertanyaan itu.

***

Sambil menarik napas dalam-dalam, Aldy memejamkan matanya, mencoba merasakan udara sekitar yang ia hirup sebelum kembali membuka matanya. Di belakang Aldy berdiri seluruh anggota geng sekolah SMAS Caius Ballad, termasuk tiga petinggi geng seperti Edwin, Zico dan juga Marsel.

Sedangkan di hadapan Aldy, sekitar dua ratus meter berdiri empat geng dari sekolah yang berbeda sekaligus. Dua dari geng sekolah negeri, dua dari sekolah swasta. Mereka semua bergabung untuk menyerang SMAS Caius Ballad karena sebelumnya Aldy telah memprovokasi empat sekolah itu sekaligus.

Marsel yang tadinya berdiri beberapa langkah di belakang Aldy pun maju mendekati Aldy dan berdiri teoat di sampingnya. Dengan teliti Marsel mengedarkan pandangannya pada keempat geng sekolah di hadapan mereka yang akan menjadi lawan pada pertempuran perdana setelah Aldy resmi menjadi pemimpin tunggal geng SMAS Caius Ballad.

Marsel menoleh ke arah Aldy, tangan kanannya memegang sebuah pipa besi dan memukul-mukulkannya ke tanah. "Ga perlu gue ingetin kan, kalo sekolah kita kalah jumlah?"

Aldy tak menjawabnya. Marsel sudah terbiasa dengan sikap Aldy yang seperti itu. Ia pun memilih untuk tak menanyakan mengapa Aldy tidak memegang senjata sama sekali.

Marsel berbalik menatap teman-teman geng sekolahnya sendiri dan kembali melihat ke arah musuhnya. "Kita semua udah siap, tinggal nunggu perintah dari lo." ucap Marsel sembari menghentakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan secara bergantian untuk melemaskan otot lehernya.

"Atau kita bisaโ€”"

Belum sempat Marsel menyelesaikan kalimatnya, tanpa aba-aba maupun peringatan sedikitpun Aldy berlari dengan sangat cepat menerjang ke arah empat geng sekolah yang bergabung untuk menyerang mereka itu sendirian.

Ya, sendirian, membuat Marsel dan yang lainnya tertinggal jauh di belakang.

Akhirnya mereka semua mengikuti langkah Aldy walau tertinggal jauh.

Aldy melompat dan menyajikan lutut kanannya pada dada orang pertama. 'Duakkk', hantaman keras lutut itu membuat lawannya terbatuk mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Segera setelah kedua telapak kaki Aldy sudah kembali berpijak di atas tanah, Aldy langsung menerjang lawan-lawan yang ada di sekitarnya tanpa ampun.

Dengan kecepatan gerakan yang stabil dan napas yang teratur, ditambah mental yang sudah terbiasa untuk tetap tenang walau di bawah tekanan membuat Aldy dapat mengontrol stamina tubuhnya namun tetap memberikan dampak serangan yang sangat besar pada tubuh lawan.

Aldy tidak pernah melancarkan serangan pada bagian-bagian tubuh lawan yang kurang vital. Ia lebih suka mengincar bagian-bagian tubuh yang memungkinkan lawannya tumbang dalam satu atau dua pukulan, terlebih saat berada di dalam perkelahian massal seperti ini.

Kepalan tangannya melesat ke arah leher lawan yang berada di hadapannya. Melirik sedikit ke sebelah kanan dan menyadari bahwa ada seseorang yang mengayunkan sebilah golok ke arahnya. Aldy melompat mundur untuk menghindari ayunan golok secara vertikal itu, dan dengan cepat menghadiahi tendangan kaki kiri kepada orang yang mengayunkan golok tersebut, tepat mendarat di perutnya.

Orang itu tertunduk berkat tendangan kaki kiri Aldy yang telak mengenainya. Dan saat itu juga Aldy memanfaatkan tubuh orang yang tertunduk itu, membuat punggungnya sebagai pijakan dan melompat untuk menyerang lawan lainnya dengan tendangan melayang.

Marsel yang tak jauh dari tempat Aldy berada pun terdiam sejenak. Ini memang bukan pertama kalinya Marsel berada di satu medan perkelahian massal bersama Aldy, namun cara bertarung Aldy yang bisa menumbangkan lawan-lawannya dengan sangat brutal namun juga teratur itu tak pernah gagal memesona kedua matanya.

Ia bersyukur bahwa Aldy tak bersekolah di sekolah lain. Karena jika ia berhadapan dengan Aldy di medan tempur sebagai seorang musuh, tak diragukan lagi apa yang akan terjadi padanya.

Edwin juga melihat apa yang Aldy lakukan dari tempatnya berada. Mantan pemimpin tertinggi SMAS Caius Ballad yang posisinya direbut oleh Aldy baru-baru ini itu menyuggingkan senyuman lebar di bibirnya. "Ternyata, waktu berhadapan sama gue lo masih nahan diri. Dasar sialan."

Edwin menyadarinya. Aldy yang saat ini ia lihat bukanlah Aldy yang waktu itu bertarung dengannya dalam perebutan kekuasaan geng sekolah. Jika dibandingkan dengan Aldy yang sekarang ia lihat dengan kedua bola mata kepalanya, benar-benar sangat brutal dan memancarkan aura yang sangat gelap.

Ditambah wajah Aldy yang tak memperlihatkan ekspresi apapun meskipun ia telah menumbangkan begitu banyak lawan di medan pertempuran ini, membuat siapa saja yang melihatnya akan langsung mencap Aldy sebagai pembunuh berdarah dingin, meski lawan-lawannya tak ada yang terbunuh, hanya sekedar tak sadarkan diri,

Namun bukan hanya itu saja. Beberapa di antara korban keganasan seorang Aldy, ada yang meringkuk di tanah dalam kondisi menderita patah di beberapa tulang dalam tubuh mereka.

Bahkan Zico, orang yang dulu paling memandang rendah Aldy, kini hanya bisa bergidik ngeri melihat bagaimana lelaki yang ia pandang rendah itu seakan mendominasi medan pertempuran massal itu sendirian.

Baik Edwin, Marsel maupun Zico, tiga orang yang pernah menjadi pemimpin geng terbesar di SMAS Caius Ballad, tanpa ragu telah menetapkan hati mereka untuk mengikuti Aldy.

Dan tak perlu diragukan lagi, pihak mana yang akan memenangkan pertempuran kali ini.

Sebesar apapun perbedaan jumlah mereka, selama Aldy berada di dalam medan pertempuran, maka kemenangan akan berada pada pihak Aldy.

Dan saat itu juga, julukan sebagai Caius Ballad Untouchable-Men pun melekat pada diri seorang Rizaldy Pradipta.