Chereads / Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian) / Chapter 9 - 8. Perubahan Sikap Aldy

Chapter 9 - 8. Perubahan Sikap Aldy

Dengan perlahan Aldy membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah cahaya terang dari lampu yang berada di langit-langit kamar tempat Maureen dirawat.

Belakangan Aldy memang lebih sering menghabiskan waktu menemani Maureen di rumah sakit ketimbang menembakkan peluru ke kepala seseorang di dalam game online di komputer kamarnya.

Setelah ia merasa bahwa kondisi di sekolah maupun dengan geng-geng sekolah di sekitarnya sudah terkendali, Aldy lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani Maureen, meskipun Mauren masih sama saja, terbaring tak bergerak di atas ranjang rumah sakit.

Aldy bangkit dari posisi tidurnya di sofa yang berada di ruangan itu. Tangannya meraih sebotol air mineral yang berada di atas meja dan menenggak cairan di dalamnya untuk menghilangkan dahaga pasca tidur nyenyaknya.

Bukan berarti Aldy mendengkur, hanya ia memang selalu merasa haus sehabis bangun tidur. Mungkin memang manusiawi.

Setelah puas menenggak cairan dari dalam botol air mineralnya, Aldy berdiri dan berjalan mendekat ke arah ranjang tempat Maureen terbaring koma, mengambil sebuah kursi dan duduk tepat di samping tubuh Maureen.

Selama beberapa saat yang Aldy lakukan hanyalah memandang Maureen dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aldy menyadari bahwa semakin hari tubuh Maureen semakin kurus saja. Entah sampai kapan tubuh lemah itu akan bertahan. Namun Aldy yakin, gadis yang terbaring koma di hadapannya adalah gadis yang kuat yang akan mampu melewati ini semua.

Aldy yakin, karena Maureen adalah adiknya.

"Ga bosen ya tiduran mulu?" tanya Aldy pada Maureen. Entahlah, meskipun Aldy tahu bahwa Maureen tidak akan menjawab pertanyaanya, namun entah mengapa Aldy merasa ingin berbicara dengannya, walau tak ada respon sedikitpun dari lawan bicaranya yang notabene seseorang yang berada dalam keadaan koma.

"Mmmm … ngomongin apa ya. Oh iya, lo inget ga, Reen, tentang pembicaraan gue sama ayah di depan lo waktu itu?"

Aldy menjeda sejenak, seakan Maureen mendengarkan apa yang ia ucapkan. "Sekarang, mungkin gue udah berhasil dengan tujuan awal gue buat bikin lingkungan sekolah yang aman dari geng-gengan, jadi kalo lo mau sekolah di sekolah yang sama kayak gue nantinya, gue bisa jamin lo bakal ngerasa aman. Tapi kalo lo mau masuk ke sekolah lain juga gue ga bisa ngelarang. Tapi gue minta, sekolah yang lo pilih nanti kalo bisa searah sama sekolah gue dari rumah, biar ga ribet kalo mau nganter lo sekolah sama jemput lo juga."

Aldy mengeritkan keningnya dan melihat ke arah langit-;angit kamar rumah sakit itu. "Atau, kalo emang lo ga mau sekolah di Caius Ballad, gue aja yang pindah ke sekolah lo. Tapi, mending lo sekolah di sekolah gue deh. Sekolahnya ga cupu-cupu banget kok, apalagi menu-menu di kantin kebanyakan enak-enak. Jangan nanya ke gue gimana perpustakaannya, soalnya dari awal gue sekolah sampe udah pertengahan kelas dua gini, perpustakaan itu satu-satunya tempat horror yang ga pernah gue masukin."

Aldy terkekeh oleh ucapannya sendiri, dan setelah tawanya terhenti Aldy baru menyadari sesuatu.

Ia menyadari bahwa ia belum pernah secerewet ini sebelumnya. Baru kali ini ia merasa dirinya terlalu banyak bicara, yaitu di hadapan Maureen, adiknya yang padahal belum pernah ia kenal sebelumnya.

Ditambah, orang yang ia cereweti adalah seseorang yang sedang dalam kondisi koma.

Entahlah, mungkin otaknya mulai tidak beres akibat terlalu banyak terkena hantaman benda tumpul selama perkelahian massal antar-geng sekolah yang ia lakukan belakangan ini.

Aldy tersenyum manis ke arah Maureen yang bahkan tak bisa melihatnya. Aldy mendekatkan wajahnya ke arah Maureen dan menaruh kedua sikunya di atas ranjang, kedua telapak tangannya menopang dagunya dan pandangannya lurus ke arah wajah Maureen. "Gue bawel banget ya? Padahal aslinya gue ga kayak gini. Kenapa ya? Apa mungkin lo juga orangnya bawel, jadi virus lo nular ke gue?"

Aldy benar-benar menanyakan hal itu pada Maureen dengan ekspresi wajah yang sangat polos. Perlakuan Aldy sangat manis terhadap Maureen, meskipun Maureen hanya diam tak bergerak sedikitpun. Jika ada orang lain yang melihatnya, mungkin mereka akan salah paham dan mengira Aldy adalah seorang kekasih yang sangat perhatian kepada wanitanya yang sedang terbaring koma,

Padahal mereka hanya seorang kakak-adik yang belum pernah saling mengenal satu sama lain.

***

Dengan cepat Aldy menekan tombol pada mouse komputernya saat ia sudah mengarahkan titik merah di tengah layar itu tepat di kepala salah satu pemain lain.

Sebuah peluru dari sniper bermodel AS-50 melesat dan menumbangkan orang yang Aldy bidik barusan, membuat Aldy mendapat satu point kill—poin yang didapat setiap kali berhasil menumbangkan orang lain.

Jari-jari tangan kiri Aldy berada di atas keyboard, seakan menari dalam tempo yang cukup cepat, sedangkan tangan kanannya memegang mouse.

"Sel, cover gue, gue mau maju!" ucap Aldy pada mikrofon yang tersambung di ear-phonenya, berbicara pada Marsel yang juga sedang bermain permainan yang sama dengannya di seberang saluran sana. Mereka terhubung berkat permainan yang mereka mainkan memiliki fitur in-game-voice, dimana para pemain dapat terhubung satu sama lain saat berada di dalam permainan.

Aldy maju setelah mengganti senjata senapan runduknya dengan senjata berjenis semi-otomatis seperti G36C Elite yang ia pungut dari mayat pemain yang telah ia tumbangkan.

Marsel sudah memanjat menara jam dan dengan senjata yang ia bawa, ia berusaha melindungi Aldy yang maju sendirian.

Gerakan Aldy begitu gesit dan juga peluru yang ia lesatkan hampir tidak ada yang meleset. Kemampuan bermain Aldy sudah setara dengan gamer-gamer professional. Jika saja Aldy rajin mengunggah rekaman permainannya di YouTube, mungkin namanya akan sangat terkenal mengingat betapa hype-nya permainan yang sedang mereka mainkan di khalayak umum.

Marsel terus berusaha melindungi Aldy dari tempat yang tinggi. Namun saat ia masih fokus pada alat bidik di atas badan senjatanya, sebuah suara mengagetkannya. Tepatnya suara bola besi yang sedang bergelinding di dekatnya.

Marsel menggeser mousenya ke arah samping untuk melihat bunyi apa itu. Dan saat itu juga, ia menyadari bahwa sebuah granat bermodel K-400 baru saja mendarat tepat di samping kepalanya.

Duaaaarrrr …

"Anjir lah, gue ga nyadar ada granat. Gue udah meninggoy, sisa elo doang, Dy. Menangin ye!" ucap Marsel sambil mengacak-acak rambutnya sendiri karena frustasi.

Aldy tak menggubrisnya. Kedua matanya fokus pada layar komputer di hadapannya. Zona pertempuran semakin mengecil, dan musuh yang tersisa masih ada tiga orang sedangkan Aldy tinggal sendirian.

Dengan gerakan yang sangat cepat, Aldy melesatkan peluru bertubi-tubi pada dua orang lawannya. Setelah menumbangkan satu orang, dengan bantingan mouse yang cukup cepat, bahkan kelewat cepat dan akurat sebagai orang biasa, Aldy menumbangkan satu orang lagi. Gerakannya benar-benar seperti seorang pemain professional yang digaji hanya untuk bermain game.

Aldy memposisikan tubuh karakternya berlindung di balik sebuah boks kayu sementara dirinya memakai item untuk mengobati nyawanya dan mengisi ulang amunisi senjatanya sebelum berhadapan dengan orang terakhir.

Ya, musuhnya tinggal satu. Jika ia bisa membunuhnya maka total dua puluh enam kill-point yang akan Aldy dapatkan, sekaligus membuat timnya memenangkan pertempuran kali ini.

Selagi Aldy berlindung di balik boks kayu dan mengisi ulang amunisi senjatanya, ia mendengar sesuatu yang tidak asing. Yap, suara bola besi yang menggelinding. Namun tak seperti Marsel, tanpa melihat arah sumber suara, Aldy dengan sigap keluar dari tempat persembunyiannya sambil memegang senjatanya yang baru saja selesai di isi ulang pelurunya.

Buuuummmm …

Bola granat yang dilemparkan musuh tadi meledak dan menghancurkan boks kayu yang Aldy pakai untuk berlindung.

Kini Aldy sudah berada di tempat yang sangat terbuka, sementara musuhnya masih bersembunyi entah dimana.

Zona pertempuran pun semakin kecil, namun Aldy masih belum menemukan di mana musuhnya berada. Namun sesaat kemudian, karakter Aldy mati, ditembak dari arah yang tidak diketahui. Marsel dari seberang saluran chat sudah mendesah karena kekalahan tim mereka yang gagal mengambil posisi pertama.

"Hahhh … Nice try lah, Dy. Game selanjutnya kita bakal dapet Winner-Winner-Chicken-Dinner."

Aldy masih belum kembali ke lobby. Ia menonton rekaman ulang bagaimana ia bisa terbunuh padahal ia tidak melihat musuh satupun. Dan setelah melihat rekaman ulang pada pertandingan sebelumnya, dugaan Aldy pun benar.

"Bangsat, cheater padahal. Pelurunya nimbus tembok." keluh Aldy sebelum kembali ke lobby permainan menyusul Marsel.

Marsel membulatkan matanya begitu dengar keluhan Aldy melalui ear-phonenya. "Hah? Cheater? Wah ga ada otak emang! Pantes gue juga ga liat dari mana musuhnya nembak tadi. Udah lo laporin ke GM?"

"Udah, santai aja. Ya udah, ready, main lagi."

"Siap bos. Gendong aku lagi ya, babang Aldy-ku terchuyunk."

"Bacot, Sel." balas Aldy, dan mereka pun kembali bermain, tak menghiraukan ulangan kenaikan smester yang akan mereka hadapi tiga hari lagi.

Bukan karena Aldy adalah seorang murid yang pemalas, namun ia lebih suka belajar dengan system kejar semalam. Masalah apakah ia bisa menjawab pertanyaan ulangannya nanti, diserahkan pada Yang Maha Kuasa. Ia tidak ingin ambil pusing pada sesuatu yang kurang ia sukai. Aldy hanya fokus pada pelajaran-pelajran tertentu yang ia sukai, tidak ingin membebani dirinya sendiri dengan berusaha handal pada setiap pelajaran.

Sungguh pendirian yang patut diacungi jempol, walau kebiasaannya tak patut untuk ditiru.

Begitulah Aldy, mau bagaimana lagi.