Chereads / Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian) / Chapter 11 - 10. Pesta Ulang Tahun

Chapter 11 - 10. Pesta Ulang Tahun

"Reen, lo tau ga, semalem gue dihubungin sama sebuah agensi yang bergerak di bidang E-Sport, namnaya RRQ, kalo ga salah kepanjangan dari Rex Regum Qeon. Jadi gue ditawarin buat jadi salah satu pro-player mereka di dua divisi game, yaitu game Point Blank sama PUBG. Dua-duanya game perang berbasis FPS. Mungkin lo ga ngerti, tapi dua game itu yang lagi hype banget di semua kalangan masyarakat, ga cuman kalangan anak muda. Lo ngerti lah maksudnya apa."

Sudah sekitar dua jam lalu Aldy duduk di kursinya, bercerita tentan apapun yang ia ceritakan kepada Maureen. Walau Aldy tak mendapatkan respon apapun dari Maureen, namun Aldy tak tahu bahwa Maureen memang bisa mendengar apapun yang Aldy katakan.

Kondisi koma yang dialami Maureen memang sedikit istimewa, di mana ia bisa mendengar dan merasakan apapun yang ada di sekitarnya.

"Gue sempet mikir sih, soalnya gaji yang mereka tawarin lumayan gede dan masalah bagi waktu antara sekolah sama E-Sport itu gampang diatur yang penting gimana gue disiplin aja. tapi, lo mau tau satu hal ga? Agak malu-maluin sih, tapi begitu gue mikirin tentang lo, langsung gue tolak tawaran mereka. Mau tau ga kenapa?"

Aldy menggantung ceritanya dan menyunggingkan senyuman yang sangat ramah dan hangat pada Maureen, meski Aldy sadar bahwa Maureen tak bisa melihat senyuman yang super-langka dilihat orang itu.

Aldy berusaha menahan tawanya memikirkan apa yang akan ia katakan setelah ini. Setelah menarik napas dalam-dalam, Aldy pun melanjutkannya. "Alesannya, nanti gue ga punya banyak waktu sama lo. Gue takut, nanti lo nyariin lagi, mana nih suaranya orang ganteng yang selalu nemenin gue, yang ngomong mulu kayak radio rusak tapi ngangenin itu? Kok ga muncul-muncul?"

Aldy pun melepaskan tawanya, sedangkan Maureen masih diam terbaring dengan mata tertutup, tanpa reaksi.

Mungkin bukan tanpa reaksi. Karena saat Aldy mengatakan lelucon itu, detak jantung Maureen di alat pendeteksi detak jantung mengalami sedikit perubahan pola pada garis hijau di layar itu. Namun Aldy tak menyadarinya karena sibuk menertawakan leluconnya sendiri.

Setelah puas menertawakan dirinya sendiri, Aldy kembali memandang wajah damai Maureen selama beberapa saat. "Nanti malem, Marsel ngajakin gue ke acara ulangtahun. Gue ga kenal orang yang ulangtahun, tapi katanya Marsel ga bisa dateng kalo ga sama gue. Aneh kan? Terus Marsel juga bilang kalo hal itu gara-gara yang ulangtahun tuh suka sama gue. Tambah ga ada otaknya emang orang-orang, gimana bisa ada orang yang suka sama orang yang belum pernah dia temuin? Atau mungkin dia pernah ketemu sama gue tapi gue ga inget? Emang susah banget jadi orang kelewat ganteng."

Ponsel Aldy bergetar. Sebuah notifikasi pesan muncul di atas layar, memberitahukan bahwa Marsel sudah berada di tempat parkir rumah sakit dan sudah menunggunya bersama Edwin dan Zico.

Aldy kembali mengarahkan pandangannya pada Maureen. Dengan perlahan Aldy mendekatkan tangannya ke arah wajah Maureen dan mendaratkan telapak tangannya secara perlahan di puncak kepala Maureen, membelai lekukan wajah Maureen dengan sangat lembut sambil menyunggingkan senyuman. "Gue pergi dulu ya. Besok gue dateng lagi. Jangan kangen, oke?"

Aldy mendekatkan wajahnya ke arah Maureen. Namun saat jarak wajah mereka sudah kurang dari sejengkal, Aldy menghentikannya. Aldy pun menggelengkan kepalanya dan kembali menjauhkan wajahnya dari wajah Maureen.

Awalnya ia berniat ingin memberikan Maureen kecupan selamat tinggal di keningnya, namun ia baru sadar bahwa hal itu belum bisa ia lakukan sampai mendapat persetujuan dari Maureen langsung.

Aldy pun bangkit dan mengambil jaket kulit yang tergeletak di sofa, berjalan ke arah pintu dan keluar dengan sebelumnya ia kembali berbalik untuk menatap wajah Maureen sekali lagi sebelum Aldy menutup pintu itu.

Di dalam sana, jantung Maureen berdegup lebih cepat dari biasanya. Tidak ada yang mengetahuinya, namun Maureen bisa merasakan deru napas Aldy saat wajah mereka berdekatan. Namun setelah beberapa detik, laju tempo jantung Maureen kembali normal.

Di dalam sana, Maureen menjadi semakin penasaran dengan Aldy, yang selama lebih dari enam bulan terakhir ini selalu menemaninya. Aldy telah menceritakan begitu banyak hal kepada Maureen yang hingga detik ini bisa Maureen ingat setiap detilnya, dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting.

Di dalam sana, Maureen ingin sekali membalas cerita-cerita dari Aldy dengan ceritanya sendiri. Ia juga ingin menceritakan banyak hal dengan kakak yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Di dalam sana, bukan hanya Aldy dan Heri yang berharap bahwa Maureen bisa cepat sadar dan berkumpul bersama mereka, melainkan Maureen sendiri juga ingin dirinya segera sadar dari keadaan hidup dan mati seperti ini.

Dan hal yang paling membuatnya ingin segera sadar adalah rasa penasarannya akan suara lelaki yang selalu menemaninya selama ini.

Maureen bisa merasakan betawa lelaki itu sangat menyayangi dirinya, merasa bahwa dirinya begitu terpenuhi dengan kasih sayang walaupun dalam keadaan koma.

Baginya, itu adalah hal yang sangat indah.

Rasanya ia ingin membalas rasa kasih sayang itu, namun tubuhnya masih belum mau menuruti kata hatinya. Semoga saja ia bisa cepat sadar dan melihat seperti apa lelaki yang selama ini menemaninya dan sudah menyatakan diri sebagai kakaknya.

Di dalam sana, Maureen ingin tahu, raga dari seorang Rizaldy Pradipta, sesosok kakak yang sangat menyayanginya meskipun mereka berdua belum pernah saling kenal.

***

Marsel memberhentikan mobilnya di depan pekarangan rumah yang dipenuhi oleh mobil-mobil mewah lainnya. Dari depan memang tampak seperti rumah mewah biasa berlantai tiga, namun pestanya berlangsung di halaman belakang.

Marsel, Edwin dan Zico berjalan lebih dulu ke arah lorong buatan yang terbuat dari rangkaian bunga sintetis berwarna biru, sedangkan Aldy berjalan beberapa langkah di belakang mereka.

Setelah menyusuri lorong yang indah itu, mereka pun akhirnya sampai di halaman belakang rumah. Suasananya benar-benar berbeda dari halaman depan. Sebuah pesta yang dibuat meriah dengan panggung di pinggir kolam renang dan sebuah meja panjang yang merupakan perwujudan bar, ditambah seorang DJ yang berada di atas panggung.

Pencahayaan yang sangat minim divariasikan dengan lampu-lampu sorot berwarna-warni diiringi lagu EDM bertempo lembut benar-benar membuat kesan pesta yang mewah namun tidak kelewat meriah.

"Kayaknya kita terlambat deh." ucap Marsel pada Aldy, walau Aldy tak peduli jika mereka datang di saat pesta sudah usai sekalipun.

Zico menarik-narik lengan Marsel, membuatnya menoleh.

"Apaan si?"

Zico menunjuk ke arah seberang kolam renang, membuat Marsel juga mengarahkan pandangannya pada arah telunjuk Zico. "Itu bukan yang namanya Rianti?"

Marsel sedikit menyipitkan matanya selama beberapa saat dan kemudian mengangguk antusias. "Ayo kesana."

Marsel, Edwin dan Zico sudah siap dengan kado yang masing-masing mereka bawa. Pakaian yang ketiga orang itu kenakan juga sudah masuk ke dalam kesan formal, walau Zico terlihat sedikit norak dengan setelan jasnya.

Dari seluruh kaum adam yang menghadiri pesta itu, hanya Aldy yang mengenakan pakaian yang jauh dari kata formal.

Bagaimana tidak?

Kaus abu-abu oblong yang dilapisi jaket kulit berwarna hitam, celana jeans belel—bermodel sobek-sobek—dengan terusan sepatu Vans SK8 High beraksen garis old-skool, dan aksesoris yang ia kenakan hanyalah sebuah jam tangan di pergelangan tangan kirinya dan kalung bertali hitam yang menggantung di lehernya di depan kausnya.

Terlebih, Aldy tak membawa hadiah apapun untuk diberikan pada Rianti.

Mereka berempat berjalan memutari kolam renang menuju tempat di mana si gadis yang berulang tahun itu berada.

Marsel yang pertama kali menyapa Rianti. "Happy sweet seventeen, Rin."

Ririn adalah nama panggilan akrab dari Rianti, si primadona Saint Marry Anne Senior-High-School, sekolah swasta tingkat akhir yang khusus untuk perempuan.

Ririn berbalik dan menyunggingkan senyuman ke arah Marsel. "Thank you Marsel. Ini temen-temen kamu?"

Ririn meminta tolong pada pelayan untuk menerima kado-kado yang diberikan oleh Marsel, Edwin dan Zico dan menaruhnya di tempat yang memang diperuntukkan untuk tempat kado.

"Ekhem … " Marsel berusaha membersihkan tenggorokannya sebelum berbicara pada Ririn. "Ini temen-temen gue. Yang pertama Edwin. Terus Zico. Dan satu lagi,"

Marsel berbalik berusaha mencari di mana Aldy berada. Ia yakin sebelumnya Aldy ada bersama mereka, namun sekarang lelaki itu telah menghilang entah kemana.

Dan saat melihat kepulan asap yang muncul dari arah pojok halaman, Marsel langsung menyadari bahwa asap itu berasal dari Aldy yang sedang merokok.

Marsel pun kembali mengarahkan pandangannya pada Ririn. "Satu lagi, Aldy. Tapi kayaknya dia lagi berasep di pojokan. Kalo lo ga suka ada yang ngerokok di pesta lo, gue bisa minta Aldy buat—"

"Mana Aldy?" tanya Ririn sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah, berusaha mencari keberadaan lelaki yang membuatnya tertarik itu. Padahal Aldy sendiri tidak ingat apakah mereka berdua pernah bertemu.

Mungkin pernah, mungkin juga tidak pernah.

Entahlah.

Namun biar bagaimanapun Aldy memang berbeda. Di saat seluruh kaum adam yang hadir di pesta ini berusaha sebisa mungkin untuk menarik perhatian Ririn, Aldy adalah satu-satunya yang merasa paling tidak peduli dengan apapun yang sedang terjadi di sini. Ia akan tinggal jika ia ingin tinggal, dan ia akan pergi jika ia ingin pergi.

Aldy menghembuskan napas disertai asap nikotin dari pernapasannya yang terkepul di udara dan langsung lenyap secarta perlahan ke atas berkat pesta yang diadakan di tempat terbuka dan tak beratap ini.

Tak lama kemudian Ririn mendatangi tempat Aldy berada. Seluruh tamu undangan terutama laki-laki seakan memberikan jalan untuk Ririn bak seorang puteri kerajaan yang sedang dipersilahkan lewat. Ririn menatap lurus ke arah Aldy yang masih saja tak melihat balik ke arahnya. Aldy hanya menatap pemandangan kolam renang di depannya sambil menikmati asap nikotin.

"Hey, kamu pasti Aldy ya?"

Aldy menoleh. Wajahnya yang tanpa ekspresi membuat seluruh kaum adam yang memperhatikan merasa geram terhadap Aldy. Maksudnya, bagaimana ia bisa bersikap biasa saja di depan seorang primadona seperti Ririn?

Bahkan ada beberapa orang yang telah mengatai Aldy adalah penyuka sesame jenis.

Aldy kembali mengapit batang candu di antara bibir atas dan bawahnya, menghisapnya dalam satu kali tarikan napas panjang lalu membuang putung rokoknya ke dalam gelas minuman yang berada di tangannya. Aldy menghembuskan napasnya ke atas, membiarkan asap nikotin itu larut bersama udara malam dan menaruh gelas berisi cairan bercampur batang rokok itu di atas meja terdekat.

Aldy menatap balik Ririn, masih tanpa ekspresi. "Dan lo pasti Rianti. Selamat ulang tahun." ucap Aldy mengulurkan tangannya, menunggu untuk dijabat oleh Ririn.

Ririn langsung menyambut tangan Aldy dan bersalaman dengannya. "Panggil aja Ririn."

Aldy menyunggingkan senyuman seperlunya, sedangkan Rianti berusaha agar tak terlalu tersenyum. Seketika DJ mengganti lagunya dengan sesuatu yang bertempo sangat lambat dan bernuansa romantis, seakan ia bisa membaca keadaan.

"Mau dansa?" tawar Ririn.

Seluruh kaum adam yang mendengar primadona mereka mengajak seseorang berdansa merasa sangat patah hati. Tatapan kebencian untuk Aldy semakin bertambah. Yang tidak menatap benci kepada Aldy hanyalah Marsel, Edwin dan Zico.

Jika Marsel dan Zico memang tidak berani memandang Aldy dengan tatapan kebencian karena tahu apa yang mampu Aldy lakukan kepada orang-orang yang membencinya, terutama di dalam medan pertempuran.

Berbeda dengan Edwin. Ia tak menatap sinis maupun iri pada Aldy yang mendapat perhatian penuh dari sang primadona, karena sekarang ia sudah berbincang dengan tiga orang perempuan sekaligus.

Edwin memang buaya darat. Meski Aldy masih lebih tampan darinya, namun tetap saja Edwin memiliki daya tarik sendiri yang membuatnya mudah disukai oleh banyak wanita sekaligus.

Ririn masih menunggu jawaban dari Aldy, "Gimana?"

Aldy menoleh ke arah Marsel dan Zico di seberang sana. Marsel mengangguk antusias sedangkan Zico sibuk mencari makanan yang enak yang mungkin disediakan di pesta ini.

Aldy mengedikkan bahunya sekilas, berusaha memberitahu Marsel bahwa ia tidak bisa berdansa sama sekali. Ririn mengerti maksud Aldy, dan gadis itu mengambil inisiatif duluan. Ririn menarik lengan Aldy dan membawanya menyusuri pinggiran kolam renang dan mendekat ke arah panggung, hingga mereka berpijak tepat di bawah sorotan lampu.

Ririn meraih satu tangan Aldy, menuntun tangan itu agar berada di pinggang rampingnya, sedangkan satu tangan Ririn berada di pundak Aldy. Sisanya, tangan kanan Ririn dan tangan kiri Aldy saling menggenggam. Tubuh mereka terlalu dekat, bahkan hampir bersentuhan.

Ririn tak mengatakan apapun, ia hanya menuntun Aldy berdansa dengan tubuhnya. Mata Ririn berbinar-binar menatap kedua bola mata Aldy, sedangkan Aldy menatap balik Ririn masih tanpa ekspresi.

Ririn menyunggingkan senyuman pada Aldy. "Ada apa? Kamu ga seneng dansa sama aku?"

Aldy tidak menjawabnya. Ririn mengambil langkah mundur lalu berputar maju, Aldy mengikuti arahan gerak tubuh Ririn dan menangkap tubuhnya. Kini tubuh Ririn berada di dalam dekapan kedua tangan Aldy. Wajah mereka berdua sangat dekat, bahkan Aldy bisa merasakan deru napas Ririn yang lumayan menggebu.

Ririn mengangkat satu tangannya, membelai wajah Aldy sambil perlahan memejamkan matanya, seakan menginginkan ciuman dari seorang Aldy. Ririn semakin mendekatkan wajahnya. Dan hal yang selanjutnya terjadi membuat semua orang tersentak.

Byurrrrrr …

Aldy membuang tubuh Ririn ke dalam kolam renang lalu berjalan keluar dari tempat pesta itu.

Semua orang masih terdiam tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri.