Chapter 12 - 11. Rania

Byurrrr …

Ririn tercebur ke dalam kolam renang. Benar, sang primadona yang dipuja oleh setiap mata yang melihatnya, kini basah kuyup bersama gaun cantik yang melapisi tubuhnya di dalam kolam dingin.

"Aaaaaaaa!" teriakan melengking terdengar dari pita suara Ririn. Kesan ratu yang elegan dan lemah lembut yang dicintai semua orang pun langsung hilang dengan perangai yang keluar setelah ia tercebur ke dalam kolam. "Aldy! Dasar cowok kampret ga tau diri! Sini lo anj**g, tunggu balesan gue b***t, ****! ***! ******!"

Kata-kata yang keluar dari mulut Ririn benar-benar menghancurkan pencitraan yang selama ini ia bangun.

Aldy baru saja ingn melangkah keluar, namun seseorang menarik lengannya dari belakang. Genggaman yang cukup keras, pasti bukan berasal dari genggaman tangan seorang wanita. Dan dalam sekejap Aldy sudah dikerumuni oleh para tamu undangan, khususnya kaum laki-laki dalam jumlah yang bisa dibilang lumayan banyak.

Marsel, Zico dan Edwin melihat hal itu. Marsel yang pertama melangkahkan kakinya untuk membantu Aldy, namun langkahnya terhenti oleh Edwin.

"Kenapa? Lo ga liat kalo Aldy mau dikeroyok kayak gitu?"

Edwin menatap Marsel dengan penuh arti. Apakah Marsel lupa, siapa maniak yang membantai musuh-musuhnya di medan perkelahian massal dalam keadaan kalah jumlah dengan sangat cepat dan brutal?

Edwin menghela napas berat. "Kalo lo pergi ke sana, lo cuman bakal jadi salah satu dari orang yang ga bisa bangun sampe besok pagi. Lo tau sendiri kan, Aldy orangnya gimana kalo udah berantem? Yang harusnya lo peduliin itu orang-orang yang mau ngeroyok dia."

Zico melangkah beberapa langkah maju, dengan roti keju di tangan kiri dan segelas bir di tangan kanannya. "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang lalai dalam mengenali siapa lawan mereka, sungguh na'as nasib mereka."

Edwin dan Marsel menatap jijik ke arah Zico. Apakah ia mabuk karena meminum bir atau apa?

Marsel bersumpah lain kali tidak akan mengajak Zico lagi ke acara seperti ini.

Mungkin ia juga tidak akan mengajak Aldy karena dalang keributan pada mala mini memanglah seorang Rizaldy Pradipta.

Aldy menatap satu persatu mata orang-orang yang ingin mengeroyoknya. Masih tanpa ekspresi, namun kini sorot matanya benar-benar tajam dan langsung membuat siapapun yang memiliki mental yag kurang kuat merasa terintimidasi oleh tatapan itu.

Tanpa basa-basi Aldy menumbangkan orang yang menggenggam pergelangan tangannya, menendang perutnya menggunakan lutut yang membuatnya termundur beberapa langkah ke belakang lalu jatuh berlutut sambil memegangi perutnya yang kesakitan dengan kedua tangannya.

Dua orang maju di saat bersamaan. Aldy melangkah mundur ke belakang satu langkah lalu membungkuk menghindari serangan kedua. Serangan pertama dari kedua orang itu meleset. Tiba-tiba dari arah belakang seseorang berbadan besar melingkarkan kedua tangannya di leher Aldy, membuatnya tidak bisa bergerak.

Dua orang yang tadi gagal mendaratkan serangan mereka kepada Aldy pun melihat kesempatan itu. Mereka pun langsung memukul tubuh Aldy secara bertubi-tubi.

Dengan satu orang di belakang Aldy yang mengunci lehernya, dan dua orang yang menyerang tubuh bagian depannya secara membabi buta, siapapun yang melihat hal itu yakin bahwa Aldy sudah tamat.

Namun beberapa detik berlangsung dan kedua orang itu mulai kelelahan memukuli tubuh Aldy.

Mereka berdua mundur untuk mengatur ulang napas mereka yang tidak karuan. Dan di saat yang bersamaan, Aldy tersenyum dengan sangat lebar. Suara tawa yang terdengar sangat mengerikan terdengar dari mulut Aldy.

Setetes darah mengalir dari sudut bibir Aldy berkat efek dari pukulan-pukulan yang ia terima. Jika orang biasa, pasti sudah meringis kesakitan, bahkan pingsan. Namun tidak dengan Aldy.

Aldy tertawa sambil wajahnya masih menghadap ke arah bawah. Setelah beberapa saat tawa dari mulut Aldy pun menghilang. Suasana menjadi hening.

Duakkkk …

Dengan sangat keras Aldy menyikut perut orang yang mencekiknya dari belakang. Lebih tepatnya di bagian ulu hatinya. Serangan yang sangat keras di bagian vital tubuh itu membuat lelaki bertubuh gemuk yang tadi mengunci leher Aldy dari belakang itu memuntahkan banyak darah segar dari mulutnya.

Dengan cepat Aldy berbalik dan langsung mendaratkan pukulan kanan keras di wajahnya, mengakibatkannya tumbang seketika dalam kondisi tulang pipi yang retak.

Aldy melemaskan pergelangan tangan kanannya sambil berbalik menatap dua orang yang tadi memukulinya secara terus menerus.

Melihat betapa mengerikannya serangan yang Aldy lakukan terhadap lelaki bertubuh gemuk itu membuat keduanya seakan kehilangan niat untuk bertarung. Bahkan hanya untuk berdiri di hadapan Aldy saja kaki mereka berdua gemetaran.

Aldy tersenyum lebar sambil menatap kedua orang itu. Langkahnya semakin dekat.

Namun belum sampai Aldy bisa menghajar mereka berdua, seorang gadis yang hanya mengenakan kaus oblong berwarna hitam over-sized dan celana jeans super-pendek yang tenggelam di dalam bagian bawah kausnya, datang entah dari mana dan menghentikan langkah Aldy dengan kaki kanannya.

Ya.

Gadis itu menahan kaki kanannya tepat di depan dada Aldy. Aldy menoleh, dan langsung menyadari bahwa gadis yang menghalanginya itu setidaknya berada di tingkat akhir ilmu bela diri Taekwondo. Atau mungkin tingkat menengah, entahlah.

Yang jelas, Aldy dapat mengenali sorot mata itu.

Gadis di hadapannya itu sudah terbiasa berada di dalam medan pertempuran massal. Aldy bisa merasakannya dari tatapan gadis itu. Tak ada keraguan maupun rasa takut sama sekali. Persis seperti sorot mata yang Aldy punya, meskipun milik Aldy terlihat lebih beringas dan memancarkan aura mengintimidasi yang lebih haus darah ketimbang sorot mata gadis di hadapannya itu.

"Stop sampe di sini. Gue ga bisa diem aja ngeliat ada orang yang bikin keributan di rumah gue."

Aldy mengerutkan keningnya. Gadis ini seperti seseorang yang menerobos masuk ke dalam rumah orang lain berkat penampilannya yang sangat tomboy ditambah rambut panjang ombre berwarna pink di bagian bawah, serta gerakan bela diri yang sedang ia tunjukan.

"Rumah lo?" tanya Aldy.

Gadis itu menyingkirkan kakinya dari depan dada Aldy dan berdiri tegap, menatap balik tatapan Aldy tanpa rasa takut sedikitpun. "Iya. Orang yang lo ceburin ke kolam itu kembaran gue. Walaupun gue berterimakasih sama lo udah nyeburin cewek munafik itu ke kolam dan mempermaluin dia di depan orang banyak, di sisi lain gue ga bisa diem ngeliat lo bikin keributan di rumah gue."

Aldy berbalik untuk melihat Ririn yang kini sudah berada di pinggir kolam dengan sebuah handuk yang menyelimuti tubuh menggigilnya, lalu kembali menatap seorang gadis di depannya yang mengaku sebagai saudari kembar Ririn.

Mereka memang mirip. Meski Aldy mengakui bahwa gadis yang kini menghadang langkahnya terlihat jauh lebih manis ketimbang Ririn, walaupun hal itu tertutupi oleh sifat bar-barnya.

Aldy mengarahkan pandangannya pada dua orang yang sudah ketakutan di hadapannya. "Tenang aja. Mood gue juga tiba-tiba ilang buat ngirim mereka berdua ke kuburan."

Aldy pun melangkah pergi, sedangkan gadis yag mengaku sebagai kembaran Ririn itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mendengus kesal dan melontarkan tatapan penuh permusuhan pada punggung Aldy yang semakin lama menjauh itu.

Setelah menghembuskan napas kesal, gadis itu pun berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah.

Dalam hatinya, ia merasa kesal dengan sikap Aldy yang sangat dingin dan menganggap bahwa ia bisa mengalahkan siapapun yang menjadi lawannya.

Walau Rania memang mengakui kalau orang bernama Aldy itu mampu menumbangkan semua orang yang mengepungnya, berdasarkan cara ia menumbangkan lelaki bertubuh gemuk yang bahkan ukuran tubuhnya hampir dua kali lipat dari Aldy.

Yap. Gadis tomboy yang menghentikan langkah Aldy dengan kakinya itu adalah Rania, orang yang akrab dipanggil Nia oleh teman-teman dekatnya, merupakan kembaran Rianti, Ririn, gadis yang sedang berulang tahun dan diceburkan oleh Aldy ke dalam kolam.

Walau faktanya hari ulang tahun mereka berdua sama, namun Rania paling benci dengan perayaan seperti yang kembarannya lakukan.

Kini Rania sudah kembali ke dalam kamarnya. Ia memasang ear-phone di telinganya dan berbaring di atas ranjang, mendengarkan music beraliran heavy-metal sambil membaca sebuah novel bertemakan indigo.

Baru beberapa kata yang ia baca, Rania melepas kembali ear-phonenya dan menatap langit-langit kamarnya yang didominasi oleh warna gelap.

"Aldy? Siapa sih tuh orang? Songong banget."

Rania kembali terbayang saat ia menyaksikan gerakan Aldy saat menumbangkan orang gemuk itu. Bahkan Rania sudah menyaksikan saat Aldy dikeroyok dan tak melakukan balasan sama sekali. Ia bisa melihatnya, Aldy adalah satu-satunya orang yang tersenyum dengan sangat lebar saat sedang dipukuli seperti itu.

Apakah dia seorang masokis?

Sepertinya bukan. Karena Rania bisa melihat dari sorot mata Aldy. Jika saja ia datang terlambat, mungkin sudah akan terjadi kekacauan besar di halaman belakang rumahnya tadi.

Meskipun dirinya sendiri tidak yakin bisa menghentikan Aldy jika lelaki itu sudah benar-benar mengamuk tadi.

Seakan baru tersadar dari lamunannya, Rania menggelengkan kepalanya dan kembali memasang ear-phone di telinganya, berusaha melupakan sosok lelaki bernama Aldy yang entah mengapa terus terbayang di benaknya.

Entahlah, Rania tidak ingin terlalu ambil pusing akan hal itu.

Ia hanya tahu satu hal. Aldy adalah lelaki yang sangat berbeda dari kebanyakan lelaki yang ia kenal.