Chereads / Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian) / Chapter 18 - 17. Persiapan Kamar Maureen

Chapter 18 - 17. Persiapan Kamar Maureen

Marsel, Edwin dan Zico berjalan masuk melewati pintu depan. Mereka bertiga benar-benar takjub dengan pemandangan yang sedang mereka saksikan sekarang.

Bagaimana tidak? Kepribadian seorang Aldy benar-benar tak mencerminkan bahwa dia adalah anak seorang konglomerat yang memiliki rumah bagaikan istana seperti ini.

Ya, mereka bertiga diundang oleh Aldy ke rumah.

Meskipun SMAS Caius Ballad adalah sekolah elit yang berisikan anak-anak dari orang yang bisa dibilang cukup berada dan kuat dalam hal finansial, namun apa yang dimiliki oleh Aldy tak pernah terbayangkan oleh mereka.

Bahkan Marsel yang merupakan sahabat paling dekat dengan Aldy dari kelas satu awalnya mengira Aldy adalah siswa penerima beasiswa. Mungkin juga tidak, karena Aldy membawa sebuah motor yang jika dibandrol dengan harga modifikasinya bisa melebihi angka satu milyar.

Entahlah, mereka bertiga hanya tak menyangka Aldy memiliki rumah semegah ini, dengan garasi berisikan koleksi mobil-mobil mahal yang lumayan sulit untuk didapatkan.

"Oi, naik sini." ucap Aldy yang memegang sekaleng bir dingin di tangannya berdiri di pinggiran lantai dua menatap mereka bertiga yang berada di lantai bawah.

Edwin, Marsel dan Zico menaiki tangga dan telah berada di hadapan Aldy. "Ga susah kan cari alamatnya?"

"Ini rumah lo?" tanya Marsel sementara Edwin dan Zico sibuk mengedarkan pandangan mereka.

"Iya, emang kenapa?"

"Gapapa. Gue kira ga bakal semewah ini."

Aldy tak menjawabnya dan berbalik. Ia berjalan lurus menuju kamarnya diikuti Marsel, Edwin dan Zico.

Zico adalah orang yang paling besar membulatkan mata begitu melihat isi kamar Aldy. "Njir, lo punya gaming room sendiri? Dari dulu gue minta sama bokap buat bikin gaming room tapi ga dibolehin."

Aldy duduk di satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu. Sofa yang ia jadikan tempat tidur juga. Menaruh kaleng bir dinginnya di atas meja. "Ini bukan gaming room. Ini kamar gue."

"Lah? Mana kasurnya? Lo tidur di mana?" Zico terus nyerocos, sementara Marsel sudah duduk di kursi khusus gamers yang ada di depan PC, sedangkan Edwin memilih untuk membuka kulkas kecil yang berada di sudur ruangan untuk mengambil kaleng bir dingin.

Marsel mengarahkan pandangannya ke bawah meja komputer. "Udah gue duga, PC lo pasti mahal. Bener aja. Kampret emang."

Aldy mengeluarkan sebungkus rokok dan membakarnya sebatang di bibir. Ia menyalakan kipas yang berada di corong di atap kamarnya, agar sirkulasi udara mengalir keluar rumah sehingga kamarnya tak akan dipenuhi asap rokok. "Bawel lo."

Edwin membuka kaleng bir itu dan menegaknya. "Jadi, katanya lo mau minta tolong. Minta tolong apa?"

Aldy menyalakan sebuah TV besar yang terletak di atas meja yang menyimpan PS 4 di dalamnya. Gambar desain kamar yang diinginkan oleh Maureen pun muncul di sana.

"Gue mau minta tolong lo semua bantu gue buat desain kamarnya Maureen. Minggu depan dia udah bisa keluar dari rumah sakit."

"Eh iya," sela Zico. "Maureen itu cewek yang gue liat di rumah sakit itu kan? Itu adek lo? Umurnya berapa sekarang? Siapa tau gue bisa kenalan, gitu."

Sorot mata Aldy berubah secara tiba-tiba. Edwin dan Marsel bisa melihatnya, sorot mata yang biasa Aldy tunjukkan saat berada di medan tempur. "Kalo lo punya pikiran macem-macem sama Maureen—"

"Kalo masalah furniture, serahin sama gue aja." potong Edwin cepat, membuat Aldy tersadar dan langsung menghilangkan sorot mata penuh hasrat ingin membunuh itu pada Zico. Marsel yang melihat itu merasa lega. "Sebenernya lo bisa hubungin gue aja kalo masalah begini doang, ga perlu sampe ngajak Marsel sama Zico."

Aldy menghembuskan asap rokok dari pernapasannya. "Gapapa, lagian gue juga pengen ngundang kalian ke rumah."

Marsel menyalakan komputer milik Aldy, sementara Zico sudah menghambur ke depan PS 4.

Selagi Marsel dan Zico sibuk bermain, Aldy berdiri dan berjalan keluar kamar. Edwin yang melihatnya mengikuti langkah Aldy. Mereka berdua masuk ke sebuah kamar yang benar-benar masih kosong, kamar yang paling dekat dengan kamar milik Aldy. Kamar Maureen, yang baru saja akan mereka dekorasi.

"Makasih."

Edwin menoleh. "Buat? Furniture? Selow aja, keluarga gue emang jalanin perusahaan furniture."

"Bukan. Buat yang tadi." ucap Aldy yang membuat raut wajah serius terlukis di wajah Edwin. "Ga tau kenapa, kalo ada hal yang nyangkut tentang Maureen, gue susah buat nahan diri."

Edwin mengangguk setuju. "Gue juga kaget tadi. Lo tau sendiri kalo mulutnya Zico emang gapernah direm, tapi lo sampe punya reaksi begitu. Lo sayang banget emang sama adeklo itu? Wajar sih, lo kakaknya."

"Engga … lo ga ngerti."

Edwin mengerutkan keningnya mendengar sanggahan dari Aldy. "Apa yang gue ga ngerti?"

"Entahlah. Gue juga ga ngerti kenapa gue ngerasa seperti ini sama adek gue sendiri."

"Dy. Jangan bilang … Ga mungkin kan, kalo lo—"

"Gue bukan kakak kandungnya. Bahkan Heri bukan bokap kandung gue. Gue anak adopsi. Dan gue diadopsi dari tempat yang paling ingin dijauhi semua orang."

"Tempat yang paling ingin dijauhin semua orang?"

Aldy menenggak cairan bir dingin dari dalam kaleng yang ia pegang di tangan kanannya. "Penjara."

Mendengar ucapan Aldy, Edwin hanya menganggukkan kepalanya, mengerti akan situasi yang sedang dialami oleh Aldy. Dan Edwin berusaha untuk tak terlalu penasaran dengan kehidupan Aldy di masa lalu, demi menghormatinya. Bukan karena Edwin merasa takut maupun enggan dengan Aldy.

Aldy menoleh menatap Edwin. "Menurut lo, apa gue bisa jadi seorang kakak untuk Maureen?"

Edwin pun menaruh satu tangannya di pundak Aldy dan menyunggingkan senyuman. "Sebenernya, ini bukan gaya gue buat ngomong begini. Tapi, gue yakin lo pasti bisa. Walaupun gue tahu gimana brutalnya lo kalo lagi di medan tempur, tapi gue juga tahu kalo lo bukan orang bego. Lo ga bakal ngecewain orang-orang yang udah naro kepercayaan mereka sama lo, terutama keluarga baru lo."

Aldy tersenyum mendengar perkataan Edwin. "Kayaknya kalo gue bilang makasih lagi ke lo, bakal kebanyakan ya."

"Yap. Ga usah bilang makasih. Gue cuman ngungkapin apa yang ada di kepala gue doang. Lo satu-satunya orang yang bikin gue respect di SMAS Caius Ballad, padahal lo adek kelas gue sendiri. Gue yakin, perkara menjadi seorang kakak bukan masalah yang sulit buat lo."

Aldy dan Edwin tak menyadari bahwa Marsel dan Zico sedang melihat mereka dari depan pintu. Dan Zico membuat gestur seakan ingin muntah.

Marsel memandang Zico dengan tatapan yang aneh. "Kenapa lo, nyet?"

"Pen muntah gue. Apa-apaan mereka, lebay banget kata-katanya. Jijik gue. Najis dah. Uweek."

"Bacot dah. Tapi emang bener. Kalo Edwin ngomong kata-kata lebay begitu, gue masih bisa maklum. Tapi gue ga nyangka, Aldy juga begitu."

Aldy meremas kaleng bir di tangannya hingga remuk. "Lo berdua … " ucap Aldy gantung lalu menoleh memperlihatkan sorot mata yang benar-benar seperti ingin membunuh seseorang. "Mau mati?"

Tanpa peringatan lebih dulu, Aldy sudah berlari menerjang ke arah Marsel dan Zico.

"Jangan lari, bangsat!"

Edwin yang melihat hal itu hanya diam di tempatnya berdiri sambil tertawa lepas. Namun, kembali terlintas di pikirannya.

Edwin menenggak tegukan terakhir di dalam kaleng birnya lalu menyunggingkan senyuman yang sangat lebar. "Penjara? Menarik juga."