Chereads / Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian) / Chapter 13 - 12. Prinsip Bertarung Aldy

Chapter 13 - 12. Prinsip Bertarung Aldy

Suasana yang cukup tenang di SMAS Caius Ballad. Dengan langkah yang biasa, Aldy berjalan menyusuri lorong menuju ke kelasnya.

Hal yang lumayan berbeda yang dirasakan oleh Aldy adalah tatapan dari setiap orang yang melihat ke arahnya. Rumor tentang Aldy sudah mengalahkan banyak jagoan dari sekolah-sekolah lain yang notabene adalah musuh dari SMAS Caius Ballad menyebar begitu cepat.

Seakan peraturan tak tertulis baru saja dibuat, yaitu peraturan bahwa tidak ada seorangpun yang boleh memprovokasi seorang Rizaldy Pradipta. Walau meskipun hal itu dibolehkan sekalipun tidak ada yang berani mencari masalah dengan Aldy.

Cukup dengan hawa keberadaannya saja sudah bisa mengintimidasi siapapun yang melihat. Walau yang Aldy lakukan tak ada yang berubah. Ia tetap saja Aldy, si lelaki yang irit ngomong dengan wajah tanpa ekspresi.

Walau tak bisa dipungkiri, wajah tanpa ekspresi Aldy memang terlalu tampan untuk tidak dinikmati kaum hawa di sekolah.

Kini Aldy sudah duduk di bangkunya, menatap kosong ke arah langit yang berada di luar jendela kelas. Dalam pikirannya masih saja sama. Kepalanya masih diisi oleh pertanyaan yang hampir satu tahun belakangan ini bersarang di benaknya.

Pertanyaan kapan Maureen akan sadar dari komanya.

Meskipun rebahan adalah hal yang menurut Aldy merupakan suatu kegiatan yang paling nyaman untuk dilakukan di dunia, namun ia sendiri mungkin tidak akan tahan jika harus rebahan selama satu tahun.

Apalagi dengan kondisi mata yang tertutup dan tidak bisa bergerak. Walau dari beberapa artikel yang sempat dibacanya, orang dalam keadaan koma sebetulnya sadar dengan apa yang terjadi disekitarnya, walau sebatas bisa mendengar dan juga berpikir.

Mengingat kondisi Maureen membuat hati Aldy kembali merasakan kesedihan. Aldy selalu membayangkan jika dia berada di posisi Maureen, yang bisa dilakukannya hanyalah mendengar dan juga berpikir. Rasanya akan sama seperti terperangkap dalam pikiran sendiri.

"Baiklah anak-anak. Ibu akan memulai pelajaran hari ini. Silahkan duduk ke tempat masing-masing."

Pelajaran pun dimulai seperti biasa.

Dan pikiran Aldy juga dipenuhi oleh Maureen, seperti biasa.

***

"Al, udah denger belom?"

"Apa?" tanya Aldy tanpa mengalihkan pandangannya dari buku biologi. Bagi orang lain, Aldy terlihat sangat tekun mempelajari buku tersebut. Namun yang dilakukan Aldy bukanlah membaca materi yang ada di buku itu, melainkan Aldy sedang menggoreskan pensil di gambar kerangka tubuh manusia. Dari awalnya hanya gambar kerangka tubuh, Aldy menyulapnya menjadi sebentuk 'skeleton' yang memegang pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiti, dilengkapi baju pelindung serta helm ala pasukan Romawi pada zaman dahulu.

"SMK Sentosa, sekolah pertama yang kita kalahin dulu, katanya mereka mau nyerang ke sini lagi."

"Oh."

Mendengar jawaban Aldy yang terlampau santai itu membuat Marsel sedikit kesal. "Oh doang? Lo dengerin ga si?"

"Denger. Mereka mau nyerang kan? Terus?"

"Ya ... Ya gitu. Mereka mau nyerang. Emang mereka udah pernah kita kalahin dan ga ada dendam lagi antara sekolah kita sama sekolah mereka. Cuman yang jadi masalah, katanya temen mabar gue yang sekolah di sana juga, mereka mau nyewa preman terus dikasih baju sekolah mereka buat nyamar dan nyerang kesini."

"Oke."

Marsel semakin kesal dengan sikap Aldy. "Oke? Mereka preman-preman yang udah sering keluar-masuk penjara loh. Sadar woi!"

Brakkkkk ... "Marsel, kalo kamu masih mau ribut lagi, lebih baik kamu keluar dari kelas saya."

Marsel menganggukkan kepalanya dan membungkam mulutnya sendiri. Pelajaran kembali dilanjutkan, begitu juga Aldy yang masih sibuk mencorat-coret buku pelajaran biologinya.

Marsel kembali memandang ke arah Aldy setelah beberapa saat dan akhirnya memutuskan untuk menyerah pada sikap Aldy yang kelewat santai itu. Yang bisa dilakukannya hanyalah menghela napas berat dan kembali mengikuti pelajaran.

Setidaknya Marsel sudah memberitahu apa yang harus diketahui oleh Aldy. Sisanya bisa dipikirkan nanti.

Dan waktu seakan berlalu begitu cepat. Bel tanda jam pelajaran terakhir telah berbunyi, menandakan akhir dari kelas hari ini.

Edwin dan Zico masuk ke dalam kelas Aldy dan duduk di bangku terdekat. Kini, Aldy, Marsel, Edwin dan juga Zico, empat orang yang paling ditakuti di sekolah, terutama Aldy yang berada di posisi paling puncak sedang duduk bersama.

Walaupun mereka berempat belum melakukan apa-apa, namun siapapun yang melihat keempat orang itu duduk bersama akan memiliki naluri sendiri untuk menjauh sesegera mungkin.

Dan benar saja, kelas Sebelas IPS Dua sudah benar-benar kosong, menyisakan keempat orang yang paling ditakuti di sekolah.

"Kayaknya gue ga perlu jelasin lagi kan keadaannya gimana?" tanya Marsel. Sebenarnya pertanyaan retoris yang tak perlu dijawab.

Zico menghembuskan napas gusar. "Kalo hari ini gue bener-bener gabisa ikut. Tadi pagi bokap gue masuk rumah sakit gegara stroke ringan. Jadi gue mau pulang cepet."

"Oh gitu. Yaudah cepet susul. Ge we es yak buat bokap lo."

Zico bersalaman kepalan tangan dengan Aldy, Marsel dan Edwin sebelum melangkahkan kakinya berjalan keluar kelas.

Edwin menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan bersender pada sandaran kursi tempat ia duduk. "Kalo cuman masalah mereka nyewa preman, masih bisa diatasin. Gue yakin kok geng sekolah kita ga selemah itu. Dan kalaupun masih kalah, gue bisa telpon kenalan gue anak geng motor. Tapi yang jadi masalah di sini, barusan gue denger kalo ga cuman SMK Sentosa yang mau nyerang. SMAN 42 juga mau nyerang ke sini."

Marsel mengerutkan keningnya. "Perasaan kita ga punya sejarah pernah tempur sama bocah-bocah 42. Kenapa mereka mau nyerang ke sini?"

"Tuh, gara-gara si kampret satu ini. Namanya udah kesebar di geng-geng sekolah. Wajar kalo mereka penasaran sama seorang Rizaldy Pradipta, orang yang udah mimpin SMAS Caius Ballad buat ngalahin seluruh geng-geng sekolah di regionalnya sendiri." tukas Edwin.

"Jadi mereka gabung, 42 sama Sentosa?"

"Kayaknya sih engga. Tapi repot juga kalo harus ngadepin dua geng sekolah sekaligus. Mungkin gapapa, kalo Sentosa ga nyewa preman buat ikut nyerang ke sini juga. Atau juga engga, karena SMA 42 juga jawara di regional mereka. Mereka udah lama nguasain geng-geng sekolah di sekitar sekolah mereka. Jadi ibaratnya, kita lawan dua geng yang bener-bener gabisa dipandang enteng sekaligus di saat yang bersamaan."

Marsel dan Edwin pun mengarahkan pandangan mereka ke arah Aldy.

Aldy memandang balik mereka. "Kenapa?"

"Wah bener-bener ni anak. Lo dengerin kan apa yang gue sama Maresl tadi omongin?"

"Iya denger. Terus?"

"Eh bangsat, lo pikir situasi kita maen-maen?" kini Edwin mulai naik pitam akan sikap Aldy.

Dan tiba-tiba Aldy menunjukkan ekspresi penuh keseriusan, membuat Edwin merasa tenggorokannya kering tanpa alasan yang jelas. "Kenapa kalian berdua panik? Takut sama mereka? Bukannya hal ini simple ya? Kalian tinggal pilih mau lawan yang mana. Beres."

"Okelah. Percuma berdebat. Gue milih SMA 42. Gue juga pengen tau kekuatan tempur mereka segede apa." ucap Marsel yang langsung mengambil ponselnya dan mengontak seluruh anggota gengnya untuk bersiap-siap.

Edwin pun mengalah karena ia tahu Aldy memang selalu sesimple itu. "Yaudah. Gue sama geng gue lawan SMK Sentosa."

Mereka berdua berjalan meninggalkan kelas. Meskipun Marsel dan Edwin masing-masing merasa tidak yakin bisa memenangkan pertempuran kali ini, namun ada satu hal yang mereka yakini.

Aldy, sebagai orang yang berada di puncak SMAS Caius Ballad bukanlah orang yang akan membiarkan geng sekolahnya dikalahkan oleh geng sekolah lain. Aldy pasti memiliki rencana yang belum ingin diberitahukan kepada Marsel dan Edwin.

Walau sebenarnya, Aldy tidak memikirkan apa-apa.

Lebih tepatnya, pikirannya sudah dipenuhi oleh Maureen, jadi ia malas untuk memikirkan hal lain selain adiknya yang manis yang masih terbaring koma di ranjang rumah sakit.

Karena baginya, pertempuran hanyalah pertempuran, walaupun berat sebelah sekalipun.

Baginya, dalam sebuah pertempuran, menang bukanlah sesuatu yang didasari oleh kesanggupan, melainkan kemauan.

Menang bukan masalah bisa atau tidak, tapi mau atau tidak.

Itulah prinsip bertarung yang Aldy pegang selama ini. Dan prinsip itulah yang membawa Aldy bisa sampai sejauh ini. Meskipun Aldy tidak memiliki rencana untuk melawan SMK Sentosa dan SMA 42 sekaligus, ia hanya akan melakukan hal yang selalu ia lakukan.

Yaitu bertarung, dan menang.