Chereads / Penjaga Yang Ditakdirkan (Destined Guardian) / Chapter 10 - 9. Undangan Ulang Tahun

Chapter 10 - 9. Undangan Ulang Tahun

"Dy, anak-anak pada ngajakin nogkrong di tempat billiard. Lo bonceng gue ya, motor gue gue titip di bengkel tadi pagi, bannya meletus."

Aldy memasukkan buku-bukunya yang berada di atas meja ke dalam tas dan berdiri dari tempat duduknya. "Gue ga ikut dulu deh."

Marsel langsung mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya ke arah Aldy. "Kenapa? Tumben lo ga ikut."

"Ada urusan."

Marsel memandang lurus ke arah Aldy. Perlahan mendekatkan wajahnya hingga wajah mereka saling berdekatan. "Belakangan lo ga pernah ngumpul sama kita. Jangan-jangan, lo udah punya pacar ya? Siapa? Anak sekolah ini? Atau jangan-jangan, cewek di kelas ini? Si Vina ya? Gue liat kemaren lo ngomong sama dia di parkiran. Iya kan? Iya kan?"

Bukkk …

Sebuah pukulan keras mendarat di perut Marsel yang berasal dari kepalan tangan kanan Aldy. Marsel terduduk kembali di bangkunya sambil kedua tangannya memegangi perutnya yang berkedut kesakitan akibat pukulan tangan kanan sahabatnya itu.

"Adawww … bisa ga si kalo becanda jangan mukul?" protes Marsel yang masih terduduk di bangkunya, sementara Aldy sudah berjalan ke luar kelasnya.

Belakangan ini Aldy memang tidak pernah ikut berkumpul bersama anggota geng sekolahnya. Bahkan Aldy sudah tidak pernah lagi memimpin peperangan antara geng sekolah, karena baginya tugasnya sudah selesai, yaotu menundukkan geng-geng sekolah yang ia anggap kuat.

Sisanya, geng sekolah yang lemah biar Edwin, Marsel dan Zico yang mengatasinya. Aldy hanya akan turun tangan jika ia mendengar kabar bahwa ada geng sekolah lain yang mengalahkan geng sekolahnya. Di situlah Aldy akan terjun langsung ke dalam medan pertempuran.

Aldy melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah menuju ke pintu keluar yang langsung mengarah ke tempat parkir khusus murid. Seperti biasa, seluruh pasang mata tertuju pada sosok seorang Aldy. Murid-murid perempuan memandang takjub dan penuh harap pada Aldy, di dalam benak mereka penuh dengan ke-halu-an bahwa mereka bisa menjadi isteri dari seorang Rizaldy Pradipta.

Sedangkan kaum adam memandang Aldy dengan tatapan iri, namun tak ada yang berani menunjukkannya terang-terangan di depan Aldy. Tidak ada yang tidak tahu bahwa Aldy adalah seorang by-stander geng sekolah mereka, satu-satunya orang yang tidak boleh diprovokasi oleh siapapun di sekolah.

Padahal Aldy sendiri tak akan peduli jika ada orang yang mengejeknya secara terang-terangan. Hal seremeh itu tak akan pernah bisa menyulut emosi seorang Aldy. Baginya, siapapun bebas memiliki opini tersendiri akan seseorang atau sesuatu, namun yang tidak bisa Aldy toleransi adalah jika ada orang yang mengusik orang-orang yang berarti baginya, terlebih keluarganya.

Setelah sampai pada tempat di mana ia memarkir motornya, Aldy langsung mengambil helm yang tergantung di kaca spion sebelah kanan motor sport berkapasitas mesin cukup besar itu, memakainya dan langsung duduk di jok motor. Memutar kunci motor itu ke kanan, menarik tuas kopling di tangan kirinya, memasukkan persnelen ke angka satu dan menarik tuas gas sambil melepaskan tuas kopling secara perlahan.

Aldy memiliki deru suara motor yang khas, berkat mesin hasil bor-up dan kenalpot yang diperhalus, membuat siapapun yang mendengarnya tak perlu menerka lagi siapa murid yang mengendarai motor sport hasil modifikasi itu.

Seluruh murid seakan membukakan jalan bagi motor yang Aldy kendarai untuk melintas, hingga Aldy melewati gerbang depan sekolah barulah mereka kembali mneruskan langkah mereka.

Mereka hanya tidak ingin bermasalah dengan Aldy. Mereka semua takut dan segan terhadap Aldy, tanpa mengetahui sisi lain dari kepribadian seorang Rizaldy Pradipdta.

Ya. Di balik sifatnya yang keras dan tanpa ampun, bahkan kelewat sadis jika berada di dalam medan perkelahian massal, Aldy adalah orang yang paling menyayangi siapapun yang ia anggap berarti dalam hidupnya.

Dan entah mengapa, Aldy merasa bahwa ia menyayangi Maureen, adiknya melebihi dirinya sendiri. Padahal mereka belum pernah bertegur sapa sama sekali.

Walaupun Aldy belum pernah mendengar suara Maureen, tapi ia merasa bahwa Maureen akan menjadi gadis yang paling ia sayangi di dunia ini. Aldy merasa yakin akan hal itu, karena menurutnya memang begitulah seharusnya seorang kakak, menyayangi adiknya dengan sepenuh hati.

Walau hal yang membuat Aldy ragu adalah, apakah Maureen bisa menerima sosok seperti dirinya menjadi seorang kakak.

Entahlah, hanya Maureen yang tahu jawabannya.

Yang bisa Aldy lakukan hanyalah berusaha, mengusahakan apapun yang ia bisa untuk melindungi keluarga barunya.

***

"Mau kemana, nak?" tanya Heri yang sedang duduk di sofa ruang tengah sambil menikmati teh hangat buatan Bi Sumin, asisten rumah tangga yang setiap hari datang dari pagi sampai sore untuk mengurus rumah.

Aldy yang baru saja melangkahkan kakinya menuruni tangga langsung berjalan ke arah Heri. "Ke rumah sakit." jawab Aldy sambil mencium punggung tangan Heri.

Heri tersenyum lebar. Ia bisa merasakan betapa Aldy memperhatikan Maureen. Heri sudah bersepakat bahwa Aldy tidak perlu setiap hari datang menemani Maureen di rumah sakit, namun yang terjadi adalah Aldy yang memiliki keinginan sendiri untuk menemani Maureen hampir setiap saat.

Bahkan di hari Sabtu dan Minggu yang merupakan hari libur sekolahnya, Aldy akan menginap di kamar tempat Maureen dirawat dan tidur di sofa.

Heri sering mendapati Aldy yang selalu berbicara kepada Maureen, seakan Maureen bisa mendnegar apa yang Aldy ucapkan. Bahkan terkadang Aldy tertawa dengan apa yang ia ceritakan kepada Maureen. Seharusnya Aldy terlihat seperti orang gila karena berbicara dan tertawa sendiri. Namun bagi Heri, ia tidak pernah melihat pemandangan seindah itu.

Pemandangan di mana ia bisa merasakan kasih sayang Aldy sebagai seorang kakak kepada Maureen sebagai seorang adik.

Bahkan hanya memikirkannya saja bisa membuat Heri meneteskan air matanya.

Aldy berjalan ke garasi rumahnya dan yah, pilihannya tak pernah terlaihkan dari motor sport yang selalu ia kendarai, sebanyak apapun mobil mewah yang berada di garasi rumahnya itu.

Baru saja Aldy duduk di atas jok motornya, ponselnya bergetar menandakan ada seseorang yang menghubunginya.

Aldy mengeluarkan ponsel dari dalam kantung jaket kulitnya dan mendapati nama Marsel tertera di layar ponselnya. Aldy menggeser tombol hijau ke kanan menempelkan layar ponselnya di telinganya.

"Dy, lo dimana?" tanya Marsel dari seberang saluran telepon tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu.

"Rumah. Kenapa?"

"Lo tau Rianti kan? Primadonanya SMA khusus cewek di deket sekolah kita, Saint Marry Anne SHS? Dia ulangtahun dan gue diundang, katanya gue boleh ngajak tiga orang. Edwin sama Zico udah gue ajak dan mereka mau, Lo gimana, mau ga?"

"Engga. Ga peduli, dan ga mau." balas Aldy singkat sambil satu tangannya yang bebas memasukkan kunci motornya ke dalam lubang kunci dan memutarnya ke kanan. "Dah."

Aldy mematikan ponselnya dan menyalakan motornya. Namun baru saja ia ingin meninggalkan pekarangan rumahnya, Marsel kembali menghubunginya. Aldy menghembuskan napas jengah dan entah mengapa ia malah mengangkat panggilan itu alih-alih mengabaikannya.

"Please lah, kali ini aja. Abis ini gue ga bakal minta apa-apa lagi deh. Ya, please." rengek Marsel yang terdengar menjijikan di telinga Aldy. Rasanya ia ingin menyemprot ponselnya dengan cairan disinfektan.

"Hubungannya sama gue apa? Ga ada pengaruhnya juga gue dateng sama engga."

"Masalahnya bukan gitu, Dy."

"Terus masalahnya apa?" kini Aldy menunggu jawaban dari marsel karena telah menyebutkan kata 'masalah', yaitu sebuah kata yang paling tidak disukai Aldy

"Masalahnya … gimana ya bilangnya. Gue, Edwin sama Zico boleh dateng asal lo juga dateng."

Aldy mengerutkan keningnya mendengar jawaban dari Marsel. "Kenapa bisa?"

��Yaaa … soalnya si Rianti, dari yang gue denger, dia kesengsem gitu sama lo. Katanya temennya yang ngundang gue, dia pengen banget bisa ketemu sama lo." balas Marsel yang mengatakannya dengan ragu-ragu. Marsel tahu bahwa hal-hal seperti itu tidak termasuk dalam minat seorang Rizaldy Pradipta. Dari awal mereka berteman, Aldy tidak pernah menyinggung sedikitpun masalah percintaan.

Ditambah Aldy sekarang memiliki seorang adik perempuan yang entah mengapa sangat ia sayangi walau belum pernah berbicara dengannya.

Aldy terdiam sejenak. Dalam hatinya ia ingin segera ke rumah sakit dan menemani Maureen. Namun Marsel terus saja merengek. Dan Aldy juga mempertimbangkan tawaran bahwa jika ia mau datang mala mini, maka Marsel tidak akan lagi memohon sesuatu kepadanya, termasuk memaksanya melakukan hal-hal yang tidak ia sukai.

"Disediain minuman ga di sana?"

"Setahu gue alkohol sih engga, tapi ada birnya. Kalo ga salah, Belgian Ale sama Bali Hai."

"Bawain gue Bintang, dua kaleng." yap, selera setiap orang berbeda-beda. Pilihan Aldy selalu jatuh pada Bintang, bir kalengan produksi local yang harganya sangat terjangkau ketimbang bir-bir mahal yang Marsel sebutkan tadi.

"Maksudnya, lo mau ikut? Seriusan?"

"Jemput gue di rumah sakit kalo lo udah mau pergi." tanpa menunggu balasan dari Marsel Aldy memutuskan sambungan telepon dan langsung melajukan motornya ke rumah sakit untuk menemani Maureen.

Meskipun hanya sebentar, ia tetap ingin menemani adiknya yang terbaring koma. Begitulah Aldy. Baginya, waktu bersama Maureen terlalu berharga untuk dilewatkan, walaupun yang Maureen lakukan hanyalah diam terbaring di atas ranjangnya tanpa merespon apapun yang Aldy katakan.

Entahlah.

Aldy hanya seorang kakak yang terlalu menyayangi adiknya yang bahkan belum pernah berbicara dengannya.