Edwin membuka empat botol alkohol mahal koleksi ayahnya dan menuangkan secangkir untuk Aldy. Aldy menenggak gelas pertama dan memamerkan ekspresi masam.
"Buset, keras banget." keluh Aldy yang langsung meraih botol birnya untuk menetralisir sedikit rasa alkohol yang begitu keras itu.
"Masa sih." ucap Edwin penasaran dan mencobanya. Ia juga menunjukkan ekspresi yang sama dengan Aldy. Edwin menoleh pada Elanie dan Shania. "Nanti kunci kamar kalian ya kalo tidur."
Hanya Aldy, Elanie dan Shania yang mengerti tentang peringatan dari Edwin, sedangkan Maureen dan Zico masih belum mengerti.
Edwin menuangkan segelas lagi dan memberikannya pada Elanie. Namun, di luar dugaan, Shania mengambil alih gelas itu dan langsung meneguknya tanpa keraguan sedikitpun.
"Loh, lo minum juga?" tanya Edwin yang tak mempercayai apa yang baru saja kakaknya lakukan.
Elanie tersenyum lebar menanggapi keterkejutan Edwin. "Justru Shania yang lebih jago minum dari gue.���
Mereka semua melongo mendengar pernyataan Elanie.
Jadi, hanya Maureen yang tidak minum di sini?
Tidak.
Saat Aldy ke kamar mandi untuk buang air kecil, Maureen memohon pada Elanie untuk menuangkannya juga. Dan saat Aldy kembali, Maureen sedang menghabiskan segelas kecil minuman itu.
Tentu saja Aldy terkejut, dan Maureen terbatuk.
Dengan cepat Aldy memberikan segelas air putih untuk Maureen, namun saat Aldy melihat ekspresi Maureen, wajahnya sudah sangat merah.
Aldy menoleh pada Elanie, perempuan itu sepertinya juga sudah setengah collapse.
Hanya Aldy dan Shania yang bertahan, sedangkan Edwin sudah terkapar di lantai, sedangkan Zico sedang muntah di kloset.
"Kak Aldyyyyy." rengek Maureen sambil mencakar dada bidang Aldy lalu mendekatkan wajahnya pada leher Aldy. "Maureen suka wanginya Kak Aldy … Uhukk …"
Aldy membopong tubuh Maureen dan membawanya ke dalam kamar lalu menaruh tubuh collapse Maureen di atas kasur.
Aldy baru saja ingin pergi, namun tangannya ditarik oleh Maureen. Aldy jatuh terbaring di sebelah Maureen.
Cupp …
Aldy membulatkan matanya dengan sempurna.
Bagaimana tidak?
Bibir Maureen baru saja mengecup bibirnya.
Maureen terus menghisap bibir Aldy untuk waktu yang cukup lama, sampai Maureen benar-benar kehilangan kesadaran.
Aldy bangkit, jarinya menyentuh bibirnya sendiri. Ia masih tak bisa mempercayai apa yang baru saja Maureen lakukan.
Ia terdiam untuk beberapa saat.
Di satu sisi, ia merasa bersalah. Sangat bersalah karena tidak bisa menjaga adiknya dengan baik. Namun di sisi lain, ia merasakan sesuatu yang lebih besar daripada rasa bersalah itu sendiri.
Yaitu, entah mengapa, Aldy merasa bahagia dan juga ketagihan di rasa yang bersamaan.
Entah mengapa, rasa kecupan bibir Maureen menjadi candu baginya, seakan ia ingin merasakannya lagi, dan tidak akan pernah puas akan hal itu.
Seperti morfin penenang, dan juga nikotin yang membuat ketagihan.
Aldy menggelengkan kepalanya dan menampar wajahnya sendiri dengan sangat keras.
"Gak … Gak boleh. Gue harus jaga Maureen."
Ia mendekat untuk mengecup lembut kening Maureen yang tertidur pulas dan menutupi tubuhnya menggunakan selimut lalu beranjak dari kasur. Ia keluar setelah mematikan lampu dan mengunci pintu itu dari luar.
Kembali ke ruang tengah di mana Edwin telah terkapar, dan sepertinya Zico juga sudah tak sadarkan diri di dalam toilet.
Elanie sudah kembali ke dalam kamar dengan sisa kesadarannya dan tidur di kasur.
Sedangkan Shania, ia masih duduk di sofa dan menegak cairan alkohol itu.
Shania menuangkan segelas untuk Aldy yang diterima Aldy.
Kini tersisa satu botol yang masih utuh.
Shania baru saja ingin membukanya, namun Aldy menahan tangan Shania. "Kayaknya cukup."
Shania tersenyum dengan sangat lebar dan menatap Aldy dengan tatapan mengejek. "Kenapa? Gak kuat? Ternyata lo lemah."
Aldy balas menyeringai. "Gue cuman takut lo muntah dan keliatan kayak pecundang."
"Gue? Pecundang? Mau dibuktiin? Gimana kalo gini. Kita buktiin siapa yang paling kuat minum. Dan yang kalah, harus beresin ini semua besok, sekalian cuci piring, nyapu, ngepel, pokoknya sampe semua kekacauan ini beres seperti sedia kala."
Aldy tersenyum miring. Itu bukan tawaran yang buruk.
Selama ini belum pernah ada yang mengalahkannya minum.
Mereka pun mulai bertanding. Dan pertandingannya cukup unik. Shania mengambil satu botol alkohol yang sudah kosong dan menuangkannya hingga terisi setengahnya. Tinggi cairan di kedua botol itu sudah sama dan memberikannya pada Aldy.
Aldy mengerutkan keningnya. "Hah? Yakin?"
Shania mengangguk sambil terus menyeringai. "Kalo kita minum pake cara biasa, gak bakal seru. Pokoknya, siapa yang habis duluan, dia yang menang. Dan, siapa yang tumbang duluan, dia yang kalah."
"Mmm … Oke."
Aldy pun mulai meminumnya, begitu juga Shania. Namun, Saat Aldy berusaha keras menghabiskannya, Shania menumpahkan sebagian besar cairan itu ke dalam pot bunga di dekat sofa.
Namun Shania membulatkan matanya sempurna saat melihat Aldy benar-benar hampir menghabiskannya.
Tanpa pikir panjang, Shania juga langsung meminumnya.
Brakkk …
Mereka berdua menaruh botol itu di atas meja dengan waktu yang bersamaan. Aldy tersenyum, "Kayaknya kita seri."
Shania tak menjawab.
Aldy menoleh dan mendapati wajah Shania yang sudah sangat merah.
Tanpa aba-aba maupun peringatan sedikitpun, Shania menerjang ke arah Aldy dan mencumbu leher Aldy dengan rakus.
"Shan … Shania. Woi, lo gila ya?!"
Dari ekspresi wajah Shania, Aldy menyadari bahwa perempuan itu sudah sepenuhnya berada di bawah pengaruh alkohol. Aldy juga merasa sangat pening di kepalanya. Sepertinya ia telah melewati batas maksimal dari tubuhnya akan alkohol.
Perlahan Aldy berbaring di sofa, dengan Shania di atas tubuhnya. Shania terus mencium tubuh Aldy, semakin turun ke dada hingga perut kotak-kotak miliknya. Sedangkan tangannya meremas-remas bagian tubuh Aldy yang paling jantan yang masih terbungkus oleh celana pendek hitamnya.
Shania melepaskan kaus yang ia kenakan, memperlihatkan bra berwarna merah maroon yang ia kenakan. Ia mengambil kedua tangan Aldy dan menuntunnya menuju dadanya.
Aldy kini benar-benar sedang meraba bra bermerk Victoria's Secret itu.
Shania mendekatkan wajahnya pada Aldy, memiringkan wajahnya dan mendaratkan ciuman pada bibir Aldy.
Namun saat itu terjadi, Aldy teringat sesuatu.
Bayangan tentang saat Maureen menciumnya tadi, muncul begitu saja di benak Aldy. Dan hal itu seakan memaksa kesadaran Aldy kembali.
Aldy melepaskan genggaman pada dada Shania, memegang pundak perempuan itu dan mendorongnya menjauh. "Stop sampai di sini." titah Aldy dengan suara yang tegas dan intonasi yang sangat bersungguh-sungguh.
Ia menyingkirkan Shania yang berada di atas tubuhnya, beranjak dari sofa itu dan berjalan ke belakang.
Suara tegas Aldy juga seakan membuat Shania tersadar dari pengaruh alkohol.
Shania mengambil kembali kausnya dan memakainya lalu berjalan ke halaman belakang, di mana Aldy berdiri memandang kolam sambil menghisap sebatang rokok.
Ia berjalan mendekati Aldy dan berhenti tepat di belakangnya. "Maaf."
Aldy tak menjawabnya.
Namun, Shania malah semakin mendekat kepada Aldy dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Aldy dari belakang ke depan. Ia memeluk Aldy dari belakang dengan sangat erat.
Aldy menghembuskan asap rokok dari pernapasannya. "Bukannya baru aja lo minta maaf? Terus, apa ini?"
"Maaf." ucap Shania dengan nada gemetar.
"Maaf … Tapi gue gak bisa bohongin perasaan gue. Gue … Gue suka sama lo."
Aldy terdiam.
Di bawah sinar rembulan yang sepertinya tak lama lagi akan berganti dengan cahaya fajar, dan udara dingin khas pegunungan yang membelai kulit mereka.
Shania telah menyatakan perasaannya pada Aldy.
Dan mereka berdua tidak tahu, seseorang melihat dan mereka dari dalam villa.
Orang itu adalah Edwin.
Orang yang melihat mereka sambil tersenyum dengan sangat lebar.