"Kenapa aku menandatanganinya harus menunggu anda meninggal dulu? kenapa tidak bisa sekarang?" tanya Hanin berusaha untuk mengerti dan memahami apa yang di katakan Hasta.
"Jika kamu menandatanganinya, maka kita menikah dengan sah. Dan kamu tidak bisa menikah dengan laki-laki yang kamu cintai kecuali setelah aku tiada." ucap Hasta dengan serius.
"Aku ingin kamu mendapatkan warisanmu Nin, tapi aku tidak ingin memaksamu untuk menikah denganku, untuk itu aku membuat surat nikah ini untuk bisa kamu tandatangani setelah aku tiada, kamu akan menerima semua warisan tanpa aku menjadi suamimu. Kamu menikah denganku hanya di atas kertas saja, dan saat itu aku sudah tidak ada," ucap Hasta dengan suara pelan namun bisa terdengar jelas oleh Hanin. Hanin bisa merasakan ada rasa sakit dalam suara Hasta.
"Kenapa harus begitu? dan kenapa Tuan bisa bicara soal kematian yang tidak seorangpun yang tahu kapan kematiannya akan tiba?" ucap Hanin dengan dada yang terasa sesak mendengar semua apa yang di katakan Hasta.
"Apa yang kamu katakan benar Nin. Karena itu surat nikah yang kamu pegang itu bisa kamu simpan agar sewaktu-waktu kamu bisa menggunakannya untuk mendapatkan hak kamu," ucap Hasta dengan harapan semua akan baik-baik saja setelah Hanin mengetahui keinginan Ayahnya.
"Baiklah Tuan, surat ini akan aku simpan. Tapi aku tidak mengerti, kenapa Ayah menginginkan aku menikah dengan anda Tuan?" tanya Hanin dengan pikiran yang masih rumit.
Hasta terdiam, tidak tahu harus menjelaskan semuanya dengan jujur atau membiarkan Hanin tidak mengetahui alasannya.
"Hanin, jangan pikirkan hal itu. Yang terpenting aku tidak akan memaksa kamu untuk mau menikah denganku. Aku akan selalu mendukung keinginan kamu, apapun itu," ucap Hasta meyakinkan Hanin untuk tidak terlalu memikirkan apa yang di inginkan Ayahnya.
"Eem, aku percaya pada anda Tuan Hasta. Aku akan menyimpan surat ini dengan baik," ucap Hanin seraya memasukkan surat itu ke dalam tasnya.
"Terimakasih Nin, hal ini jangan sampai ibu kamu tahu. Biarlah rahasia ini hanya kita berdua yang tahu," ucap Hasta berusaha menerima kenyataan jika Hanin memang tidak bisa mencintainya lagi karena sudah ada Rafka yang mengisi hati Hanin.
"Ya Tuan, aku usahakan agar Ibu tidak tahu dengan keadaan kita yang sebenarnya," ucap Hanin dengan tatapan sedih. Entah kenapa ia merasakan kesedihan dan kesepian pada nada suara Hasta.
Hanin mengambil nafas panjang menegakkan punggungnya sambil melihat jam tangannya.
"Kita akan pulang siang ini Nin, dan setelah ini kita akan tinggal serumah. Aku harap kamu akan bahagia dan tidak merasa sedih lagi. Kamu masih bisa sekolah dan bermain-main dengan teman-teman seusia kamu," ucap Hasta dengan perasaan yang hampa.
****
Sampai di rumah Hasta....
"Masuklah Hanin, ini kamarmu. Kamu bisa merubahnya jika kamu mau. Kamarku ada di sebelah. Kalau kamu memerlukan sesuatu kamu bisa mencariku, Rahmat atau Minah," ucap Hasta sambil bersandar di samping pintu menatap Hanin yang berdiri terpaku di tempatnya.
Hanin menatap ke sekeliling ruang kamar yang bisa di katakan cukup besar hampir tiga kali kamarnya yang sebelumnya ia tinggali.
"Kenapa kamu diam Hanin? apa kamu tidak menyukainya?" tanya Hasta menatap penuh wajah Hanin.
"Aku menyukainya Tuan Hasta, kamar ini terlalu besar untukku," ucap Hanin dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.
"Syukurlah kalau kamu suka Nin. Aku ingin kamu bahagia tinggal di sini," ucap Hasta dengan perasaan lega.
"Terima kasih Tuan Hasta," ucap Hanin dengan tulus.
"Sama-sama Nin, sekarang istirahatlah. Hari ini kita tidak akan kemana-mana, kamu bisa memikirkan akan melanjutkan sekolah ke mana. Karena besok pagi aku akan mendaftarkan kamu sekolah," ucap Hasta dengan tatapan penuh melihat wajah Hanin yang terlihat bersemangat.
"Aku ingin melanjutkan sekolah di SMA pelita Tuan, di sana juga ada Jonathan yang bisa menjagaku," ucap Hanin tanpa menyadari apa yang ia katakan telah menyakiti hati Hasta.
"Hem, baik Nin, besok pagi kita akan ke sana. Sekarang istirahatlah, aku akan kembali ke kamar," ucap Hasta dengan wajah yang terlihat sedih segera berjalan keluar kamar.
Hanin terdiam merasa penasaran dengan rumah besar Hasta. Dengan perasaan bahagia Hanin berjalan keluar ke teras depan. Rumah Hasta benar-benar sangat besar dan terlihat nyaman dan teduh, seperti wajah pemiliknya.
"Ya Tuhan, kenapa aku mengaitkan rumah ini dengan wajah Tuan Hasta!" gumam Hanin sambil mengusap tengkuk lehernya.
"Permisi!!" tiba-tiba Hanin mendengar suara orang yang tidak asing lagi di telinganya.
"Jonathan!!" panggil Hanin dengan perasaan gembira saat mengetahui Jonathan yang datang.
"Hanin!" sahut Jonathan seraya berlari menghampiri Hanin yang menyambut kedatangannya.
"Kapan kamu datang Han? kemarin aku kemari kata mbok Minah kamu belum datang." tanya Jonathan dengan wajah serius.
"Baru saja aku datang. Ada apa kamu mencariku Jo?" tanya Hanin balik bertanya.
"Ini aku bawakan surat dari Rafka untukmu." jawab Jonathan sambil memberikan sebuah surat beramplop biru.
"Benarkah surat ini dari Rafka?" tanya Hanin tak percaya dengan kedatangan surat dari Rafka yang seketika membuat hatinya berdebar-debar indah.
"Apa kamu senang Hanin? kamu pasti senang kan dapat surat dari Rafka?" tanya Jonathan dengan tersenyum walau ada rasa cemburu di hatinya.
"Tentu saja Jo, bagaimana aku tidak senang mendapat surat dari Rafka yang beberapa hari ini aku tunggu," jawab Hanin dengan jujur.
"Bacalah Han, aku ingin tahu isinya," ucap Jonathan yang penasaran dengan apa yang di tulis Rafka untuk Hanin.
"Ihhh, Jonathan. Kamu ingin tahu sekali ya???" goda Hanin sudah bisa tersenyum dan bercanda.
"Kamu sudah bisa tersenyum Han? apa kamu senang tinggal di sini? apa kamu bahagia menikah dengan Tuan Hasta?" tanya Jonathan dengan pertanyaan beruntun.
"Sepertinya aku sangat nyaman tinggal di sini Jo. Ada Mbok Minah dan Pak Rahmat, mereka sangat baik, juga dengan Tuan Hasta yang sangat menyayangiku. Aku bahagia saat ini." jawab Hanin dengan tatapan mata yang berseri-seri.
"Syukurlah Han, kalau kamu bahagia aku juga bahagia. Ayo cepat baca surat Rafka!" ucap Jonathan sambil menatap surat yang masih di pegang Hanin.
"Aku baca dulu ya, setelah itu baru aku cerita," sahut Hanin yang takutnya jika di dalam surat Rafka ada kata-kata yang pribadi.
"Baiklah, baca dulu saja." ucap Jonathan dengan sabar menunggu Hanin membaca lebih dulu.
Dengan hati yang berdebar-debar Hanin membuka surat Rafka dan di bacanya di dalam hati.
Entah karena bahagia atau karena rasa rindunya pada Rafka, kedua mata Hanin berkaca-kaca setelah membaca surat dari Rafka.
"Kamu menangis Han? apa yang di tulis Rafka hingga kamu menangis?" tanya Jonathan dengan wajah serius.