"Rafka bilang di sana dia sudah mendaftar di sekolah yang ternama. Dia kesepian tanpa bisa ngobrol denganku. Rafka juga memberi nomor ponsel agar kita bisa bicara langsung tanpa menulis surat," ucap Hanin tanpa menceritakan di mana Rafka meminta dirinya untuk bersabar menunggu hingga dia kembali ke desa untuk menikahinya dan karena kata-kata itulah yang membuat Hanin jadi terharu dan ingin menangis.
"Apa ada lagi yang di katakan Rafka, Han?" tanya Jonathan merasa tidak semuanya Hanin menceritakannya.
"Rahasia tahu!" ucap Hanin dengan senyum terkulum.
"Ya..ya...aku tahu pasti ungkapan rasa cinta kan?" tebak Jonathan dengan bibir manyun.
"Tidak kok Jo, biasa-biasa saja," jawab Hanin sambil melipat suratnya dan di masukkannya kembali ke dalam amplop.
"Permisi Non Hanin, Non Hanin di tunggu Den Hasta di meja makan," ucap Minah yang datang dengan tiba-tiba.
"Ya Mbok, sebentar ya," jawab Hanin dengan perut yang memang sudah sangat lapar.
"Jo, ayo kita makan bersama?" ajak Hanin pada Jonathan yang bangun dari duduknya.
"Terima kasih Han, aku mau ke lapangan sekarang. Ada pertandingan sepak bola dengan tetangga desa nanti sore," sahut Jonathan menolak secara halus tidak ingin mengganggu Hanin dengan Hasta.
"Begitu ya? semoga kamu menang ya Jo," ucap Hanin dengan tersenyum.
Jonathan menganggukkan kepalanya kemudian segera beranjak pergi meninggalkan Hanin.
Setelah Jonathan pergi, Hanin segera masuk ke dalam mencari keberadaan Hasta.
"Non Hanin, Den Hasta ada di samping rumah, ikuti saya Non." ucap Minah sambil membawa secangkir kopi kesukaan Hasta, padahal dengan secara jelas Hasta tidak di perbolehkan minum kopi atau merokok lagi.
Dengan mengikuti Minah akhirnya Hanin bisa melihat keberadaan Hasta yang duduk di meja makan di mana tempatnya berada di samping rumah yang ada tamannya.
Hanin berdiri dengan tatapan terpaku melihat keindahan taman di samping rumah. Sungguh sangat nyaman dan asri.
"Duduklah Nin." ucap Hasta membuyarkan keterpakuannya Hanin.
"Terima kasih Tuan, tempat ini sangat indah sekali. Membuat hati merasa tentram," ucap Hanin dengan tatapan yang masih takjub.
Hasta tersenyum ikut senang melihat Hanin merasakan kenyamanan di rumahnya.
"Ayo kita makan Nin." ucap Hasta mengambil sebuah piring.
"Sini Tuan, biar aku yang mengambilkan." ucap Hanin mengambil alih piring yang di pegang Hasta.
Hasta menatap Hanin dengan tatapan penuh, hatinya semakin tersentuh dengan perhatian Hanin yang masih di bilang anak masih remaja tapi bisa mengambil hatinya.
"Ini Tuan," ucap Hanin seraya meletakkan sepiring nasi dan ikan gurami di hadapan Hasta.
"Terima kasih Nin," ucap Hasta tersenyum sambil mengambil sendok dan garpu yang sudah tersedia di meja.
"Sama-sama Tuan," sahut Hanin dengan tersenyum.
Hari ini Hanin merasakan kebahagiaan yang lengkap karena di kelilingi oleh orang-orang yang sangat sayang padanya. Apalagi dengan mendapatkan surat dari Rafka seseorang yang selalu di rindukannya. Sungguh, Hanin ingin hatinya ia berikan pada Rafka seorang yang tengah berjuang untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi untuk menjadi seorang Dokter.
"Uhukk.. Uhukk.. Uhukk"
Lamunan Hanin seketika buyar saat mendengar suara batuk Hasta yang selalu lama berhentinya.
"Tuan!! hati-hati. Ini minum Tuan," ucap Hanin langsung berdiri dan memberikan segelas air putih pada Hasta.
Dengan pelan Hasta meneguk air putih yang di beri Hanin untuknya.
"Terima kasih Nin," ucap Hasta seraya meletakkan gelasnya di atas meja.
Melihat dagu Hasta yang basah, dengan refleks Hanin mengambil tisu di atas meja dan mengusap lembut dagu Hasta.
"Hanin," tatap Hasta yang refleks juga memegang tangan Hanin yang masih di dagunya.
"Maaf Tuan, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya sekedar membantu membersihkannya saja," ucap Hanin dengan wajah memerah sambil menarik tangannya dari genggaman Hasta.
"Tidak apa-apa Nin, terima kasih telah perhatian padaku," ucap Hasta berusaha menenangkan hatinya yang berdebar-debar.
"Sama-sama Tuan," ucap Hanin menundukkan wajahnya karena masih malu karena telah lancang menyentuh dagu Hasta.
"Hanin sebaiknya kamu istirahat, karena besok pagi kita harus berangkat ke sekolah di SMA yang kamu inginkan. Sekarang aku harus ke rumah pak RT dan ke rumah ibu kamu untuk menunjukkan surat nikah kita," ucap Hasta sambil meneguk kembali segelas air putihnya.
"Kalau Tuan ke rumah pak RT berarti pak RT tahu kita sudah menikah ya Tuan?" tanya Hanin tidak mengerti bagaimana statusnya nanti di Desa.
"Tidak Hanin, yang pak RT tahu kita tidak menikah Hanin, karena aku sudah menjelaskan keadaan kita. Pak RT percaya padaku bisa menjaga kehormatan kamu," Jawab Hasta dengan tenang.
"Tapi di mata semua warga desa ini mereka tahu aku adalah istri anda sekarang, benarkah begitu Tuan?" tanya Hanin lagi dengan pikiran yang semakin rumit.
"Itu benar Hanin, apa kamu malu? atau keberatan dengan hal ini? karena jalan ini satu-satunya agar kamu bisa lepas dari Ibu kamu dan mendapatkan warisan dari Ayah kamu," ucap Hasta dengan perasaan putus asa karena Hanin masih meragukan niat baiknya.
"Aku sama sekali tidak keberatan Tuan. Aku percaya pada anda dan kenapa aku harus malu?" tanya Hanin tidak mengerti maksud Hasta.
"Mungkin saja kamu malu karena aku sudah tua dan pasti kamu akan jadi pembicaraan warga di Desa ini nanti," ucap Hasta menatap penuh wajah Hanin.
"Aku sama sekali tidak berpikir seperti itu Tuan. Anda orang baik, kenapa aku harus malu? lagi pula banyak juga teman-temanku yang menikah dengan yang lebih tua dari anda. Dan aku juga tidak perduli lagi dengan apa kata orang, karena dari dulu aku sudah banyak di perbincangkan orang-orang saat Ayah menikahi Ibu Dina," ucap Hanin dengan tatapan penuh kesedihan.
"Kamu harus kuat ya Nin, ada aku sekarang yang akan menjagamu," ucap Hasta dengan tersenyum.
"Ya Tuan, aku hanya ingin fokus sekolah dan meraih cita-citaku," ucap Hanin kembali bersemangat karena dorongan Hasta.
"Sebenarnya, apa cita-citamu Nin?" tanya Hasta dengan serius.
"Aku ingin menjadi perawat Tuan." jawab Hanin dengan malu-malu.
"Cita-cita yang baik, semoga terkabul ya Nin," ucap Hasta entah kenapa ada sesuatu di hatinya saat tahu Hanin ingin menjadi seorang perawat.
"Aku harap di saat aku sakit ada kamu yang merawatku Nin," ucap Hasta dalam hati.
"Baiklah Tuan Hasta, sepertinya aku harus istirahat sekarang," ucap Hanin sambil membawa piring kotor yang ada di atas meja.
Setelah Hanin masuk ke dalam rumah, Hasta memanggil Rahmat untuk menemaninya ke rumah Ketua RT dan ke rumah Dina.
Hari sudah larut malam, Hasta masuk ke dalam rumah setelah urusannya selesai semua, terutama urusannya dengan Dina, di mana untuk tiap bulannya Dina meminta jatah untuk pengeluarannya sehari-hari.