Chereads / Dendam Cinta / Chapter 12 - Pindah ⚡♥️

Chapter 12 - Pindah ⚡♥️

Novel ini hanya ada di aplikasi WebNovel kalau ada di aplikasi lain berarti dibajak

Saya kasih catatan karena udah banyaknya kasus novel dibajak, dan saya kena, ga dapet royalti

Jadi bagi pembaca belum tahu apa itu aplikasi WebNovel, kalian bisa download aplikasi bertuliskan WebNovel di playstore

Di WebNovel koinnya lebih murah dan ada voucher baca gratis sampai 3 loh

Terima kasih,

Nona_ge

***

Gaea menunggu aksi Rainer berikutnya, detik demi detik berlalu, dan Rainer tidak bergerak menyingkir atau berkata apa pun. Ia mulai merasa dipermainkan, "Kau menyingkirlah."

Rainer tidak bergerak sedikit pun, matanya memandang lurus mata Gaea penuh intens, "Kau sendiri yang memintanya."

Meminta dikurung seperti ini? "Aku tidak meminta ini," Gaea menyahut tidak terima; ia meminta Rainer menjadi diri sendiri saat bersamanya.

"Kau tidak paham, iya?" tanya Rainer, "aku menjadi diriku sendiri sekarang," lanjutnya, "kau kan begitu frustrasi ingin melihatnya, benar?"

Mendengar Rainer menyindir mengenai keluhannya membuatnya merasa sedikit bersalah, yang ia inginkan hanyalah Rainer tidak bersikap terlalu dingin padanya.

"Aku selalu menjaga jarak pada sesuatu yang tidak bisa aku miliki," Rainer berkata pelan tapi penuh arti, "dan itu pun berlaku padamu."

Gaea tidak dapat menangkap maksud Rainer, ia bukanlah milik siapa-siapa lantas kenapa Rainer mengatakan hal seperti itu? Dan lagi Rainer mengakui tidak bisa memilikinya? Apa maksudnya? Kepalanya pening memikirkan kata-kata tersebut.

Rainer menaikan dagu Gaea menggunakan telunjuknya agar mau menatapnya, "Taukah kalau kau itu seperti wine?"

"Wine?" Tentu saja Gaea mengetahui minuman alkohol itu, ia seorang bartender lagipula yang tidak dimengertinya adalah apa hubungannya dirinya dengan wine? Dan, oh God, wajah mereka begitu dekat sehingga ia dapat merasakan napas hangat Rainer, yang menjalar ke naiknya degup jantungnya.

'Tenang. Berpikir jernih.'

Wine itu memabukan? Tidak mungkin Rainer mabuk melihatnya, 'kan? Mustahil. Yang ada dirinya lah yang mulai mabuk dengan wajah tampan pria itu.

"Karena sekali melihatmu, aku terus meminta lebih," kata Rainer lagi, "dan tanpa aku sadari, aku terus melanggar aturanku yang aku buat." jelasnya, "kau sungguh-sungguh membuatku tidak berkutik, Gaea Silva," sambil berkata, ia memberikan belaian penuh kelembutan di pipi wanita itu tanpa mengindahkan tatapan mata intensnya pada Gaea.

Gaea lantas merona, ia tidak menyangka Rainer berpikir sedalam itu padanya, salahkah jika ia menilai bahwa pria di depannya ini menaruh perasaan padanya? Meski terdengar aneh sebab mereka hanya bertemu beberapa kali di klub.

Gaea tentu percaya pada cinta pada pandangan pertama, perasaannya pada Eryk juga dimulai dari itu, namun rasanya lain jika Rainer, pria yang cenderung cuek bahkan saat berjalan selalu tidak melihat sekeliling hanya fokus ke depan.

Pertemuan mereka pun hanyalah dirinya yang memandang, tidak pernah sekali pun mereka saling beradu pandang, kecuali di malam saat ia pingsan di ruang kerja Eryk. Mungkinkah di saat itu?

Gaea tidak bisa berpikir lurus, situasi kali ini di luar dugaannya. Ia hanya bisa menatap mata hitam Rainer yang menatapnya begitu serius tapi tersirat juga kelembutan di sana seakan menunggu reaksi sekecil apa pun dari dirinya.

"Hmph ... hahaha ...."

Gaea terkejut mendengar suara tertawa lepas Rainer, "Apa lagi ini sekarang?"

Rainer melangkah mundur, melepaskan kurungan tangannya untuk memegangi perutnya yang sakit karena tertawa, "Kau," sahutnya dan tertawa lagi.

"Aku?" Gaea benar-benar bingung, menunjuk dirinya sendiri dengan polosnya.

"Kau benar-benar berpikir apa yang aku katakan itu serius, iya?" Rainer berhenti sejenak untuk tertawa lagi, "aku ingin menggodamu lagi sih, ekspresi wajahmu yang kelewat serius seperti Einstein ... hahaha ... membuatku tidak tahan lagi."

"Apa?" Gaea memproses apa yang baru saja terjadi, dan setelah mengerti maksud ucapan Rainer, pipinya merona merah, bukan karena malu tetapi murka, tangannya terkepal keras di sisi tubuhnya.

Beraninya Rainer?

Beraninya mempermainkan perasaannya?

'Tidak ada yang berani bermain-main dengan Gaea Silva!'

"Oh sungguh? Kau tahu apa yang lebih lucu?" Gaea bertanya datar.

"Apa?" Rainer yang tak tahu menjawab dengan polosnya.

"Melihatmu terjatuh di lantai!" seru Gaea, lalu dengan segala amarahnya ia memukul bagian vital Rainer.

Rainer tidak dapat menahannya karena kejadiannya begitu cepat, ia hanya bisa terduduk merintih sambil memegangi alat vitanya, "Uhh ...."

"Itu pelajaran karena sudah mempermainkan aku," kata Gaea ketus, lalu mengambil koper serta pet cargo, tanpa peduli kondisi Rainer pergi keluar apartemennya.

Gaea menggigit bibir bawahnya, ia merasa seperti orang bodoh tadi, dan berpikir bahwa Rainer menaruh suka padanya hingga hatinya sedikit senang mengetahuinya benar-benar melukai perasaannya.

Kepala Gaea kembali mendidih ketika pintu lift yang tadinya hendak tertutup menjadi terbuka, memperlihatkan sosok Rainer, "Nyalimu besar juga berani menampakan diri," katanya ketus.

Rainer mengembuskan napasnya, ia masuk ke dalam lift, "Dengar, aku minta maaf sekali bila kata-kataku melukaimu," sesalnya seraya menggaruk belakang kepalanya.

Gaea hanya memutar bola matanya.

'Tidak semudah itu, Rainer. Kau salah memilih orang untuk bermain-main.'

"Aku tahu yang aku lakukan salah tapi bukankah kau juga?" tanya Rainer.

"Aku?" sekarang Rainer menyalahkan dirinya? "aku hanya bilang untuk tidak bersikap dingin padaku, aku menganggapmu sebagai teman, tenangkan dirimu," katanya kesal kemudian wajahnya berubah murung, "aku juga memiliki perasaan, kau tahu?"

Rainer sedikit tertunduk, tidak dipungkiri jika ia merasa bersalah juga; pikirannya mulai berkecamuk, "Aku memang seperti ini, Gaea. Aku mencoba tidak terjun terlalu dalam di sini," katanya, "jika kau tidak bisa menerima sifat aku, aku mengerti."

"Bagaimana bisa aku mengerti jika kau terus mendorongku menjauh!?" tanya Gaea emosi.

Rainer memilih tidak menjawabnya, menunggu lift berhenti.

"Halo?" Gaea merasa tersinggung dicuekin.

Rainer tetap diam hingga akhirnya pintu lift terbuka perlahan, ia segera keluar dari lift, tapi sebelum melangkah ia berkata, "Pembicaraan ini selesai, Gaea."

Gaea sungguh-sungguh naik pitam.

Rainer menolaknya lagi.

Beraninya ....

'Tetap tenang, tenang.'

Gaea mengambil napas beberapa kali, ia berani bersumpah berurusan dengan Rainer jauh melelahkan daripada Eryk.

Jika Rainer tetap memasang akting 'cold and hot' maka ia juga bisa melakukannya.

Rainer pikir ia seorang wanita yang lemah?

Setelah pikirannya jernih lagi, Gaea menyusul Rainer ke parkiran mobil.

***

Ketika sampai di rumah Eryk lagi, Sebastian sudah menunggu di depan rumah, dan menyambut mereka seperti biasa, "Selamat datang Tuan Rainer dan Nona Gaea."

Gaea segera keluar dari mobil sebelum sempat Rainer maupun Sebastian dapat membukakan pintu untuknya, "Senang rasanya bisa kembali," katanya mencoba terdengar seantusias mungkin.

"Biar aku bawa kopernya, Nona Gaea," kata Sebastian.

"Kau yakin?" tanya Gaea; kopernya berat dan bila dilihat dari rambut Sebastian jika pelayan Eryk itu sudah menginjak umur 50 tahun ke atas, ia merasa tidak enak karena masih muda dan lebih kuat.

Sebastian menganggukkan kepalanya, "Ini tugasku, Nona Gaea. Tak apa."

"Baiklah," Gaea akhirnya menyerahkan koper pink miliknya, setelahnya bergerak mengambil pet cargo berisi Bintang di dalam mobil.

Sebastian penasaran dengan apa yang dipegang oleh Gaea, "Jika tidak keberatan, apa isi di dalam pet cargo yang Nona Gaea pegang?"

"Oh, ini?" Gaea mengangkat pet cargo di tangannya, "ini kucing peliharaan aku."

Mata hitam Sebastian melebar syok, "Pardon? Seekor kucing, Nona Gaea?" tanyanya memastikan jika apa yang didengarnya tidak salah.

Gaea mengangguk antusias, "Iya, namanya Bintang," katanya, "dia kucing paling imut yang pernah kutemui."

Wajah Sebastian berubah cemas, "Tuan Eryk pastilah begitu mencintaimu Nona Gaea."

Kata-kata tadi terdengar seperti bukan pujian melihat betapa cemasnya wajah Sebastian di mata Gaea membuatnya bingung, "Huh?"

Sebelum Sebastian dapat menjawab kebingungan Gaea, sebuah mobil datang yang membuat mata mereka sontak bersamaan tertuju ke mobil tersebut.

Eryk dan Alex keluar dari dalam mobil tersebut.

"Selamat datang kembali Tuan Eryk dan Tuan Alex," kata Sebastian sambil membungkukkan tubuhnya penuh hormat, "mau aku buatkan kopi seperti biasa?"

"Hm ...," Eryk menjawab sekedarnya, "aku hanya ingin mengganti baju sebentar jadi tidak perlu."

"Baiklah."

Eryk menyadari koper besar berwarna pink yang dipegang oleh Sebastian lalu matanya tertuju pada Rainer, "Sepertinya kau sudah menjalankan tugasmu, Rainer."

"Aku sudah," Rainer menjawab singkat, "Bisa aku tidur sekarang?"

"Tentu Rainer, kau pantas mendapatkannya," kata Eryk tanpa berpikir panjang; yang penting baginya perintahnya sudah terlaksanakan. Ia masuk ke dalam rumahnya buat ganti baju, diikuti Rainer serta Alex.

Gaea yang ditinggal sendirian, kebingungan, "Um, Sebastian, bagaimana denganku?"

"Oh, tentu saja," Sebastian teringat bahwa ada Gaea, "aku akan menunjukan kamarmu, Nona Gaea."

Gaea mengangguk dan mengikuti Sebastian dari belakang.

***

Gaea tidak menyiakan kesempatan ini dengan melihat-lihat rumah Eryk yang tadi belum dilihatnya, di lantai dua juga banyak terdapat vas bunga serta foto-foto keluarga Enzo namun kebanyakan sendirian, mungkin karena lantai dua kebanyakan ruang pribadi anak angkat Xander.

Gaea sedikit sedih ketika melihat foto Lola, namun dengan cepat dihilangkannya dengan menggelengkan kepala.

Sebastian berhenti di depan pintu bercat putih, dan membukanya, "Ini kamar anda, Nona Gaea."

Gaea segera masuk ke dalam, dan takjub dengan isinya yang terdapat kamar mandi pribadi. Yang paling disukainya adalah warna catnya tidak seperti di ruang tamu yang berwarna abu-abu gelap, kamarnya kontras berwarna putih dan abu-abu muda.

"Aku suka kamar ini!" seru Gaea semangat. Tadinya sempat berpikir akan seperti kamar lelaki karena keluarga Enzo semuanya lelaki, nyatanya tidak.

Gaea berpikir apakah ini kamar Lola sebelumnya, mengingat sahabatnya itu satu-satunya wanita di keluarga Enzo.

"Aku senang mendengarnya, Nona Gaea," kata Sebastian, "kalau begitu aku akan memberikan Nona Gaea waktu sendiri untuk mengemasi barang-barang."

Gaea mengangguk, dan Sebastian pergi keluar, tanpa lupa menutup pintu kamar.

Gaea meletakan koper di atas ranjang barunya, dan membukanya, "Oh," ia segera berlari kecil untuk mengambil pet cargo yang tadi dibawanya dan melepaskan kucingnya, "Bintang, ini rumah baru kita," katanya sambil mengelus lembut pucuk kepala Bintang.

"Meow ...."

Gaea tidak tahan dengan keimutan kucingnya, akhirnya memeluk erat sesaat baru ia kembali lagi ke urusannya yaitu kopernya.

"Hm," Gaea bergumam, memilih apakah ia harus merapikan pakaian ataukah peralatan mandinya; dan setelah perdebatan panjang dipikirannya, ia memilih merapikan peralatan mandinya karena lebih sedikit, mengambil handuk dan sikat gigi, lalu berjalan ke kamar mandi sambil bertanya-tanya kenapa Rainer hanya mengemasi dua benda saja mengingat ada sabun scrub miliknya di apartemen.

Mungkin Rainer tidak mengerti kebutuhan wanita jadi hanya mengambilnya secara asal saja; sikat giginya juga memiliki inisial nama di bawah gagangnya makanya Rainer tidak salah membawanya.

Gaea meletakan sikat giginya di lemari kecil di samping westafel baru handuk di bagian jemuran kecil di samping pintu kamar mandi, "Oke," katanya tersenyum puas akan hasil kerjanya, ia sempatkan mengecek juga kamar mandi dan terkagum mengetahui ada bathtub berwarna putih susu berbentuk persegi panjang, di apartemennya hanya ada shower.

Gaea keluar setelah puas melihat-lihat, dan mulai merapikan pakaiannya ke dalam lemari pakaian yang telah disediakan satu per satu.

Tok. Tok. Tok.

"Hm ...?" Gaea menghentikan aktifitasnya, berpikir siapa yang datang ke kamarnya; yang pasti bukan Sebastian, "siapa?"

"Ini aku," suara dalam Eryk teredam di balik pintu, "boleh aku masuk?"

"Oh," Gaea lantas membereskan sisa pakaian yang masih tersisa dengan cepat dan segera ke pintu untuk membukanya, "ada apa?"

Eryk memutar bola matanya, "Serius, bisakah kau tidak terlihat kesal? Aku sudah bersikap baik padamu dan begini sikapmu?"

Perkataan Eryk tidak ada salahnya.

"Ada apa?" tanya Gaea sekali lagi, kali ini lebih tenang.

"Whatever," gumam Eryk; ia tidak butuh minta maaf lagipula, "Aku hanya ingin mengatakan untuk berhati-hati tidak memecahkan barang di sini. Hmph," Selesai mengatakan itu entah kenapa hidungnya terasa gatal.

"Tentu Tuan Eryk, aku akan berhati-hati," Dikira Gaea ada urusan penting apa sampai kemari sendiri segala, kalau hanya itu kenapa tidak menyuruh Sebastian saja? "ada lagi yang lain yang harus aku patuhi, Tuan Eryk?"

Eryk menghela napas, ketika Gaea berkata sarkas seperti ini membuatnya sebal, mungkin inilah perasaan orang-orang yang ditemuinya ketika ia mengatakan itu, "Cepatlah ganti bajumu ... huh?" kata-katanya terputus saat merasakan sesuatu yang menggelitik hidungnya. Penasaran, ia ke dalam kamar, yang satu detik berikutnya membuatnya terbatuk-batuk.

Perasaan ini ....

"What the fu—!?" Eryk bahkan tidak bisa melanjutkan ucapannya, ia sudah terbatuk lagi dan parahnya disertai bersin-bersin. Ia segera menutup hidungnya, matanya mencari penyebabnya dan terkejut melihat seekor kucing tengah 'membersihkan diri' di karpet bulu putihnya, "Kenapa ada kucing di sini!?"

"Aku yang membawanya, dia peliharaanku, namanya Bintang, Eryk," kata Gaea dengan polosnya.

"Aku tidak peduli nama kucingmu," kata Eryk, ia berusaha memasang tampang yang kesal namun bersinnya menghancurkan segalanya, "serius, kenapa bisa Rainer membiarkan ini? Sebastian juga."

"Memangnya kenapa?" tanya Gaea heran.

"Kau serius menanyakan ini? Serius?" sindir Eryk, lalu terbatuk diikuti bersin; sudah begini ia menjadi malas berdebat, "aku ... alergi bulu kucing, Gaea .... hatchi!"

"Oh," bagaimana Gaea bisa melupakan gejala yang dialami Eryk sejak tadi, "Tetapi aku tidak mau membuangnya," katanya, "dan pet shop langgananku tutup lebih awal karena berlibur untuk merayakan natal besok lusa."

"Bagus," kata Eryk, "Aku tidak mau, hatchi ...," sial, "aku tidak mau dia ada di rumahku ...."

"Apa!? Lantas aku harus menaruh Bintang dimana kalau bukan di sini!?" seru Gaea.

"Terserah kau," sahut Eryk, tanpa mendengar jawaban dari Gaea berjalan keluar sambil sesekali bersin, "aku tidak mau makhluk ini berkeliaran di sekitar rumah, mengotori, uhuk, barang-barangku dengan bulunya ... hatchi!"

"Ugh." Gaea berusaha menahan amarahnya.

Eryk berhenti di depan pintu, "Dan ... kau bersiap-siaplah, kau ikut denganku ... hatchi!"

"Apa!?" Gaea syok namun sebelum bisa berkata apa-apa, Eryk sudah pergi, menutup pintunya agar bulu kucing tidak keluar dari kamar. Ia menepuk keningnya frustrasi.

Baru ketemu lagi, Eryk sudah bersikap seenaknya.

Dan juga Eryk mau membawanya kemana? Ia harus memakai baju biasa, formal atau gaun?

"Ugh." nampaknya Gaea harus menanyakan ini pada Eryk, namun ia tidak yakin apakah pria itu mau mendekatinya karena bajunya ada bulu Bintang. Tidak mau membuang waktu, ia ke bawah, di sana terkejut melihat Rainer tengah duduk di ruang tamu, tidak tidur di kamar.

Rainer menyadari keberadaan Gaea, bibirnya mengukir seringai kecil, "Melihat wajah Eryk yang sembab begitu memuaskan, hahaha ...."

Gaea heran Rainer sama sekali tidak bersimpati pada Eryk, padahal mereka saudara, "Kenapa kau tidak bilang Eryk memiliki alergi terhadap bulu kucing?"

"Dan melewatkan momen langka wajah tampan Eryk yang ternoda? Tidak maulah," sahut Rainer tanpa dosa lalu tertawa lagi.

Gaea ikut tertawa, jujur ia juga menikmatinya, wajah Eryk yang merona serta mata yang mulai sembab berair, mungkin itu menjadi pelajaran untuk Eryk karena sudah seenaknya padanya dan tentu Rainer.

Dan ia juga sedikit senang, karena ini juga Rainer tidak lagi bersikap dingin padanya.

"Aku tahu dia takkan marah padamu," kata Rainer, "karena kau pasti akan memberikan Bintang sebagai pembelaan."

"Ah!" sebuah ide seketika muncul di kepala Gaea, "Kau jenius, Rainer!" pujinya, bibirnya menyeringai lebar memikirkannya.

Mungkin ini terdengar curang namun ia bisa memakai Bintang untuk membalas Eryk jika pria itu bersikap semena-mena pada dirinya.

Ide yang licik namun bagus.

"Kau masih belum ganti baju?" tanya Rainer.

"Oh ...," Gaea melirik ke bawah tubuhnya, lalu menggaruk lengannya gugup, "sejujurnya aku tidak tahu pakaian yang harus aku kenakan."

"Tentu saja Eryk takkan bilang," gumam Rainer pelan, begitu pelan agar Gaea tak mendengar, "kau akan ikut acara lelang malam ini sebagai tunangan resmi Eryk."