Begitu sampai di ruangan kerjanya, Eryk langsung mengerjakan dokumen yang menumpuk akibat seharian tidak dipegang karena mengurus acara lelang, mengecek dengan teliti pengeluaran dan pemasukan perusahaan miliknya.
"Hm ...," Eryk bergumam sambil menggerakan kursi yang didudukinya ke kiri dan ke kanan; penjualan hingga pertengahan cenderung stabil, angka penjualan naik drastis ada saat mengundang penyanyi kenalannya selama seminggu, "Mungkin aku harus mengundang kenalanku yang lain, kali ini DJ?"
Seminggu ini Eryk terlalu sibuk dengan pekerjaan serta insiden Gaea sampai tak sempat bermain dengan teman Artisnya. Ponselnya juga penuh dengan pertanyaan kenapa ia tidak lagi main ke bar langganan mereka.
Tok. Tok. Tok.
"Masuk," kata Eryk.
Pintu terbuka, memperlihatkan wanita muda berambut pirang panjang membawa beberapa dokumen di tangannya. "Ini laporan dari hotel yang kau minta, Tuan Eryk."
"Letakan di meja, Clara," kata Eryk, ia memang memiliki satu hotel itu merupakan upaya kerja kerasnya mengambil kembali apa yang harus menjadi miliknya. Seketika muncul wajah dengan senyum yang begitu dirindukannya. Ia menghela napas kecil, dan bangkit dari kursinya untuk menatap kosong pemandangan di luar jendela.
'Seandainya kau masih di sini, Ayah.'
***
Flashback
***
"Tuan Eryk, kau tidak bisa menjalankan bisnis jadi fokuslah ke sekolahmu, semua kekayaan Tuan Xander akan disita untuk sementara waktu."
Eryk membulatkan matanya, "Bagaimana bisa disita!? Aku sudah dewasa! Mengerti!?" serunya penuh emosi.
"Kau masih empat belas tahun Tuan Eryk, belum legal untuk berbisnis meskipun kau anak Tuan Xander," kata Sebastian kalem, "Kau belum mampu itu bisnis Ayahmu akan dipegang oleh orang yang memiliki saham terbesar yaitu Pamanmu, Zeke."
Emosi Eryk memuncak mendengar kata 'Paman', "Dia bukan Pamanku! Jangan sebut dia lagi di depanku, Sebastian!"
Sebastian tertunduk dalam, "Iya, Tuan Eryk."
Eryk mengembuskan napasnya menenangkan emosinya yang meledak-ledak sekarang ini, "Maaf iya aku membentakmu, Sebastian. Kau tahu hidupku sekarang ini sungguh hancur ...."
Sebastian terdiam, wajahnya berubah sedih melihat Eryk yang begitu kuatnya tak menangis ketika pemakaman Ayahnya, kini mulai meneteskan air mata membasahi pipi Eryk.
Eryk memukulkan tangan ke pahanya. Ia masih tidak percaya dengan semua yang menimpa dirinya, dan di antara semua itu Kervyn yang paling dibutuhkannya justru dalang dari ini semua.
"Tuan Eryk, kau bisa mengaku bahwa yang membuat Tuan Xander tidak ada adalah Tuan Kervyn," kata Sebastian, "memberitahu itu akan membuat kerja Polisi lebih cepat dan Tuan Kervyn bisa segera ditangkap, dan tentu saja Tuan Xander bisa beristirahat tenang."
Eryk menggertakan giginya frustrasi, "Jika ada orang yang harus menangkap dia adalah aku bukan yang lain."
"Tetapi Tuan Eryk, kau baru bisa mendapatkan hak kekayaanmu lagi setelah umurmu menginjak dua puluh tahun, waktu yang lama, di waktu selama itu Tuan Kervyn ada kemungkinan sudah keluar negara," kata Sebastian berusaha membujuk, sungguh tidak senang akan keputusan Eryk yang tidak mau jujur terbutakan oleh dendam.
Eryk berpikir sesaat, ada benarnya apa yang dikatakan Sebastian, tetapi bara api dendam sudah terlanjur menguasai di tubuhnya, "Aku akan membiarkan dia bersenang-senang dan di saat itu aku melakukan tugasku, dia akan merasakan apa yang aku rasakan selama ini," katanya dingin.
"Tuan Eryk."
***
Flashback Selesai
***
"Tuan Eryk?"
Eryk menoleh dan menaikan sebelah alisnya mengetahui Clara masih di sini tidak kembali bekerja, "Ada yang mau kau laporkan padaku lagi?"
Clara menggelengkan kepalanya, "Sesungguhnya aku ingin mengucapkan selamat atas pertunangan Tuan Eryk tadi malam."
"Ah ...," Eryk baru ingat Clara tidak hadir di acara semalam dengan alasan sakit, "Ada lagi?" tanyanya tidak ingin membuang waktu, waktu adalah uang, pertunangan itu juga bukan asli.
Clara memainkan sepatu heels-nya malu-malu, sebelum akhirnya memberanikan diri mendekati Eryk, "Aku hanya berpikir, aku ingin mentraktir Tuan Eryk untuk merayakan pertunangan Tuan mengingat aku tak datang kemarin."
Eryk menaikan alisnya lagi; bukankah justru sebaliknya? Yang bertunangan yang membeli makanan? Kebingungannya terjawab ketika jemari Clara menyentuh dadanya memainkan dasi hitamnya dengan menggoda, ia otomatis menatap mata cokelat sekretarisnya itu.
"Kita bisa minum bersama," kata Carla dengan tatapan menggoda terbaiknya, "Atau—" sebelum ia dapat menyelesaikan ucapannya, Eryk sudah melangkah mundur menjauhinya.
"Kembalilah bekerja," kata Eryk dingin.
Clara mengepalkan tangannya, "Aku tahu Tuan tidak mencintai dia, pertunangan kalian terlihat jelas palsu sekali, aku—"
"Jangan berbicara seperti kau tahu kehidupan pribadiku, Clara," Eryk memotong dingin, "dan jangan menjelekan tunanganku, kau tak tahu butuh beberapa tahun bagi dia mau terbuka mengenai hubungan ini."
Clara terkejut mendengarnya.
Eryk yang tidak tahan membalikan tubuhnya agar tidak bisa melihat ekspresi wajah Clara yang sedih. Ia tak berniat melakukannya tapi sekretasinya itu memaksanya melakukannya, "Kembalilah bekerja. Sekarang."
Untuk sementara keheningan mengisi ruang kerjanya sebelum akhirnya Eryk dapat mendengar suara sepatu dengan cepat seakan berlari.
Eryk mengembuskan napasnya; sudah berkali-kali menolak, tetapi Clara tetap mengejarnya bahkan ketika bertunangan masih tidak mengerti penolakan.
Eryk jadi bersyukur Gaea bukanlah wanita seperti itu.
Eryk terkejut, kenapa ia justru terpikir Gaea bukan Katherine? Katherine juga bukan wanita seperti itu, biasa saja seperti Gaea.
Ada apa dengannya? Tadi sewaktu berhadapan dengan Gaea, ia juga tidak fokus seperti bukan dirinya.
Eryk kembali ke tempat duduknya, mengecek lagi dokumen yang dibawa Clara, berharap pikirannya soal Gaea hilang. Matanya tertuju pada sebuah surat dari perusahaan rekan kerjanya, "Aku belum menghubungi perihal kerja sama ...," penasaran ia segera membuka surat tersebut dan terkejut itu merupakan isi undangan tes bekerja, "Gaea!?"
Undangan tes kerja untuk Gaea.
Eryk terlalu pusing akan sifat keras kepala Gaea hingga lupa bahwa wanita muda itu memiliki otak yang jenius, sewaktu melamar di tempat kerjanya, ia terkejut dengan nilai sekolah Gaea. Ia melirik lagi surat tersebut, "Kerja di sini bagus tetapi dengan nilai kuliah sebagus itu aku akan merekomendasikan di perusahaan lain yang lebih baik."
Lebih baik?
Eryk termenung, kenapa juga ia harus peduli dengan masa depan Gaea? Karena menjaga wanita muda itulah ia kehilangan Ayahnya.
Menjadi Bodyguard ....
***
Flashback
***
Eryk tiduran di sofa menunggu Ayahnya pulang kerja, sesuai kesepakatan seharian penuh ia menjadi Bodyguard Gaea, "Hm ...."
Mobil apa yang harus ia minta? Ferrari? Lamborghini?
Eryk segera bangkit berdiri begitu mendengar suara mobil di depan rumahnya, ia berlari ke luar, "Ayah, selamat datang."
Xander keluar dari mobilnya, "Eryk? Kau sudah pulang?"
Eryk mengangguk, "Aku sudah mengerjakan tugas Bodyguard membosankan itu, jadi aku sudah bisa mendapat mobilnya!?" tanyanya penuh semangat.
Xander tidak menjawab justru melirik ke dalam mobil, "Keluarlah, tidak apa-apa."
"Eh?" Eryk ikutan melirik ke dalam mobil penasaran dengan siapa ayahnya berbicara, ia tidak dapat melihat dengan jelas karena kaca mobil berwarna hitam hanya bayangan saja yang ditangkapnya.
"Rainer," Xander memanggil kali ini, "tak apa, kau aman di sini."
"Rainer ...," gumam Eryk, sebelum kemudian matanya melebar, "tidak mungkinkan Ayah ...."
Seseorang yang bernama Rainer itu akhirnya keluar dari mobil, menatap Xander kemudian Eryk, sebelum tertunduk muram.
Xander meletakan tangannya di bahu Rainer, "Eryk, kenalkan dia saudara barumu, Rainer."
Eryk melirik Rainer yang tengah menatapnya dengan tatapan yang kosong, sebelum kemudian menatap lagi Ayahnya jengkel, "Serius. Mau sampai kapan kau mengadopsi orang-orang, Pak Tua?"
Eryk lelah setiap kali melihat Ayahnya pulang kerja selalu membawa orang untuk diadopsi, rumahnya bukan tempat penampungan.
"Eryk bahasamu!" kata Xander memperingatkan.
Eryk memutar bola matanya, "Selamat datang, Rainer semoga kau betah di sini sebab ada banyak orang adopsi juga di sini," katanya ketus sebelum kemudian kembali ke dalam.
"Eryk!" seru Xander sebelum kemudian menghela napas tak habis pikir dengan sikap anaknya, "Rainer tak apa Eryk sedikit kesal tapi takkan lama, aku yakin kalian akan berteman baik."
Rainer melirik Eryk yang tengah duduk di sofa melipat tangan di dadanya, raut kesal terlihat sekali di wajah Eryk.
"Ayo masuk, aku kenalkan dengan yang lainnya," kata Xander lembut.
"Sebelum itu bagaimana kita bicara masalah kesepakatan kita, Ayah," kata Eryk.
"Tentu," sahut Xander, "kau berhasil sehari tetapi Ayah memintamu sampai trauma Gaea baikan."
"Apa?" Eryk baru mendengar ada syarat seperti itu, "Ayah hanya meminta menjadi Bodyguard."
"Itu karena kau sudah pergi tanpa mendengar penjelasan Ayah, Eryk," kata Xander disertai tawa kecilnya, "benarkan Sebastian?"
Sebastian yang sejak tadi diam mengangguk, "Iya benar, Tuan."
Eryk mengepalkan tangannya, "Jadi Ayah ingin aku menemani anak kecil itu? Tidak, cukup satu hari saja, aku tidak tahan."
"Mobilnya tidak jadi kalau begitu," kata Xander santai, "perjanjian batal."
"Ayah jangan seperti itu! Aku rela bersikap kekanakan, hargai jerih payahku," kata Eryk jengkel.
Xander berpikir sebentar, "Bagaimana kalau bersama Rainer? Kalian berdua seumuran jadi kau takkan bosan."
"Bersama Rainer?" Eryk mengira itu bukanlah ide yang buruk, Rainer juga baru jadi takkan mengejeknya seperti Kervyn, Alex atau Lola, "Baiklah, aku setuju,"—demi mobil barunya.
Xander kali ini memandang Rainer, "Bagaimana denganmu Rainer? Kau mau menjadi Bodyguard bersama Eryk?"
Rainer mengangguk tanpa protes, menjadi Bodyguard bisa membuatnya keluar dari rumah ini juga.
***
Flashback Selesai.
***
Tok. Tok. Tok.
Eryk tersadar dari lamunannya mendengar ada yang mengetuk pintu kantornya, ia pun kembali duduk di kursinya, "Masuk."
Orang yang mengetuk adalah Ferdinand.
"Bagaimana?" tanya Eryk sambil bertopang dagu.
Ferdinand menyerahkan beberapa lembar foto di atas meja Eryk, "Kau takkan senang dengan ini, Eryk."
Eryk yang mendengarnya segera mengambil foto tersebut, mata birunya melebar, "Ini ...."
Hening ....
"Apa kau meminta bantuan Rainer?" Eryk bertanya setelah cukup memandang foto bergambar Katherine, tepatnya kejadian penangkapan wanita itu secara detail di sana, yang sedikit aneh baginya mengingat itu hanya dari kamera pengawas.
Ferdinand mengangguk.
Eryk berpikir; aneh, ia sudah bilang pada Rainer untuk istirahat penuh, apakah Rainer tetap ingin terlibat? Jika begitu sesampainya di rumah nanti, ia akan memberikan nasihat pada Rainer betapa pentingnya tidur, "Kau tidak menemukan siapa yang mengirim surat itu?"
Ferdinand menggelengkan kepalanya, "Sayangnya, pengirim itu jalan kaki saat meletakan suratnya di kotak surat rumah kita, dia berpakaian tertutup tentunya, sulit mengenali sebab dia datangnya malam hari juga."
Eryk menggertakan giginya; licin sekali siapa pun itu yang menculik Katherine, tetapi ada sesuatu yang janggal, pelakunya hanya kirim surat saja tidak meminta tebusan uang atau apa pun, itu yang tidak dimengertinya, tujuan dari penculikan ini apa!? Ingin membuatnya sengsara? Ia bangkit berdiri dari kursinya, "Aku akan ... huh?" Matanya tanpa sadar melihat cahaya berwarna hijau bulat kecil bergerak di meja kerjanya, "Ini—" Sebelum sempat diselesaikan satu tembakan mengenai mejanya, matanya terbelalak.
"Menyingkir dari pandangan kaca Eryk!" Ferdinand langsung memerintah, yang dengan cepat Eryk melompat ke samping sebanyak sekali; ia segera membalikan meja kerja Eryk untuk melindungi diri.
Jantung Eryk memburu, tak menyangka akan ada penyerangan sepagi ini.
Tembakan demi tembakan dimuntahkan mengarah pada meja Eryk tempat Ferdinand bersembunyi hingga membuat dokumen yang susah payah dikerjakan oleh Eryk berhamburan kemana-mana.
Bila terus begini mejanya yang terbuat dari besi akan tembus juga akan membahayakan Ferdinand.
Eryk harus berbuat sesuatu, "Kau bawa pistol?"
"Aku bawa tetapi sulit membidik dengan jarak sejauh itu," sahut Ferdinand.
Eryk mendecak kesal, mencari cara untuk bisa keluar dari ruangan kerjanya atau setidaknya membuat tembakan itu berhenti walaupun sebentar. Ia mendapat ide, segera mengambil pistol glock 22 yang memang sengaja di simpan olehnya di balik rak bukunya, dan kembali ke tempatnya, "Kau tembak saja Ferdinand."
Mata Ferdinand melebar, "Kau sudah kehilangan akalmu, iya? Sudah aku bilang aku tidak bisa membidik dengan benar kalau sejauh itu!"
"Kau hanya mengalihkan perhatian saja! Dia pasti memakai sniper karena tembakannya tidak cepat seperti pistol biasa! Kita kacaukan konsentrasi dia, di saat itu juga aku keluar dari sini," Eryk menjelaskan sambil mengisi peluru ke dalam pistolnya.
"Tapi."
"Lakukan saja, Ferdinand!" seru Eryk, "Tunggu aba-aba dariku," lanjutnya, Eryk meletakan pistol miliknya di balik jasnya, kemudian berjalan menempel di dinding tempat titik buta dari bidikan, akhirnya berhenti setelah sampai di dekat pintu, "Ferdinand."
Ferdinand mengangguk, ia mengambil titik yang pas, yaitu di samping kaca, setelah satu tembakan, ia segera berlari ke sana, bagian yang berseberangan dengan Eryk agar bisa meminimalkan kemungkinan Eryk tertembak. Ia menunggu tembakan selanjutnya sambil mengambil pistol miliknya, mengisi dengan peluru penuh, di saat selesai mengisi, di saat itu jugalah peluru ditembakan, dengan cepat ia membidik ke arah tembakan tadi hingga pelurunya habis.
Sesuai dugaan Eryk, orang itu tidak menembak, mungkin menghindar; tanpa menyia-nyiakan kesempatan emas ini, ia berlari keluar ruangan, segera menutup pintunya bersamaan dengan tembakan di pintu itu.
"Apa itu?"
Tembakan di pintu menghasilkan bunyi keras hingga terdengar oleh Clara yang kebetulan sedang berjalan menuju ruang kerjanya.
Eryk mengambil napasnya sebelum kemudian memasang wajah kalemnya, "Tidak ada apa-apa, kembalilah bekerja," Untunglah ruangannya kedap suara jika tidak, ia tak bisa membayangkan betapa paniknya Clara.
"Tapi." Clara masih penasaran.
"Kembali bekerja Clara, aku membayarmu bukan untuk bersantai-santai," kata Eryk dingin, tidak memiliki waktu meladeni ocehan tidak penting sekretarisnya itu, ia harus cepat turun untuk mencari pelaku penembakan dirinya.
Clara menurut tanpa protes lagi, kembali ke ruangan.
Eryk segera berlari menuruni tangga, pikirannya berkeliaran kemana-mana.
Gedung kerjanya hanya di memiliki tujuh lantai, yang berarti ia harus mencari gedung yang memiliki tinggi yang sama atau kurang dengan gedung miliknya, di sebelahnya merupakan apartemen dengan enam lantai, kemungkinan besar ada di sana, ia hanya perlu mencari dari mana arah tembakan tersebut.
'Seandainya ada Rainer.'
Eryk keluar dari gedungnya, tetapi bersembunyi di balik tembok memastikan keadaan di luar aman, tidak ada mobil yang terparkir atau pun jendela yang terbuka di gedung sebelah, "Tidak mungkin mereka menyerang di tempat keramaian seperti ini," gumamnya memperhatikan banyaknya orang yang lalu-lalang di trotoar, meskipun ramai, tidak ada mobil terparkir di sepanjang blok. Ia melirik jendela-jendela, tak ada juga yang mencurigakan seperti senapan laras panjang atau orang di dekat jendela. Ia segera berlari ke gedung sebelahnya yang memang jaraknya berdekatan dengan gedung kerjanya.
Apartemen ini bukanlah apartemen bintang lima jadi tidak heran jika keamanan di sini kurang, tempat yang strategis menembak ke tempat kerjanya.
Eryk berjalan hati-hati, melirik ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada yang mencurigakan, jika Gaea ada di sini mungkin ia sudah nasihati karena terlalu paranoid. Jangan salahkan dirinya, ia tidak memakai baju anti peluru, wajar harus ekstra hati-hati.
Eryk berhenti di pertigaan yang kosong, mengeluarkan kepalanya keluar jendela, membandingkan ruang kerjanya dengan gedungnya, "Dia berada di paling atas," Tempat yang mudah jika ia nilai. Ia kembali melanjutkan lagi langkahnya.
"Eryk!"
Eryk berhenti dan menoleh, "Ferdinand?"
Ferdinand berhenti untuk mengatur napasnya, "Syukurlah ... huh ... terkejar juga ...."
"Kau bisa ke sini ...?" tanya Eryk.
"Dia berhenti menembak sesaat setelah kau keluar dari ruangan. Kurasa dia kabur," kata Ferdinand kalem.
"Begitukah?" Jika benar adanya, pelaku itu masih di dalam sekarang, hanya ada satu cara agar bisa menangkap pelaku itu, "Kau naik lift, Ferdinand."
"Eh?"
"Aku akan menaiki tangga, kemungkinan dia memilih tangga lebih besar karena jika benar dugaanku dia memakai senapan tipe sniper, akan memancing kecurigaan orang-orang kok membopong senjata sebesar dan sepanjang itu kan?" kata Eryk.
"Tapi kau tidak memakai pengaman apa-apa! Bukankah lebih baik kita menunggu di luar saja? Melihat setiap orang keluar dari sini?" Ferdinand menyarankan, tidak suka ide berpencar begini apalagi Eryk mengambil jalan yang memiliki kemungkinan terbesar orang itu kabur mengingat Eryk sendiri yang menjadi incaran.
"Aku baik-baik saja, kau tahu kemampuanku, 'kan?" Eryk bertanya balik, "sekarang lebih baik kita berpencar, aku cemas orang itu melukai orang lain di sini," lanjutnya, "Kau tadi menembak tidak ke arah dalam kamar, 'kan?"
"Tentu saja tidak!" kata Ferdinand, "celahnya memang kecil tetapi aku tahu tembakanku ke arah mana, orang itu menembak dari atas atap."
Sesuai dugaan Eryk, orang itu menembak di atas atap gedung, "Kalau begitu kita bertemu di atas, Ferdinand," katanya segera menaiki tangga, sesekali berhenti untuk mendengar apakah ada langkah kaki selain dirinya, lalu melanjutkan lagi setelah positif tak ada, deru napasnya serta jantungnya begitu cepat, di setiap langkah ia berpikir apakah ini ulah Kervyn? Apakah mereka akan bertemu dan akhirnya mengakhiri segala pertikaian ini? Ataukah saingan kerjanya? Apa malah orang yang menculik Katherine?
Begitu banyak kemungkinan hingga Eryk sudah sampai di lantai paling atas, di sana Ferdinand sudah menunggu dirinya.
"Bagaimana?" tanya Ferdinand.
Eryk menggelengkan kepalanya.
Ferdinand berpikir sebentar, "Berarti ada kemungkinan dia tinggal di sini, Eryk. Aku juga tadi naik lift sendirian, tak ada orang yang naik selain aku."
Eryk termenung sesaat; apa maksud dari semua ini? Matanya tertuju pada pintu cokelat yang terhubung menuju atap gedung, "Hanya ada satu kemungkinan Ferdinand," Ia mengeluarkan pistol di balik jasnya.
Ferdinand mengangguk, mengambil pistolnya juga, berjalan mendekati pintu tersebut, lalu saling pandang, mengangguk satu sama lain barulah membuka pintu tersebut.
Begitu di luar atas atap, Eryk memeriksa sekelilingnya, dan mendecih kesal tidak ada siapa-siapa, benar adanya jika orang itu mungkin tinggal di sini, "Oh." matanya tanpa sengaja menemukan sebuah kertas yang ditimpa batu sedang agar tidak terhempas oleh udara pagi di pinggir gedung. Ia pun mengambilnya dan membacanya.
You Can't Catch Me, Mister Enzo :)
Begitulah tulisan di kertas tersebut, yang membuat Eryk merobek-robeknya dengan penuh amarah, "Kervyn!"
***
Suasana mobil begitu sepi, semenjak keluar dari apartemen, Eryk sama sekali tidak mau bicara bahkan tidak mau mengecek kamera pengawas juga, hanya ingin pulang.
Ferdinand yang mengemudi melirik Eryk yang duduk tertunduk di kursi belakang, "Kau baik-baik saja, Eryk?"
"Hm," Eryk menjawab singkat.
Ferdinand fokus lagi ke jalan raya, percuma mengajak Eryk saat ini, masih syok soal kejadian tadi, yang ia herankan kenapa Eryk bisa langsung tahu bahwa kertas itu yang membuat adalah Kervyn? Padahal memakai ketikan bukan tulisan tangan.
Eryk mengembuskan napasnya, adrenalinnya tadi membuatnya tubuhnya letih sekali.
Kertas tadi ada satu inisial alphabet 'K' disertai simbol hati kecil di sana; Katherine sering memakai simbol tersebut ketika mengirim pesan padanya setelah mereka resmi menjadi sepasang kekasih.
Meskipun pahit mengakui kekalahan ini, Eryk bisa mempersempit kecurigaan bila yang mengincarnya bukanlah saingan bisnisnya, tetapi Kervyn termasuk penculikan Katherine juga.
Eryk mencurigai bahwa tujuan Kervyn menculik Katherine hanyalah membuatnya sengsara mengingat Katherine kekasih aslinya.
"Hm ...," Eryk memang tidak tahu penculikan itu kapan terjadi, tetapi ia berasumsi terjadi ketika melamar Gaea di bandara mengingat Katherine saat itu sedang di perjalanan ke rumahnya. Ia berpikir apakah dengan pengumuman pertunangannya dengan Gaea akan membuat Katherine bebas? Ia harus bergerak cepat, namun Rainer sedang istirahat setelah seminggu ini kurang tidur.
Eryk bisa meminta anak buahnya yang tadi mencari petunjuk mengenai Katherine, tapi masalah Kervyn kan hanya rahasia keluarga Enzo.
Eryk mengembuskan napasnya, lelah sekali, matanya pun terasa berat, ia ingin terjaga hingga sampai rumah namun akhirnya tanpa disadari matanya perlahan menutup.
***
Flashback
***
"Eryk kau datang lagi?" kata Chief Charles.
Eryk mengangguk, kali ini ia membawa satu buket bunga anggrek mengingat Gaea begitu menyukainya ketika mereka mengunjungi kebun bunga bersama kemarin.
"Dimana Rainer?" tanya Chief Charles.
"Dia ada urusan," sahut Eryk.
Chief Charles tersenyum, "Eryk, kau dan Rainer bekerja bagus sekali hingga Gaea mau berbicara akhirnya, terutama kau sampai mau menemani dia di ruang interogasi agar tidak membuat dia takut, dengan begitu kami bisa mendapat petunjuk mengenai Orang Tua Gaea."
Eryk mengangguk, "Aku hanya melakukan tugasku."
"Kau terlihat menikmati pekerjaan Bodyguard ini, Eryk," kata Chief Charles disertai tawanya.
Eryk menggaruk belakang lehernya gugup, "Aku mulai menyadari menjadi Bodyguard tidak membosankan juga."
"Kau yakin tidak menyukai Gaea?" tanya Chief Charles memancing.
Rona merah seketika muncul di wajah Eryk, "Tidak mungkin! Aku bukan pedofil! Usia kami berjarak lima tahun jauhnya. Aku akui Gaea memiliki mata serta senyum yang indah, tetapi hanya itu, aku menganggap dia hanya sebagai adik."
"Wajahmu berkata lain Eryk," kata Chief Charles polos, "Kenapa kau begitu membela mati-matian menyangkalnya? Santai saja Eryk."
Eryk tertunduk malu, bodohnya ia kena jebakan ucapan Chief Charles, "Aku ke Gaea iya, Chief?" tanyanya, tanpa jawaban dari Chief Charles, ia melenggang pergi ke dalam di mana kamar Gaea berada, ia mengetuk pintu, "Gaea ini aku," katanya lembut; tak ada jawaban jadi ia membukanya, tidak ada siapa-siapa, "Hm ...," mungkin Gaea ke kantin? Mengingat ini jam makan siang.
Eryk pun berjalan menuju kantin Polisi masih memegang buket bunga di tangannya, namun ketika sampai buket itu jatuh setelah matanya melihat Gaea sedang makan bersama seorang pemuda yang sangat dikenalinya, "What the—!?"
Yang dipanggil menoleh, "Oh, hey ... Rey!" panggil Kervyn mengejek saat menyebut nama Rey, "duduklah."
Gaea membulat, "Kak Rey ada dua!?" serunya syok.
Kervyn tertawa kecil, "Kau tertipu penyamaran aku, gadis kecil."
Eryk segera menghampiri meja di mana Kervyn dan Gaea berada, "Kau apa-apaan sih? Menyamar jadi aku K—Key," Ia sedikit panik akan nama yang cocok untuk Kervyn jadi menyebut apa yang terlintas di pikirannya: Key.
"Key," kata Gaea memiringkan kepalanya polos.
Eryk yang melihatnya begitu ingin sekali mencubit pipi Gaea yang imut sekarang ini, "Dia saudaraku, Gaea. Namanya Key."
Kervyn bertopang dagu santai, "Iya Gaea, maaf aku menipumu dengan menyamar menjadi Rey," sesalnya tanpa rasa bersalah sama sekali, "walaupun aku yakin ada satu orang lagi yang sedang menipumu ...," Ia melirikan matanya pada Eryk.
Eryk terbatuk, karena kesal ia melayangkan memukul ke Kervyn yang sayangnya gagal, karena saudaranya itu menghindar, "Kau!"
Kervyn tertawa penuh kemenangan, "Kau takkan bisa menangkapku, Mister Enzo," ejeknya sambil memicingkan mata tajam.
Eryk semakin emosi, sudah susah payah namanya dirahasiakan Kervyn malah dengan santainya bilang nama keluarga mereka, "Kau seta—"
"Sudah cukup!" seru Gaea sekuat tenaga hingga wajahnya memerah, "Tolong jangan bertengkar lagi!"
Eryk yang mau memberi pelajaran lagi pada Kervyn pun berhenti, ia melirik Gaea yang di pinggiran matanya mulai terkumpul air mata, "Ini salahmu, Key!"
"Kau yang membuat kegaduhan jadi kau yang membuat dia menangis, Mister Enzo," Kervyn membalas santai, tak suka disalahkan.
Eryk mengepalkan tangannya; lagi-lagi Kervyn menyebut nama keluarga mereka, untuk apa menyembunyikan nama asli mereka jika Gaea tahu nama keluarga mereka?
"Sudah duduk, Key dan Rey, di depanku," kata Gaea jengkel.
Eryk sendiri terkejut mendengar Gaea berani memerintah dirinya, tanpa protes ia duduk di depan gadis kecil itu.
'Aku bukan pedofil. Aku bukan ... tapi wajah Gaea—'
Gaea melirik Kervyn yang masih enggan duduk, Key."
Kervyn masih tidak menurut.
"Key!" teriak Gaea emosi.
Kervyn akhirnya mau bukan karena takut, tetapi tak suka mendengar teriakan.
"Bagus."
Eryk merasa Gaea yang manis perlahan berubah menjadi seperti lelaki, apakah akibat bermain dengannya dan Rainer?
"Berjabat tangan dan minta maaf," kata Gaea.
Eryk dan Kervyn melirik satu sama lain, sebelum membuang muka kemudian.
"Tidak perlu," kata mereka bersamaan.
"Aku nangis nih, iya?" Gaea mengancam yang membuat Eryk dan Kervyn panik, jika Gaea menangis seluruh kepolisian akan menasihati mereka berdua.
Eryk dan Kervyn melirik satu sama lain lagi, sebelum kemudian saling mengulurkan tangan mereka dan menjabat tangan sambil berkata, "Maaf."
Gaea bertepuk tangan.
Eryk mengembuskan napasnya.
***
Flashback Selesai
***
"Eryk—"
"Hu—h?" Eryk membuka perlahan matanya yang terasa berat.
"Eryk—"
"Hm—" Eryk mengedipkan matanya agar pandangan matanya fokus, "Ferdinand?"
Ferdinand mengangguk, "Kita sudah sampai di rumah."
Eryk menguap kecil, dengan kesadaran yang masih belum pulih sepenuhnya, berjalan memasuki rumahnya lambat.
"Selamat datang," Gaea menyambut dengan senyuman yang lebar.
"Kau," Eryk bergumam; kenapa wanita itu mengusik mimpinya? Sudah cukup di dunia nyata ia tersiksa akan sifat keras kepala Gaea.
"Kau terlihat lelah," kata Gaea setelah memperhatikan Eryk.
Eryk menaikan sebelah alisnya, "Daripada membicarakan aku lebih baik bersiap-siap."
Mata Gaea melebar, "Bersiap-siap?"
Eryk mengangguk, "Kau akan latihan menembak atau memanah sekarang."
"Kesepakatan kan besok bukan sekarang!" kata Gaea panik, sejak tadi belum terpikir sama sekali, asyik makan dan nonton film bersama Alex dan Bintang.
"Beruntung, aku tak peduli. Kau ikut denganku sekarang," kata Eryk dingin.
Gaea ingin berkata lagi tetapi, Eryk sudah mengangkat tubuhnya, menaruhnya di bahu bagian kiri Eryk seperti memanggul beras, "Apa yang kau lakukan!? Hey, Tuan Muda lepaskan!" serunya sambil memukul-mukul punggung Eryk.
Eryk tak peduli, terus berjalan, mengangkat Gaea hitung-hitung pemanasan.