Sebenarnya aku hanya ingin menyimpan kenangan-kenangan indah tetapi entah kenapa kenangan buruk menyusup dengan sendirinya. Mungkin inilah tanda bahwa rasa sakit merupakan tanda bahwa kamu hidup.
🍀🍀🍀
"Kamu juga suka menulis di buku harian?" tanyaku pada Aidan karena sedari tadi dia lama memandang ke arah deretan berbagai macam model buku diary di rak buku.
Dia menggeleng pelan, "Ibuku yang menyukainya. Dia dulu seorang penulis, dia sering membawa buku harian miliknya kemanapun dia pergi. Katanya siapa tau akan ada kenangan menarik yang seharusnya dia ingat. Dari situlah dia sering mendapatkan ide."
Aidan pasti sangat menyayangi ibunya yang sudah meninggal. Meskipun Aidan tidak pernah bercerita dan mengatakan padaku bahwa ibunya telah meninggal tapi aku tau dari Bibi Aitria. Aidan pasti tau, aku mengetahui hal ini, karena aku dekat dengan Bibi Aitria. Bibi Atria tidak bercerita banyak, dan hanya mengatakan padaku bahwa kakaknya, yang merupakan Ibunya Aidan sudah meninggal dan karena itulah Aidan ingin pindah kesini, ke tempat masa kecil ibu yang dia rindukan.
"Kamu pasti sangat merindukan ibumu," ucapku.
Aidan hanya tersenyum. Semenjak tadi Aidan seperti sedang menahan sesuatu. Entah apa yang dia tahan, dia tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Saat tadi dia bilang dia benci hujan, sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut tetapi aku tidak bisa. Sepertinya hal ini sangat sensitif baginya, karena sejak hujan turun di pagi hari dia sudah tampak berbeda. Dan barulah tak lama kemudian saat hujan sudah reda, Aidan mengajak aku mampir ke toko buku sebelum pulang ke rumah. Entah apa yang akan dia beli, sedari tadi dia terus memandang ke arah susunan buku harian di rak buku.
"Kamu mau beli canvas untuk melukis?" tanya Aidan, mengalihkan lamunanku tentang dirinya.
"Iya, karena sudah sampai sini jadi sekalian aja beli canvas sama cat juga sih."
"Kamu suka menulis keseharianmu di buku harian?"
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan Aidan, "Yah, aku hanya menulis di buku diary saat ada kejadian yang menurutku spesial dan harus selalu diingat."
"Kenapa kamu menulis kenangan itu? Bukanya kalau kenangan itu sangat mengesankan, maka akan kamu ingat dalam waktu lama, tanpa kamu tulispun kamu pasti mengingatnya."
Aku tersenyum, "Kenangan itu akan bertahan lama jika kamu menulisnya. Saat kamu sudah tua dan menjadi pikun kamu masih bisa merasakan kenangan itu meskipun kamu susah mengingatnya. Dan kenangan yang ditulis akan bertahan meskipun pemilik kenangan itu telah tiada. Jadi suatu saat nanti masa dimana kamu yang telah tiada dan ada yang merindukanmu. Saat itu setidaknya masih ada peninggalan kenangan darimu yang dia miliki. Sehingga saat dia merindukanmu dia akan bisa merasakan kehadiranmu. Bukankah begitu?"
Aidan menatapku, sedikit mengerutkan kening dan menggeleng pelan, "Kamu ternyata lebih melankolis daripada yang aku kira".
"Ini bukan melankolis," tegasku, "sejak dahulu kan banyak manusia yang berusaha untuk menyimpan kenangan. Bahkan zaman dahulu ada prasasti kan. Sebelum mengenal fotografi, manusia mengabadikan kenangan dengan lukisan."
Aidan tertawa kecil dan di mataku dia terlihat sangat mengesankan. Aku ingin mengabadikan kenangan ini. Dengan tulisan, lukisan dan foto, namun sekarang ini yang bisa aku lakukan adalah merekamnya dalam ingatan di otakku.
Apakah mungin, hanya dengan melihat seseorang tertawa seperti ini bisa membuatmu seperti sudah menguasai dunia?
Apakah manusia dapat menjadi sangat serakah seperti ini?
"Oooh... jadi alasan kamu melukis juga karena ingin mengabadikan semua kenangan yang kamu miliki. Begitukah?" tanya Aidan sambil tersenyum.
"Yah, sebenarnya itu bukan tujuan utamanya tapi itu menjadi salah satu alasannya. Aku memang suka melukis. Karena dengan melukis, perasaan kita bisa menjadi sesuatu yang dapat dilihat dengan berbagai makna."
"Maksudnya?" tanya Aidan mengerutkan dahinya
"Lukisan sekilas memang terlihat sama di mata semua orang tetapi cara mereka memahami atau memaknainya berbeda. Lukisan buah apel tidak hanya dapat bermakna buah, tetapi juga dapat bermakna kebahagian dan perasaan cinta. Tergantung bagaimana seseorang memberikan penilaian dari sudut pandang mereka masing-masing"
Aidan hanya mengangguk beberapa kali. Aku manatap anak laki-laki yang penuh dengan misteri di depanku ini. Dia sedang tampak serius, melihat kembali susunan buku diary di rak buku. Ada perasaan aneh di dalam diriku yang tak tau harus ku sebut dengan apa. Aku ingin lebih dekat dan mengenal anak laki-laki ini. Seakan semua yang melekat pada dirinya menjadikan dia sebagai gravitasi bagiku, menuntunku untuk mengarah padanya.
"Lalu apa yang kamu sukai? Jangan bilang yang berhubungan dengan keonaran karena itu sama sekali nggak keren," tanyaku karena tak mampu untuk menahan rasa penasaran padanya.
Dia tertawa kecil, "Hahaha... meskipun itu bukan sesuatu yang terlalu ku sukai sebenarnya itu sedikit menyenangkan. Kau tau, sepertinya lelaki memang terlahir untuk berbuat onar. Tapi untuk informasi saja, sebenarnya aku suka membaca buku."
Aku terkejut. Dia dan buku? Ini kejutan yang tak pernah terpikirkan olehku. "Hah?! Beneran?"
"Yah, aku banyak membaca berbagai genre buku novel di rumah. Kau kan tau Bibi Aitria bekerja di tempat penerbitan."
"Iya, aku melihat banyak buku di rumah kalian tapi aku tidak tau kalau kamu tertarik untuk membaca buku-buku itu. Kenapa kamu suka membaca buku?"
"Saat aku membaca buku, aku seolah bisa menjadi orang lain. Menjadi tokoh utama, mengenali dan terhanyut di dalamnya. Tersenyum atau bahkan terharu tapi saat mencapai bagian akhir cerita, meskipun mungkin akan ada kebahagiaan. Tetap saja akan ada kehampaan karena perasaan ditinggalkan dari berakhirnya cerita, hanya bisa membayangkantokoh yang ada dalam buku akan menjadi seperti apa."
"Cerita berakhir karena hanya dari situlah cerita menjadi indah. Tidak ada sesuatu yang benar-benar abadi, termasuk kebahagiaan. Bukankah begitu?"
Aku mengerti apa yang Aidan maksud karena aku juga menikmati membaca. Saat membaca buku novel aku menjadi bersemangat untuk mengetahui akhir cerita tetapi saat cerita benar-benar berakhir aku merasakan kehampaan, mungkin karena aku belum siap untuk berpisah dengan para tokoh.
"Mbak catnya sudah saya temukan tapi tolong mbaknya ikut saya sebentar bisa kan. Soalnya saya sedikit kurang tau mana cat yang mbak cari," ucap suara dari penjaga toko memaksa aku untuk beranjak pergi dari Aidan.
Aidan berjalan ke arah rak lain dan aku mengikuti penjaga toko ke arah gudang untuk mencari cat yang aku butuhkan.
Mungkin saat ini aku sudah terbiasa berangkat dan pulang sekolah bersama Aidan. Kadang alam bisa menjadi tidak adil, atau mungkin aku yang merasa kalau alam menjadi tidak adil. Ternyata waktu itu juga bisa menjadi sangat aneh. Waktu yang kuhabiskan sendiri terasa sangat lama sedangkan waktu ku habiskan bersama Aidan terasa begitu cepat.
Aku menghirup udara sore yang baru saja diguyur hujan, terasa sangat segar membasahi indra penciumanku. Suara gemericik air yang mengalir disungai dibarengi suara samar langkah kaki kami, mebuat aku ingin merekam kenangan ini. Kenangan yang tidak hanya ingin aku ingat dalam bentuk tulisan, lukisan atau foto, tetapi juga dalam bentuk ingatan. Ingatan yang akan bisa terus aku lihat kapan pun dan dimana pun. Kenangan yang ingin aku buat abadi dan aku bagi kepada semua orang, tetapi juga ingin ku nikmati untuk diriku sendiri saja.
"Jadi... kenangan yang kamu tulis di buku diary itu..." Aidan memecah keheningan tanpa kecanggungan diantara kami dengan suara ragu-ragunya. "Apakah aku pernah ada dalam kenangan itu?" tanyanya dengan suara lirih yang justru mirip gumaman.
Saat ini aku tidak bisa tidak menatap matanya. Aku ingin tenggelam ke dalam hitam matanya, menyusup dalam ingatan dan perasaannya.
Aku pun juga ingin tau.
Apakah aku juga pernah ada dalam kenangan yang tidak akan pernah kamu lupakan, Aidan?.