Chereads / Mawar Biru / Chapter 15 - Harus Jujur

Chapter 15 - Harus Jujur

Katanya kejujuran itu, merupakan hal yang benar. Kita harus selalu jujur, kepada semua orang tentang semua hal. Hal ini mungin benar, tetapi kadang aku berpikir. Kebohongan yang bertahan lama pun dapat dipercayai sebagai kebenaran. Lalu, apakah ini berarti kebohongan memiliki lapisan tipis yang memisahkannya dari kejujuran?.

🍃

Februari 2015

Kasih sayang. Sebuah perasaan yang diberikan untuk orang yang berharga. Begitu pentingnya 'kasih sayang' bahkan ada hari khusus untuk mengingatkan kita tentang indahnya perasaan itu. Padahal asal mula hari 'kasih sayang' dipenuhi dengan cerita tragedi, berasal dari penderitaan. Mungkin itu pertanda bahwa perasaan kasih sayang yang kita berikan terkadang dapat membawa penderitaan, tetapi itu bukan berarti kita harus berhenti memberikan perasaan kasih sayang kepada orang yang berharga.

Aku mengamati semua meja yang ada di kelas, hampir semuanya penuh dengan hadiah dan coklat. Tak terkecuali meja milik Aidan dan teman-temannya, sudah dipastikan penuh dengan hadiah yang menggunung. Aku pun bisa dibilang menjadi salah satu penyebabnya. Aku juga dapat beberapa hadiah, tapi aku tidak begitu bersemangat.

Semua orang sedang sibuk dengan hadiah mereka masing-masing. Bahkan ada juga yang sedang menyanyikan lagu untuk menyatakan perasaannya. Untungnya, hari ini kita diberi kelonggaran saat jam istirahat oleh para guru, kalau tidak pasti mereka akan mendapat hukuman karena berisik. Lorong kelas, bahkan lapangan yang biasanya sepi sekarang sedang penuh dengan manusia. Matahari pun, juga ikut bersemangat memancarkan cahayanya, menambah suhu bumi menjadi semakin panas, mungkin sore nanti gantian hujan yang akan turun menumpahkan beban beratnya.

Katherin sedang sibuk dengan Roy, sedangkan temannya yang lain sibuk dengan hadiah mereka masing-masing, termasuk Aidan yang sepertinya sedang duduk diam memandangi semua hadiahnya. Entah apa yang dia pikirkan, raut mukanya tak bisa ku tebak. Sejak aku menyadari rasa sukaku padanya, kebingungan terus mengisi pikiranku. Kita tetap bisa seperti biasanya, tetapi hatiku lama kelamaan tak siap menghadapi. Aku ingin mengungkapakan perasaanku, tetapi aku takut hubungan kita akan berbeda, aku takut dia akan memintaku melupakan, seperti yang dia lakukan pada kak Lisa.

Aku berjalan keluar dari kelas, menuju ke arah kebun belakang sekolah dimana merupakan satu-satunya tempat yang terhindar dari kebisingan. Aku ingin mencari udara segar dan meluruskan pikiranku yang sedang kacau.

"Mau kemana?" tanya Ando yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.

"Kabur, aku mau menghindar dari semua kebisingan ini."

"Aku ikut, dari tadi aku juga sudah tidak tahan."

Aku menatap Ando dengan heran, aku tidak bisa percaya dia terganggu dengan hal seperti ini. Bukankah dia ahlinya dalam hal seperti ini? Pacarnya saja banyak.

"Kenapa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Ando mengerutkan keningnya.

Aku tersenyum, mencoba untuk menyembunyikan ketidak percayaanku padanya. "Jadi kita mau kemana?"

"Ayo ikut aku, aku tau tempat yang bagus, tapi kita harus berjalan cukup jauh. Buruan!."

Ando langsung berjalan mendahului aku, sepertinya dia sangat bersemangat untuk menunjukkan tempat itu. Kita berjalan ke arah lapangan sekolah, melewati jalan samping gedung di belakang lapangan yang dipenuh rumput-rumput yang menjulang tinggi. Aku ingin protes, tetapi aku penasaran dengan tempat yang dimaksud oleh Ando. Setelah berjalan cukup lama, Ando berhenti di bawah bukit kecil. Bukit ini terlihat tidak terlalu curam dan tinggi.

"Kita harus naik ke atas bukit supaya bisa melihatnya," kata Ando, melirik ke arahku sambil bersiap untuk naik ke atas bukit.

"Baiklah aku menurut, awas saja kalau kamu bohong. Kalau tempat itu tidak bagus, jangan harap aku akan percaya padamu lagi," celetukku.

"Sepertinya kamu harus belajar untuk tidak selalu menaruh curiga pada semua orang."

"Aku tidak mencuragai semua orang, aku hanya curiga padamu," celaku.

Ando mendengus pelan dan mempercepat langkahnya menuju ke atas bukit, sepertinya dia mulai jengel padaku. Aku terus mengekor di belakangnya, setia mengikuti langkah kakinya. Hembusan angin semakin kencang, membelai kulitku dan merusak tatanan rambutku, tetapi udara segar dan teduh yang menyeruak membawa rasa damai dan tenang. Benar, tempat ini indah. Bahkan, sebelum aku dapat mencapai puncaknya.

"Ini dia, kita sudah sampai." Ando mengatur nafasnya dan terpaku menatap ke depan.

Aku naik beberapa langah dan berdiri di samping Ando mengikuti arah pandangannya. Semua indraku tidak bisa bohong. Semua indraku pasti mengakui ini dengan benar. Tempat ini benar-benar sangat indah. Aku berpikir mungkin inilah surga yang disembunyikan dalam bumi yang fana. Di bawah sana terdapat hamparan luas warna-warni bunga, tidak hanya satu jenis bunga tapi beberapa jenis. Aku tidak begitu tau bunga apa saja yang ditanam disana. Bunga yang sedang mekar penuh memamerkan warna indahnya. Pemandangan ini persis seperti taman bunga yang pernah aku lihat di televisi. Kumpulan bunga dengan warna yang sama ditata rapi memanjang, begitu pula di sampingnya, namun dengan warna yang berbeda dari yang sebelumnya. Baris pertama merah, lalu pink ,kuning, putih dan beberapa warna yang lainnya. Hembusan angin membawa pergi kelopak-kelopak yang telah layu, bertebangan di atasnya, warnanya saling bercampur. Itulah yang membuat pemandangan menjadi semakin indah.

"Oke, kali ini kuakui kamu tidak berbohong." Aku menatap Ando dan menyinggungkan senyum terbaikku.

"Kau tau,"ucap Ando, "kita menemukan ini secara tidak sengaja."

"Kita?"tanyaku bingung.

"Tentu saja kita berempat."

Mereka berempat?. Aku terkejut, perkataan tadi terdengar seperti bukan mereka.

"Saat itu kita sedang ingin bolos bersama, lalu tidak sengaja bisa sampai sini dan menemukan tempat ini. Begitu melihat tempat ini, Roy bilang dia ingin menunjukkannya kepada Katherin. Kau tau kan saat kemarin Roy bilang mau menunjukkan Katherin sesuatu, sesuatu itu ya tempat ini." Ando tesenyum dan menggeleng pelan.

Aku menganggukkan kepalaku beberapa kali sebagai respon, karena aku masih tidak menyangka kalau Roy merupakan seseorang yang romantis. Pantas saja Katherin seperti perangko yang selalu menempel padanya. Aku mengira Roy merupakan seseorang yang dingin dan sulit untuk mengungkapakan perasaannya, karena dia memang selalu dingin kepada semua orang, termasuk kepadaku dan temannya. Dia cuma berbeda dan terlihat hangat saat dengan Katherin, mungkin Katherin memiliki bakat mencairkan hati yang terbuat dari es batu.

"Aku tidak menyangka Roy merupakan orang yang seperti itu, ku kira dia kesulitan mengungkapkan perasaannya, dia cocok sekali dengan Katherin yang humble dan berkepribadian menyenangkan," kataku.

"Perasaan itu memang seharusnya diungkapkan, karena kita kan tidak ada yang tau isi hati orang lain. Kalau tidak diungkapakan, lama kelamaan itu akan tenggelam tapi tidak akan pernah hilang. Lalu suatu saat dimasa depan semuanya akan kembali muncul menuntut untuk diselesaikan."

Aku kembali menatap Ando tepat di bulat coklat matanya, di sana aku melihat kesedihan. Mata yang biasanya selalu menampilkan kebebasan, sekarang seperti terkekang kesedihan. Dia terseyum seadanya, menurunkan pandangan ke bawah, memandangai kakinya yang berpijak di tanah.

"Kau tau, aku pernah melakukan itu, memendam perasanku sendirian saat orang tua ku bercerai. Sekarang lihatlah aku, kacau. Percayalah, semua anak yang terlihat baik-baik saja dari perceraian kedua orang tuanya sebenarnya tidak baik-baik saja." Ando kembali melihat ke arah taman bunga.

Saat aku mendengar perkataan Ando rasanya sekarang aku bisa melihat sisi lain darinya, dia selalu terlihat bahagia tetapi nyatanya tidak seperti itu. Mungkin semua yang dia lakukan selama ini merupakan usahanya agar dia tidak merasa kesepian.

"Kau tau... sekarang rasanya aku sedikit menyukaimu." Aku meninggungkan senyum terbaikku padanya. "Kau terlihat sedikit dewasa saat ini."

Dia membalas senyumku lalu mengalihkan pandangan ke arah taman bunga kembali, "Kamu suka tempat ini?"

"Hanya orang gila yang tidak menyukainya."

Hembusan angin terasa semakin kencang, membawa hawa dingin. Sepertinya kita sudah menghabiskan banyak waktu disini, lebih baik kita kembali sekarang sebelum bel masuk berbunyi.

"Ayo kita kembali, sepertinya sebentar lagi bel masuk." Aku berbalik dan melangkahkan kaki menuruni bukit.

Ando mengikuti ku turun, aku bisa mendengar langkah kakinya di belakangku.

"Saran dariku," tegas Ando "kamu pun harus melakukannya pada perasaanmu. Kamu juga harus jujur."

Perkataan Ando membuatku langsung diam ditempat, menghentikan langkahku.

Jujur? Apakah itu merupakan hal yang benar? Apa dengan aku menyatakan perasaanku semuanya akan berjalan sesuai yang aku inginkan?

Aku juga berharap semuanya akan baik-baik saja, tetapi aku belum atau bahkan tidak pernah siap. Mengungkapkan perasaan ini.