Chereads / Mawar Biru / Chapter 13 - Finding Hope

Chapter 13 - Finding Hope

Jika sesuatu sudah berkembang dan menjadi kuat. Lalu apakah mudah jika aku ingin menghilangkannya?. Kamu harus tau. Meskipun waktunya singkat tetapi jika sesuatu sudah menjadi kuat tidak mudah untuk menyingkirkannya.

๐Ÿƒ

Keadaan pagi ini dimulai dengan kerusuhan, hampir semua orang sedang sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti acara lomba di hari peringatan aniversary sekolah. Tak terkecuali aku, yang semakin tak tenang meskipun seminggu ini aku sudah berlatih membiasakan diri untuk berlari. Jarak lari estafet kali ini bisa dibilang cukup panjang.

"Teman-teman hari ini kita tidak ada kegiatan belajar seperti biasanya, karena acara aniversary sekolah yang di selenggarakan hari ini. Jadi hari ini, setiap kelas diharapkan memanfaatkan kesempatan untuk berpatisipasi dalam setiap lomba yang diadakan. Sekarang semuanya segera berganti seragam olahraga, setelah itu kita berkumpul di lapangan." Ketua kelas yang sedang menyampaikan pengumuman di depan kelas membuat mood ku langsung berubah buruk.

Setelah berganti seragam olahraga, aku dan Katherin berjalan bersama ke lapangan.

"Aku benci berlari. Bagaimana kalau kita kalah gara-gara aku?" gumamku.

"Kamu nggak boleh mengeluh begitu dong. Kamu harus ikut berpatisipasi dalam perlombaan, biar semuanya ambil adil dalam kegiatan lomba ini." Katherin melihat ku dengan tatapan heran karena sedari tadi aku hanya mengeluh.

"Aku kan bisa melakukan hal lain. Aku bisa bermain bulu tangkis," kataku mencoba membela diri.

"Cuma bisa dengan benar-benar bisa itu berbeda. Kalau kamu yang bermain bulu tangkis, kamu mungkin juga bisa kalah."

"Setidaknya kalau bulu tangkis aku melakukannya sendiri, jadi kalau aku kalah kekalahan hanya milikku sendiri. Sedangkan kalau aku ikut lari estafet dan aku yang tidak bisa berlari dengan baik, itu akan berefek pada seluruh tim. Kesalahanku bisa menjadi kekalahan bagi orang lain."

Katherin menggeleng dan menatapku heran. "Kamu terlalu banyak berpikir."

"Bum." Tepukan pundak secara tiba-tiba dari seseorang berhasil mengagetkan aku.

Aku melihat ke samping dan ternyata seseorang itu adalah Ando. "Ando! Kaget tau!!."

Ando tertawa kecil. "Semangat dong. Kita satu tim kan, kalau ada aku pasti semuanya akan menjadi baik-baik saja."

"Jangan percaya dengan Ando, dia itu pembawa sial." Roy berjalan ke arah Katherin dan langsung merangkul pundaknya.

"Syirik aja kamu Roy," sahut Ando tak mau kalah.

Roy mengabaikan Ando berbalik menatap Katherin. "Kita duluan aja yuk. Ada yang mau aku tunjukkan."

"Apaan?." Katherin tersenyum malu dan tidak mampu menyempunyikan semburat merah di pipinya.

"Udah yuk ikut aja."

Bahkan sebelum Katherin sempat menjawab, Roy sudah memegang tangannya dan berjalan memecah keramaian di lorong.

"Pagi-pagi mereka sudah pacaran, aku kan jadi kangen sama pacar-pacar ku," gumam Ando dengan nada kesal.

"Pacar-pacar...!" seruku, tak habis pikir dengan apa yang dikatakan oleh Ando. Sepertinya urat malu Ando sudah tidak ada lagi.

"Kalau bisa banyak, kenapa harus satu saja?."

"Iya deh terserah, susah ngomong sama tembok."

"Bagi satu aja, Ndo." Risky tiba-tiba muncul dan langsung meminta pacar. Apa yang terjadi dengan anak ini?.

"Juara kelas itu fokus belajar aja. Jangan sampai nanti kamu terkontaminasi dengan kehidupan percintaan," celetuk Ando pada Risky.

"Risky..." panggil ketua kelas, segera membuat Risky reflek berjalan dengan cepat kearahnya seolah dia tau kalau itu merupakan panggilan tugas. Risky yang menjadi wakil ketua sekaligus panitia menjadi sangat sibuk karena menyiapkan acara aniversary sekolah.

Ando mendekat padaku dan merangkup pundakku, mendekatkan tubuhku padanya. "Semangat dong! Nanti kalau kita menang, aku traktir beli milkshake stroberi."

"Udah janji, nggak boleh berubah pikiran ya," kataku, mulai sedikit bersemangat berkat perkataan Ando yang akan membelikan aku milkshake stroberi.

"Iya beneran,mana pernah aku bohong."

"Sering, tau nggak!" seruku. Aku dan Ando tertawa, karena kita tau bahwa Ando ini merupakan manusia yang penuh dengan janji manis.

Kami bercanda di sepanjang perjalanan menuju ke lapangan. Mungkin ini alasan Ando bisa punya banyak pacar karena dia memang ahli dalam mendekati cewek. Kalau aku tidak tau, bisa-bisa aku tertipu. Saat sampai di tepi lapangan aku tak sengaja melihat Aidan, yang juga sedang memperhatikan aku dan Ando. Setiap kali aku melihat dia aku teringat kejadian kemarin. Aku mencoba untuk bersikap biasa saja, tetapi entah kenapa aku merasa tidak tenang.

Saat kami sudah dekat dia meraih pergelangan tanganku menjauhkan aku dari Ando. "Jangan dekat-dekat dia, nanti kamu ketularan."

Ando berdecak marah. "Ya ampun. Memangnya aku ini virus penyakit mematikan?!."

"Iya... apa itu yang anak-anak bilang?." Aidan melirik ke arahku mencari bantuan.

"Virus patah hati." Aku tertawa merasa sekit aneh juga dengan julukan Ando yang diberikan oleh anak-anak.

Ando terlihat bingung dan menggumamkan sesuatu. Mungkin dia masih belum paham kenapa dia bisa diberi julukan penyebar virus patah hati.

Aidan mendekat ke arahku dan membisikkan sesuatu. Aku sempat ingin menghindar saat dia mencoba mendekat, tetapi tubuhku malah mematung. "Ku beri tau satu tips supaya kamu bisa berlari dengan cepat. Saat kamu nanti berlari, pikirkanlah sesuatu peristiwa yang ingin kamu lupakan dan membuatmu ingin berlari sejauh mungkin dari masalah tersebut. Anggaplah kamu sedang berjuang untuk menjauh dari hal yang mengganggumu, saat itulah mungkin kamu bisa berlari lebih cepat."

Aku memandangi Aidan cukup lama. Apa dia bersungguh-sungguh? Kenapa dia bisa berpikir seperti itu? Apakah selama ini dia suka berlari karena sedang menjauh dari sesuatu?. Banyak pertanyaan muncul di dalam pikiranku. Dia mengusap kepalaku kemudian pergi bergabung dengan teman yang lain.

Aku berada di urutan ketiga dari empat pos dalam kelompok lari estafet. Di pos empat terdapat Ando yang memiliki kemampuan berlari terbaik. Aku terus berpikir tentang tips dari Aidan tadi, sepertinya aku harus benar-benar menerapkannya. Saat tongkat estafet sudah aku pegang, segera aku berlari memecah udara. Aku memikirkan kejadian kemarin dan mencoba berlari menjauh, mengabaikan sekitar dan terus berlari. Setelah sampai di pos empat, aku segera menyerahkan tongkat kepada Ando. Seakan aku menyerahkan masalah ku, dan berharap masalah itu menghilang dariku. Kemudian, tidak diragukan lagi, berkat kemampuan berlari dari Ando kelompok kita bisa meraih kemenangan. Sorak-sorai dan tawa bahagia menjadi latar belakang musik di telingaku. Dari sinilah aku tau, mungkin masalahku benar-benar bisa menghilang karena berlari. Padahal lari dari masalah merupakan hal yang harus dihindari.

Mengapa terkadang kita lebih menyukai sesuatu yang dilarang?

"Ando!! Jangan lupa janjinya," teriakku pada Ando yang dikerumuni oleh banyak pendukung dari kelas kita.

Ando tersenyum lebar dan menunjukkan kedua jempolnya padaku. Aku segera bergabung bersama mereka, ikut merayakan kemenangan.

๐Ÿ‚

Aku berdiri gugup dan terus mengecek jam tangan di pergelangan tanganku. Sudah hampir jam empat sore, sebentar lagi acara pameran lukisan akan segera dimulai. Aku berkali-kali memandang ketiga lukisanku, memastikan sudah terpajang dengan baik karena hari ini kita kedatangan tamu profesor dari salah satu universitas seni terbaik. Penilaian dari dia bisa menjadi acuan bagi kita, para siswa yang ingin melanjutkan kuliah di universitas seni. Oleh karena itulah, aku semakin gugup memikirkan bagaimana lukisanku nantinya akan dinilai.

Hampir setiap hari aku pergi ke halaman belakang sekolah dan lapangan dekat rumahku untuk melukis. Saat aku melukis di dua tempat tersebut, rasanya goresan kuas di canvas menjadi semakin mudah dan ringan. Perlahan studio mulai dikerumuni banyak siswa. Profesor yang didampingi Pak Burhan mengamati satu persatu lukisan kami, kemudian memberikan kritik dan saran untuk lukisan kami. Aku menyembunyikan telapak tanganku yang berkeringat, dan memfokuskan pikiranku saat profesor mengomentari lukisanku. Untungnya, aku tidak mendapat kritikan yang terlalu pedas, meskipun masih banyak yang harus diperbaiki.

Setelah itu, para siswa juga bergantian melihat lukisan yang aku pamerkan. Beberapa temen sekelasku pun juga ikut melihat lukisan milikku.

"Kamu melukis pohon? Kenapa kamu melukis pohon?." Risky memasang wajah heran saat melihat salah satu lukisanku.

"Entahlah, aku hanya berkeinginan untuk melukis pohon."

Aku kembali melihat lukisan pohon milikku. Warna daun pohon yang orange dibalut dengan langit sore bersama semburat bulan yang hampir penuh, hanya satu pohon besar yang tumbuh menjulang tinggi. Aku melukis dengan teknik kering agar cat minyak yang aku gunakan dapat dengan mudah membentuk kesan ruang dan volume. Aku ingin lukisan ini dapat menjadi sedetail mungkin, sehingga saat aku melihatnya, aku akan bisa mengingat moment dimana kenangan itu terjadi. Kenangan yang tak ingin aku lupakan.

"Aku tau pohon ini...aku menyukainya... 'Finding Hope'...." Aidan terus menatap lukisanku dan tersenyum.

Apakah dia benar-benar tau pohon yang aku lukis ini?.

Mungkin saja dia bisa tau, karena itu adalah pohon dimana dia tertidur, saat pertama kali dia menemukan aku di halaman belakang sekolah. Saat itulah aku seperti menemukan harapan. Harapan bahwa supaya pohon itu terus berkembang, seperti perasaan dalam hatiku yang ikut berkembang. Semakin besar dan semakin tinggi, hingga menjadi kuat.