Jika menghapus kenangan, semudah ombak menerjang tulisan di pasir pantai. Maka akan aku serahkan semuanya pada alam untuk menghapus dia dari ingatanku. Akan aku tunggu ombak selanjutnya untuk menghapus dirimu.
🍀🍀🍀
Saat aku terpaku melihat matanya dia pun melakukan hal yang sama. Apa dia mencari sesuatu dalam diriku, sama dengan apa yang aku cari darinya?. Semilir angin bergerak menyentuh daun-daun yang masih basah dari hujan tadi. Daun-daun itu pun akhirnya menjatuhkan air, seperti deraian air hujan pada kami yang berada di bawahnya.
"Ah, apa hujan lagi?" Aidan langsung megarahkan penglihatannya ke atas dan ke segala penjuru untuk mengecek apakah benar hujan turun kembali.
Aku tertawa pelan, mendengar tawaku dia langsung mengalihkan pandangannya padaku kembali.
"Kenapa?" tanyanya terlihat bingung mendengar aku tertawa.
"Tenang, jangan panik... itu cuma daun yang diterpa angin. Tuh lihat diatas," kataku sambil mendongak ke atas.
Aidan mengikutiku mendongak ke atas. "Aku nggak panik cuma nggak suka aja."
Kami yang sempat berhenti, melanjutkan jalan kaki lagi. Pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan Aidan tadi. Tentu saja aku sudah tau jawabannya, tetapi aku tidak ingin memberi tau padanya. Aku bahkan sudah menuliskan kenangan tentang dia, saat baru pertama kali bertemu. Kenangan bersama dengannya selalu terasa menyenangkan karena itulah secara tak sadar aku selalu menuliskan kenangan tentang dia di buku harian milikku.
Aku memandang ke arah punggungnya yang berada di depanku "Itu... rahasia."
Dia berbalik, memandangku bingung. "Apa?"
"Jawaban dari yang kamu tanyakan tadi."
"Aku sudah tau," kata Aidan terseyum dan menaikkan kedua alisnya membuat ekspresi aneh yang sulit untuk ku pahami.
"Sudah tau apa?" tanyaku, tidak bisa menyembunyikan rasa curigaku.
"Rahasia," katanya. Dia kembali menunjukkan senyum jahil miliknya, "Ayo lari!!."
Tanpa basa-basi Aidan langsung berlari lumanyan cepat, padahal aku sangat benci berlari. Kenapa dia suka sekali berlari?
"Yaa!! Tangan kamu belum sembuh," teriakku masih diam, belum bersiap untuk berlari.
"Lari kan pake kaki bukan tangan, buruan!!" Aidan ikut berteriak dan tertawa melihat raut wajahku.
Mau tak mau aku pun akhirnya ikut berlari. Bisa dibilang ini latihan untuk lomba lari estafet nanti. Tawa Aidan semakin bertambah karena melihat aku yang kelelahan. Yah, mungkin sekarang aku tidak terlalu membenci berlari sebesar dulu.
🍀🍀🍀
Aku duduk diam di tepi kasur memandang ke arah keluar jendela kamar tidurku. Angin malam masuk ke dalam menggerakkan tirai jendela, membuat aku melayang ke ingatan tadi siang. Tanpa sadar aku sudah tersenyum lebar. Aku sampai merasa malu saat memandang ke arah cermin dan melihat pemandangan diriku sendiri yang sedang tersenyum lebar. Aku beranjak dari kasur dan menuju ke meja belajarku lalu membuka buku harian miliku. Hari ini tentunya sudah dipastikan bahwa akan masuk dalam kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan, kenangan yang akan aku tulis sebagai pengingat betapa aku pernah merasa sangat bahagia.
Selasa, 02 Desember 2014
Aku kembali melihat kamu tersenyum
Senyum langkanya itu, yang sudah tak ingin aku hitung
Karena aku takut jumlahnya akan sangat sedikit
Hari ini
Kita membicarakan tentang kenangan...
Dan hujan... sayangnya kamu membenci hujan
Aku juga tak begitu menyukai hujan tapi aku tidak membencinya
Aku ingin tau kenapa kamu membenci hujan... Aidan
Saat kamu bertanya tentang kenangan yang tak akan aku lupakan
Aku ingin menjawab bahwa itu kenangan tentangmu, tetapi mulutku tak mampu
Hatiku belum siap karena aku tak yakin...
Apakah nama perasaan ini? Aku benar-benar tak tau....
Tetapi ada beberapa hal yang pasti
Aku menyukai suara air sungai di jalan pulang saat bersamamu
Aku menyukai cara angin membuat rambutmu menari saat kita duduk berdua di taman belakang sekolah
Aku menyukai keheningan tanpa kata diantara kita
Dan aku bahkan paling menyukai senyum yang menghiasi raut wajahmu
Dan yang membuatku bingung...
Aku bahkan tak tau kenapa aku menyukai itu semua...
Aku menutup kembali buku harianku, menyimpannya kembali ke tempat rahasia yang sudah aku tentukan. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku segera menuju ke arah pintu dan membukanya.
"Ayo kita pergi makan. Ibu sama bapakmu belum pulang soalnya," kata Paman tanpa basa-basi langsung mengajak aku makan bersama di luar.
"Bentar aku ganti baju dulu."
"Cepet ya."
Aku langsung menutup pintu kamar tidur dan memilih baju yang akan aku pakai.
Berkat paman Hazan sekarang aku aku bisa tau rasanya menjadi orang ketiga.
Bagaimana bisa dia kepikiran untuk membawa aku ke acara kencannya?
Aku sebenarnya lebih baik membeli makan sendirian daripada harus menjadi orang ketiga semacam ini. Lagi pula aku belum terlalu mengenal pacar pamanku ini. Namanya Kak Fania, dia seorang yang manis dan menyenangkan. Walau baru pertama kali bertemu dia bisa membuat suasana tidak canggung diantara kami. Meskipun aku diantara mereka tapi sepertinya aku menjadi tidak terlihat bagi mereka.
"Jadi... kenapa kak Fania bisa suka sama pamanku?" tanyaku. Pertanyaan ini adalah hal yang sudah ingin aku ketahui jawabannya, saat paman bilang dia punya seorang pacar.
Mereka berdua kompak saling menatap dengan wajah yang sedikit kaget.
"Pertanyaan... macam... apa itu?" jawab Paman, terbata-bata dibaregi wajahnya yang memerah.
Aku menunjukkan senyum terlebarku kepada mereka, mencoba untuk sedikit memberikan tekanan. Aku memang sedikit licik tetapi aku tidak akan meyerah sebelum mendapatkan jawaban.
"Aku suka karena dia baik dan juga tampan?" jawab Kak Fania, yang justru terdegar seperti pertanyaan dengan malu-malu.
"Kenapa jawabannya malah seperti sebuah pertanyaan? Jangan-jangan kakak belum yakin... hahaha." Aku menggoda mereka berdua.
"Nanti kalau kamu sudah lebih besar dan merasakan sendiri. Kamu akan tau dengan sendirinya kok, alasan apa yang dibutuhkan untuk mencintai seseorang," kata Kak Fania sembari tersenyum.
Kata-kata dari Kak Fania membuat aku diam. Mungkin kita memang harus merasakan sendiri untuk tau perasaan itu, kalau hanya sekedar mengetahui dari orang lain itu tidak akan sama.
🍀🍀🍀
Aku lelah sekali. Bagaimana bisa mereka punya rencana untuk berlatih hingga memakan waktu selama ini? Bagaimana mereka bisa tega untuk membuat aku berlatih berlari dari pagi sampai hampir tengah hari?.
Terlebih lagi aku harus mengambil setengah dus air minum di kelas sendirian. Aidan yang katanya tadi mau menemani aku juga telah menghilang entah kemana, katanya tadi pergi ke toilet sebentar tapi kenapa dia lama sekali. Setelah cukup lama aku menunggu di kelas, akhirnya aku memutuskan untuk pergi duluan ke lapangan saja, siapa tau kita akan bertemu di lorong sekitar kelas. Setelah cukup lama aku berjalan, samar-samar aku mendengar suara, padahal suasana sedang sepi karena banyak murid kelas sedang berlatih di lapangan sekolah dan gedung olahraga. Setelah aku melayangkan pandangan ke seluruh ruangan, aku bisa melihat Aidan dengan seseorang di dalam ruangan kelas.
Mereka hanya berdua saja dan setelah aku menatap cukup lama ke arah mereka, akhirnya aku bisa memastikan sesuatu. Perempuan yang bersama Aidan itu adalah Kak Lisa, salah satu murid perempuan tercantik di sekolah. Dia juga merupakan siswa yang berprestasi dalam bidang menyanyi dan menari.
Ada urusan apa Kak Lisa dengan Aidan?.
Aku berniat mendekat untuk memanggil Aidan, tetapi akhirnya aku malah mendengar sesuatu yang tidak seharusnya aku dengar. Kata-kata dari Kak Lisa mampu membuatku berdiri mematung karena kaget. Aku langsung menyembunyikan diri dan mencoba mengatur napas.
Apakah perasaan sedih dan marah dapat bercampur menjadi satu? Kalau bisa, apakah nama dari perasaan ini?.
Aku mendengar langkah kaki mereka yang mulai mendekat, saat itulah aku juga mulai melangkahkan kakiku menjauh supaya aku tidak ketahuan jika sedang menguping. Aku langsung mengambil beberapa langkah lebar dengan hati-hati dan untungnya aku bisa sedikit menjauh dari mereka.
"Elena," panggil Aidan.
Aku berusaha mengatur ekspresi wajahku dan berbalik menatap Aidan.
"Loh? Aidan kamu masih disini? Aku kira kamu sudah kembali ke lapangan," kataku sambil tersenyum. Aku sedang berusaha menyembunyikan rasa gugup yang melandaku.
"Belum, aku baru mau kembali sekarang," jawab Aidan.
"Hai Elena," sapa Kak Lisa tersenyum padaku.
"Ah, iya kak," jawabku ikut tersenyum. Aku masih bingung dan gugup harus bereaksi seperti apa.
"Yaudah aku duluan ya," kata Kak Lisa menatapku lalu beralih menatap Aidan dan segera pergi ke arah yang berlawanan dengan kami.
Aidan mulai berjalan di depanku. Aku masih sedikit bingung dengan situasi ini. Aku menatap ke arah punggung Aidan, bertanya-tanya, dalam kepalaku masih dipenuhi dengan perkataan dari Kak Lisa kepada Aidan tadi.
Aidan tiba-tiba berhenti dan tanpa menghadap ke arahku dia berkata dengan tegas. "Aku tidak peduli kamu mendengarnya atau tidak... tapi lupakanlah."
Lupakan? Apakah dia semudah itu melupakan sesuatu seperti itu? Kalau itu aku, apakah kamu juga memintaku untuk melupakannya?.