Chereads / GRAY 'Let Me tell You First' / Chapter 2 - Tyo Sapta Wardana

Chapter 2 - Tyo Sapta Wardana

"Kenapa sih muka lu bete amat"komentar Juliana heran. Gadis bertubuh tinggi langsing itu duduk di depan Andin yang kini memaksakan senyum. "Lagi dapet ya?"

"Ck nggak kok."sanggah Andin. "Gue insomnia berhari-hari gara-gara writers block. Bingung mau ngelanjutin ceritanya jadi gimana."gadis itu mengeluh frustasi.

"Cerita soal cinta pertama lu waktu SMA?"Juliana memastikan.

Andin mengangguk lemah.

"Lu belum nentuin endingnya?"

"Karena cerita itu hampir 90% real gue jadi bingung harus gimana. Berakhir apa adanya atau gue rubah sekalian. Kalau dirubah sekalian takutnya nggak nge-feel. Tapi kalau apa adanya gue takut diprotes yang baca. Kemaren aja udah pada neror minta ending yang mereka mau."

" Tapi kan itu cerita lu. Terserah lu itu mah.

Andin mengangguk lemah. "Teorinya sih gitu."

"Jadi lu kepikiran itu terus jadi insomnia?"

"Ya nggak cuman gara-gara ini aja sebenernya."Andin terdiam sebentar. "Jul."

"Ape?"

"Di dunia nyata, cinta itu beneran ada nggak sih?"tanya Andin merenung.

Julaian menerjapkan mata. "Ada kali."jawabnya tanpa minat.

Andin menyeringai, lalu meraih gelas kopi lalu meneguknya banyak-banyak.

"Ini bocah gimana sih lu insom tapi minumnya kopi."omel Juliana menunjuk gelas ice coffe milik Andin yang kini hampir habis.

"Ini gara-gara gue masih ngantuk tapi harus mikir."gerutu Andin. Di samping kopi ada buku tulis tebal yang dibuka lebar. Dari halaman yang terbuka bisa dilihat tulisan tangan Andin yang agak berantakan.

Sore itu Andin baru selesai praktikum di lab untuk penelitian pendahuluan tesis dan langsung ke cafe. "Gue hampir dimarahin laboran waktu ketauan nguap di lab biokim."keluh Andin. "Melotot-melotot gitu mbaknya."

"Sapa suruh sih ambil topik penelitian yang ada biokimianya? Udah tau laborannya macan."Juliana mengambil gelas kopi Andin dan menyesapnya.

"Kalau aja dosbing gue bukan Pak Angga kagak bakalan deh."Andin bergidik sendiri kalau teringat dosbingnya yang botak dan punya banyak tuntutan itu. "Lu sendiri gimana? katanya kemaren media kultur lu kontam?"

Juliana memasang wajah sedih."Iya... Kayaknya sterilisasinya salah deh. Alatnya yang ngaco."

"Jangan salahin alat. Itu mah lo-nya aja yang..."Andin menghentikan kalimatnya karena bahunya ditepuk pelan dari belakang. Gadis itu menoleh dan mendapati seorang pemuda berpostur tinggi tegap yang tersenyum lebar menyenangkan. Andin melebarkan mata karena bingung kenapa pemuda itu ada di café ini.

"Ayo balik! Gue disuruh Satya jemput lu sekalian kalau gue pulang. Katanya dia masih ada kerjaan."jelas pemuda itu sebelum ditanya.

Juliana yang bingung, menatap Andin dan pemuda itu bergantian.

Andin cemberut sambil membereskan barangnya yang masih ada di atas meja. "Padahal kalau Satya nggak bisa jemput gue bisa naik ojol. Kenapa juga lu mau sih disuruh-suruh Satya? Rumah sakit lu kan jauh dari daerah sini. Musti muter kan?"Andin tidak tahan untuk mengomel.

Pemuda itu menyibak poninya ke belakang."Satya nggak tega mungkin. Kan udah janji jemput."katanya memberi alasan.

"Tapi teganya sama elu ya sama aja."Andin masih tak terima.

"Ya gimana, gue orangnya baik sih."pemuda itu cengengesan. "Eh ini temen lu Ndin?"Dia menatap Juliana, mengalihkan pembicaraan.

Juliana langsung duduk tegak dan mengulurkan tangan yang disambut ramah pemuda itu. "Juliana."katanya dengan suara anggun,

"Gue Tyo. Cowok ganteng, baik hati dan tidak sombong."balas cowok itu sambil melepas tangannya. "Cowok ganteng ini ngajak Andin balik dulu ya, takut diamuk abangnya nih."

"Oh iya,"Juliana tersenyum semanis mungkin. Dengan rahang tegas, hidung mancung dan senyum menyenangkan, Juliana mengakui kalau ketampanan Tyo memang diatas rata-rata.

"Jul sorry gue balik dulu ya,"Andin mengendong tasnya, merasa nggak enak hati meninggalkan Juliana yang masih bengong.

"Dah... Ti ati sist..."Juliana tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya.

Andin membalas lambaian Juliana sebelum menyusul berjalan di belakang Tyo, ke arah mobil pemuda itu yang di parkir depan cafe.

*

Tyo Sapta Wardana sudah seperti kakak ketiga bagi Andin. Awalnya Tyo hanya tetangga yang pindah ke samping rumah gadis itu. Saat umurnya enam tahun, anak tunggal keluarga Wardana masih menjadi anak yang pemalu. Sampai suatu sore, disaat Tyo sedang bermain di dalam rumah sendirian dia mendengar suara ribut dari halaman depan.

Karena penasaran dia memberanikan diri untuk mengintip lewat pintu depan. Rupanya suara berisik itu berasal dari dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang sedang asyik bermain di halaman rumahnya. Tak lama bermain, anak laki-laki yang terlihat paling tua berusaha melerai kedua adiknya yang berebut sepeda. Melihat Tyo melongokkan kepala dari pintu depan, ketiganya melupakan sepeda yang menjadi sengketa dan lebih tertarik melihat ke arah anak lelaki itu.

"Halo "Sapa anak tertua dengan canggung. "Maaf ya adikku berisik. Hm… Kamu mau naik sepeda?"

Tyo tak begitu ingat detailnya, tapi semenjak itu dia hampir setiap hari bermain dengan ketiga bersaudara. Pandu sudah dia anggap kakak, Satya seperti teman dekat, dan Andin seperti adik sendiri. Kebiasaan bersama sejak kecil itu entah kenapa membuat Tyo hafal kebiasaan-kebiasaan dari tiga bersaudara, tidak terkecuali si bungsu.

Andin yang sekarang duduk di samping kursi kemudi, sibuk menatap layar ponsel dengan dahi berkerut. Sesekali gadis itu mengetikkan kata tapi tak lama kemudian dia menghela nafas panjang sambil menekan cepat ponselnya.

Dari ekspresi dan gestur tubuhnya, Tyo menduga Andin dapat pesan dari mamahnya.

"Mamah ya?"tebak Tyo.

Andin menoleh cepat dan memasang wajah horor. "Kok lu tahu? "

"Diomelin kan lu? Gara-gara apaan sekarang? "tuduh Tyo.

Andin memalingkan wajah, kembali sibuk dengan benda persegi di tangan. "Perkara nggak penting."

"Apaan sih? Penasaran gue"bujuk Tyo. "Cerita dong..."

"Satya sama ceweknya lagi ke rumah nenek. Dan lu tau lah mamah gimana. Langsung heboh nyuruh gue nikah. Di grup keluarga lagi. Kan gue keki. Dikira nikah itu gampang apa" gerutu Andin emosi.

Tyo ngakak parah sampai memukul-mukul stir mobil. "Yaudah sih mblo cari cowok. Gitu aja bete. Apa sama cowok ganteng ini aja nih?"dia menaik-naikan alis

Giliran Andin yang tertawa sinis. "Ogah"

"Gue ganteng gini lho, pinter, kaya, baik hati, kurang apa coba? "Tyo yang sedang menyetir sempat-sempatnya menatap Andin dengan wajah sok cool.

"Kurang setia"jawab Andin tegas.

Tyo hanya bisa cengengesan. "Bukannya nggak setia Ndin. Tapi merekanya aja yang dateng ngerecokin gue. Kan katanya jadi orang nggak boleh sombong"

"Kayaknya gue berakhir nggak nikah deh Yo. Mending hidup sendiri, di rumah kecil dan gue bisa ngelakuin semua yang gue mau dengan bebas. "ujar Andin pelan.

"Nikah nggak bikin lu kekekang juga kali Neng. "Tyo menonyor kepala Andin main-main.

"Serasa bener aja lu yo."Andin balik menonyor kepala sahabatnya itu, tak mempedulikan kondisi Tyo sedang menyetir.

"Lho gue ini punya banyak pengalaman. "Tyo membusungkan dada, menyombongkan diri. "Eh tapi Ndin, lu nggak belok kan? "Tyo memasang wajah ngeri.

"Ck ya enggaklah. Gue suka cowok, cuma gue nggak percaya aja sama mereka. Gue baru mau mulai hubungan kalo ada yang serius."jelas Andin menggebu-gebu. "Masalahnya, di dunia nyata nggak ada kan cowok yang kayak gitu"

"Lo mau yang langsung ngajak nikah gitu?"Tyo heboh sendiri.

"Hm..." Andin malah berfikir serius."Ah bodo ah nggak tau gue. Mending puter lagu aja lah ya, lagunya BTS yang baru."Andin sibuk menyambungkan hpnya dengan speaker mobil secara wireless.

Dua sahabat itu berakhir mendengarkan lagu grup BTS sambil ikuti menyanyi, padahal Tyo sama sekali tak tau lirik lagunya.