Andin tersenyum canggung membalas senyum pemuda yang kini berdiri di hadapannya.
"Lho kalian saling kenal?"Mamah memandang Andin dan cowok itu bergantian. Pandu terlihat antusias sementara Satya hanya memasang wajah datar.
"Ical temen Andin waktu SMA Mah."cicit Andin sambil memainkan jari. Di samping Pandu, Ical mengangguk mengiyakan.
Andin melirik Ical yang sekarang tersenyum manis ke Mamahnya. Seingat Andin, waktu SMA Ical anak dengan postur kecil kurus, namun kini dia bertransformasi menjadi pemuda tinggi dengan badan padat berotot. Rahangnya yang semakin tegas membuat dia yang dulu terlihat cute menjadi terlihat lebih maskulin. Hal yang masih tidak berubah adalah poni rambut yang masih menutupi dahi dan senyum gigi kelinci khas Ical.
"Kalau udah kenal sama Andin mah enak, nggak usah sungkan disini. Tadinya tante khawatir bakal digalakin sama si Andin."canda Mamah.
Ical tertawa ringan. "Andin anaknya baik kok tante,"
"Makanya, lu tinggal sini dulu aja. Nggak jauh banget juga dari kantor."Pandu menepuk-nepuk bahu Ical meyakinkan.
"Makasih banyak Bang,"kata Ical tulus. "Maaf malah jadi ngrepotin keluarganya abang."
"Halah sante-sante,,, kan kamar gue juga nggak pernah dipake. Nah Cal, nanti lu tidur di kamar gue yang di situ."Pandu menunjuk pintu kamar yang berada tepat di bawah tangga.
Ical mengangguk.
"Karena tante kesininya jarang-jarang, di rumah cuma ada Satya sama Andin. Nggak papa kan?"jelas Mamah.
Ical melirik Andin yang sekarang lebih sibuk menatap lantai. "Kalau saya nggak apa-apa Tante,"
"Kamar gue lantai dua. Nanti kalau butuh apa-apa lu bisa ke kamar gue aja."Satya menunjuk pintu kamarnya dengan dagu.
"Dia itu musisi, kerjanya di kamar terus bikin lagu sama video. Jadi seringnya nggak keluar-keluar."jelas Pandu.
Selagi Ical mengobrol dengan Satya dan Pandu, batin Andin berkecamuk. Disatu sisi dia enggan bertemu lagi dengan Ical tapi ada gejolak yang aneh. Andin menggelengkan kepalanya. Dalam kondisi ini harusnya dia lebih memikirkan keadaan Ical setelah kebakaran. Dari tas punggung hitam yang dari tadi digendong Ical, bisa dilihat hanya sedikit barang pemuda itu yang selamat.
"Barang lu cuma itu doang?"tanya Satya mewakili isi pikiran Andin.
Ical tersenyum. "Ini yang masih sempet diambil Bang."
"Kalau soal baju lo bisa pake punya gue yang di lemari. Baju buat ngantor juga kayaknya masih ada."kata Pandu.
"Yaudah nanti biar Andin tunjukin."Mamah memberi kode dengan tangan agar Andin mendekat.
Andin terpaksa mendekat.
"Ini, anterin Ical liat kamarnya."Mamah menoleh ke arah Ical. "Kamu sekalian istrahat ya Nak, tidur dulu aja nanti sore dibangunin lagi."
Andin membuka mulut hendak protes. Disitu ada Satya dan Pandu, tapi kenapa dia yang disuruh? Melihat ekspresi Andin, wajah mamahnya yang awalnya cerah ceria berubah mengancam. Andin menggigit bibir bawah.
"Ayo!"katanya sebelum berjalan ke kamar Pandu. Ical mengikuti Andin di belakang. Mereka berdua ke kamar Pandu sementara Mamah, Pandu, dan Satya pindah ke ruang tamu.
Andin membuka pintu kamar.
Seperti kamar cowok lainnya, kamar lama Pandu ditata sangat simpel. Di dalamnya hanya ada kasur yang cukup untuk satu orang, lemari baju, dan satu rak buku yang di taruh di deket jendela. Kamar itu tidak seluas milik Andin, tapi juga tidak terlalu sempit.
Di kamar itu tak ada kursi, jadi Andin tetap berdiri di dekat pintu."Nanti toiletnya pakai yang di samping dapur."
Ical menurunkan tas punggung, meletakannya di lantai dan duduk di pinggir kasur.
Andin melirik tas punggung Ical yang kelihatan ringan. "Barang lu... abis semua?"akhirnya keluar juga pertanyaan itu.
"Hehe, iya."Ical tetap tersenyum. "Gue cuma bawa itu tas. Untung di dalemnya ada dompet gue. HP juga aman karena pas kejadian gue pegang."
Melihat Andin yang masih kelihatan penasaran, Ical melanjutkan. "Kebakarannya tadi pagi, sekitar jam 3. Kamar gue kebetulan cuma beda satu kamar doang dari sumbernya. Untung gue nggak tidur lagi habis tahajud."
"Lu ngaji? Atau olahraga di kamar?"tebak Andin.
"Main PUBG"jawab Ical polos.
Melihat ekspresi wajah Andin yang langsung berubah, Ical tersenyum dan langsung beralasan. "Tapi kan gara-gara PUBG gue nggak tidur."
"Iya deh iya." Gadis itu berjalan ke arah lemari. Dia membuka lemari, mengecek persediaan baju Pandu. Masih banyak rupanya. Ada beberapa kemeja juga. Lemari dia tutup lagi. Andin berbalik badan, menghadap Ical. "Baju Bang Pandu bisa langsung lu pake. Masih bersih. Karena meski nggak dipake tetep gue cuci berkala kalau-kalau abang nginep disini."
Ical mengangguk. "Makasih Ndin,"katanya tulus.
Andin menggigit bibir. Dia berjalan ke dekat pintu lagi, berdiri disana sebentar. Mereka kembali bertatapan canggung."Hm... Lu pasti capek kan? Gue tinggal ya, biar lu bisa istirahat"
"Eh tunggu dulu."tahan Ical.
Andin yang baru akan melangkahkan kaki terpaksa berhenti dan menaikan alis, heran. "Kenapa?"
"Gue... seneng banget bisa ketemu sama lu lagi.."ujar Ical dengan suara pelan.
Gadis itu mencoba senyum setulus mungkin. "Gue juga."kata Andin, akhirnya.
Ical tersenyum makin lebar memperlihatkan gigi kelincinya. Sudah lama sekali Andin tak melihat senyum itu. Senyum yang dulu terlihat malu-malu dan dia rindukan selama ini.
Andin berdeham. "Hm... Gue tinggal ya?"
Ical mengangguk.
Andin keluar kamar Pandu dan tak lupa menutup pintu. Dia bersandar di balik pintu sambil menghela nafas lega.