"Kenapa kamu seakan membela Alif?? Apa kamu mulai meyukainya? Tanya Alifah, menghentikan langkah Alifah saat hendak duduk di bangkunya.
" Kenapa?? Saya juga enggak tau, yang jelas saya kurang nyaman dengan acara livemu itu" jawab Alifah cuek kurang nyambung dengan pertanyaan Alifah.
***
" Apa?? Eyang kritis??" Kaget Alif setelah menerima telpon dari seberang sana.
"Baik saya segera kesana" Jawab mereka bersamaan tapi di tempat yang berbeda. Keduanya pun berlarian menuju parkiran setelah mengambil tas mereka.
"Alif...." panggil Alifah setelah melihat Alif berlari kearahnya. Tapi sayang Alif tak mengiraukannya seolah dirinya tak nampak. Alifah hanya melihat punggung Alif sampai kejauhan. Sedih untuk yang pertama kalinya dia dicuekin.
Dipertigaan koridor sekolah Alif dan Alifah berpapasan kemudian searah untuk berlari seolah olah mereka bertanding.
"Heiyyy kenapa kamu mengejar saya?" Teriak Alif saat dirinya melihat Alifah mengejarnya ikutan berlari. Tapi Alifah tetap fokus berlari, jilbabnya (bajunya) ia angkat sedikit.
"Berhenti mengejar saya!!!" Kembali Alif protes.
"Siapa yang mengejar kamu??!" Balas Alifah semakin menambah kecepatan larinya. Pantaslah dirinya dituduh mengejar Alif, karena setiap Alif berbelok kemana pun ia ikutan.
"Stop mengejar saya!! Saya ada urusan penting!"
"berhenti bicara!!" Kali ini Alifah mendahului Alif. Ternyata selain pandai bela diri dia juga bisa berlari kencang meskipun sedikit kesusahan dengan jilbabnya. Perjalan ke parkiran terasa lama bagi mereka. Andai dia punya kekuatan super dia akan langsung menghilang sampai keparkiran kalau perlu sampai ketujuan langsung.
Dan tibalah mereka diparkiran. Alif langsung menyalahkan motornya dan Alifah langsung mengayuh sepedanya.
" Terimah kasih pak!" Teriak Alifah pada pak udin karena di bukakan pintu gerbang.
Tidak lama setelah Alifah keluar, Alif menyusul dan mereka pergi ketujuan yang berbeda.
***
" Alifah kemana Vi?" Tanya Fira pada Evi karena guru sudah ada tapi Alifah entah kemana. Tasnya pun sudah tidak ada lagi dimejanya.
Evi hanya menggelengkan kepalanya. Dia juga khawatir tumben Alifah bolos. Padahal seharusnya dia tidak boleh bolos, ini bisa memgancam beasiswanya.
" kamu tau kemana Alifah pergi." Tanya Fira lagi. Kali ini pada Dita teman duduknya. Dan gelengan yang sama yang ia dapatkan.
" Ehmm Fira..ada yang mau di diskusikan? Kalau ada silahkan bicara!! Jangan membuat forum sendiri" tegur pak guru yang merasa terganggu gara-gara bisikan Fira. Karena suasanaa kelas memang hening.
" Maaf pak." Cicit Fira.
***
" sekarang kita akan kemana?" Tanya Mawar adik Alifah.
" Sudah ikut saja!"
Beberapa jam yang lalu Alifah dapat kabar dari adiknya, jika penagih utang itu kembali lagi. Dan jangan lupakan ancamannya. Alifah hanya punya pilihan membayar utangnya ayah dalam satu minggu ini atau dia harus mengorbankan dirinya untuk jadi pelayang Bar. Dan otomatis dia harus melepas jilbabya dan menggantinya dengan pakaian pelayan yang tentunya pasti sangat seksi. Atau pilihan lainnnya dia harus masuk penjara, tapi resikonya kuburan ayahnya akan dibongkar dan entah akan dibuang dibuang dimana isi kuburan ayahnya ditambah Mawar akan dijualnya, organ manusia sekarang lagi trend. Andai mawar tidak ada mungkin lebih baik dia memilih untuk dipenjara saja. Tapi bagaiman dengan makam ayahnya??
Bukannya ikut ajakan Alifah, Mawar hanya diam mematung ditempat.
"Kenapa tinggal diam? Jalannya yang cepat. Matahari panas lho" panggil Alifah kembali. Tapi sang adik masih tetap diam, hingga Alifah harus kembali menghampiri adiknya. "Ayo!!"
"Tidak mau. Sekarang kamu boleh meninggalkan saya. Saya bukanlah adik kandung kamu, saya tidak mau merepotkanmu" gelengan kepala Mawar yang di dapat Alifah dan cairan bening di pinggir matanya yang hampir tumpah.
Alifah sedih memdengar adiknya berbicara seperti itu. Iya, Mawar memang bukanlah adik kandungnya. Dulu dia pernah menolak
Mawar untuk dirawat oleh ayahnya karena kondisi keuangan mereka tidak memungkinkan untuk menambah beban baru lagi. Makanya Alifah menyarankan ayahnya agar Mawar di titipkan saja di panti Asuhan. Dan sialnya Mawar mendengar itu sehingga sampai sekarang Mawar selalu menghidari Alifah. Tapi semenjak paman sang baik hati meninggal mau tak mau Mawar bergantug pada Alifah.
Alifah berjongkok menyamakan tinggi Mawar yang hannya sampai perutnya.
"Masih marah sama Aku?" Tanya Alifah. Tapi orang yang ditanya hanya diam dan menunduk. Berusaha sekuat tenaga agar tidak terisak.
"Kamu dari dulu sudah merepotkan. Tapi lama kelamaan jika kamu tidak merepotkan saya rasanya ada yang kurang, jadi repotkan saya terus agar saya merasa senang" kata Alifah sontak membuat Mawar menatapnya.
"Saya sudah banyak kehilangan, dan saya tidak mau kehilangan adik lagi. Kamu seseorang yang harus saya jaga mulai sakarang. Kamu alasan saya agar tetap berjuang. Tapi berjuang sendiri itu sulit. Saya butuh teman. Mau jadi teman saya untuk berjuang?"
Air mata yang ditahan oleh anak kecil yang usianya sekitar lima tahunan itu tumpah. Dia pikir kakaknya akan membuangnya atau membawanya kepanti Asuhan.
"Tapi..."
"Jangan banyak tapi. Ayo sebentar lagi dzuhur. Kita cari mesjid dulu. Habis itu ke makam ayah" Ajak Alifah sambil menghapus lelehan cairan bening yang sudah membentuk sungai, sambil membetulkan kerudung adiknya yang sudah agak miring. Dan memasukka anak rambutnya yang mengintip keluar.
"Terimah kasih kak..." Alifah tertegun karena ini pertama kalinya Mawar memanggilnya kakak.
"Hei....sekarang kamu memanggilku kakak?" Alifah tersenyum jail menggoda Mawar.
"Kamu kan labih tua dari saya, kenapa kaget saya panggil kakak?" Balas Mawar cuek. Bocah ini memang songong. Dan untuk membalas itu Alifah memciumnya secara bertubi-tubi yang jelas mendapatkan protes keras dari Mawar. Lalu mereka berpelukan melupakan sejenak beban hidup. Saatnya mereka mengadukan keluh kesahnya pada sang pencipta.
***
"Bagaimana kindisi eyang Ma?" Tanya Alif setelah menemukan mamanya duduk dikursi penunggu.
"Alif eyangmu...."
" Bagaimana kondisi eyang Dok?" Ucapan mama Alif terpotong saat Alif melihat dokter keluar dari ruanga ICU.
"Kondisi nyonya Melati masih kami pantau. Tapi kondisi kritisnya beliau sudah melaluinya. Hanya saja hanya saya harap jauhkan beliau dari tekanan yang akan memicu tekanan darahnya meningkat" jawab dokter.
"Eyang bisa sembuh sedia kalahkan dok?" Tanya Alif, belum puas atas penjelasan sang dokter.
"InsyaAllah, mari kita sama sama berdoa. Karena Allahlah sang penentu" jawab dokter sambil menepuk bahu Alif.
"Apa kami boleh masuk dok"
"Tunggu sampai kami memindahkannya dari kamar perawatan. Kalau begitu saya permisi dulu"
"Iya dokter, terimah kasih"
***
Dibawa terik matahari Alifah dan Mawar menyeret sepedanya. Kopernya dia susun rapi sedemikian rupa agar bisa terangkut.
"Kak perut saya demo. Boleh minta makan?" Keluh Mawar.
"Astagfirullah. Maaf sayang kakak lupa. Kamu pasti sudah laper banget ya?" Kata Alifah kaget. Dari tadi memang Mawar belum makan. "Enggak apa apa kan kalau makannya hari ini bakso aja?!"
Mawar hanya mengangguk antusias. Dia tidak peduli makan apa yang jelas cacing cacing diperutnya berhenti berdemo.
"Bang baksonya satu ya..makan disni" teriak Alifah pada bang bakso yang ia temui di pinggir jalan. Di sekitarnya banyak orang yang kelihatan menikmati baksonya dan sepertinya dari kalangan sopir (kenek) atau tukan becak tidak sempat pulang untuk makan siang dirumahnya.
"Kok cuma satu kak?" Protes Mawar heran.
"Kakak sudah makan" jawab Alifah berbohong.
"Yakin?" Tanya Mawar curiga.
Alifah hanya menagngguk meyakinkan adiknya. Mana mungkin ia berbicara jujur jika keuangannya menipis. Apalagi dia harus mencari rumah kos atau rumah kontarkan.
"Nah baksonya sudah datang. Makan yang keyang. Habis ini ke makam ayah, lalu cari tempat tinggal" kata Alifah setelah bang baksonya meletekkan makanan di atas meja.
"Kak baksonya kebanyakan, bantuin habisin ya?!" Kata Mawar sambil menyuapi kakaknya. Meski kakaknya mengatakan sudah makan, tapi dia yakin kakaknya berbohong.
Alifah menyambut suapan bakso adiknya tapi setelah itu ia menggeleng Pura pura kenyang.
***
"Kamu tau kenapa eyangmu kembali drop?" Tanya Mama Alif setelah Eyangnya di pindahkan di ruang perawatan, tepatnya kamar VVIV dengan kualitas pelayanan terbaik yang ada di rumah sakit itu. Sambil melemperkan buku tulis yang pastinya buku diari Alif, mama Alif berkata "Lupaka Alifah, dan terimah gadis yang eyang jodohkan padamu."
"Mungkin Gadis itu sudah meninggal Ma, lagian eyang juga tidak memaksa Alif untuk menerima perjodohan ini. Eyang memberi saya pilihan apa Alif harus menerima atau tidak, itu tergantung Alif" protes Alif tidak mau disalahkan. Karena selama ini neneknya memang tidak memaksanya hanya sekedar menawari. Jadi wajar jika Alif boleh memilih siapa yang harus ia nikahi. Lagian ini bukan jamannya siti Nurbaya atau kisah yang ada novel. Ini kehudupan nyata. Lagian gadis yang di jodohkan dengannya belum tentu gadis yang baik. Tidak menutup kemungkinan gadis itu hanya mengharapkan hartanya. Jaman sekarang, sangat banyak yang hanya mencintai harta dari pada membangun keluarga dengan cinta yang tulus. Lagi pula menikah di usia muda seperti ini menjadi beban tersendiri, dia tidak percaya diri apakah dia sudah mampu. Dia kurang percaya untuk membimbing seseorang. Agamanya belumlah matang untuk membangun mahliagai rumah tangga. Dari segi ekonomi mungkin keluarganya mampu memberinya tapi dari segi agama, dia sangan miskin. Jadi bagaimna ia bisa langgeng dalam berumah tangga jika dia miskin ilmu apalagi ilmu agama.
"Karena itu eyang drop. Dia sangat ingin kamu menikah dengah cucu sahabatnya. Tapi di lain sisi dia juga tidak ingin memaksamu. Dia tidak ingin membebanimu dengan memaksakan kehendaknya. Makanya dia tertekan." Jawab mamanya gusar. Alif hanya diam. Dia tau neneknya sangat menyanginya, bahkan keinginannya pun tidak di paksakan padanya. Dia benar benar bersalah akan hal itu, tapi dia tidak ingin menyesal dengan menuruti permintaan eyangnya. Dia tidak ingin mengorbankan masa depannya. Tapi bagaimana dengan eyangnya? Selama ini eyangnya banyak berkorban untuknya. Eyangnya tidak pernah meminta sesuatu padanya, semuanya terserah dirinya. Bahkan masalah perjodohan ini pun hanya menyarankan saja bukan memaksa. Kecintaan eyang padanya bahkan lebih terlihat di bandingkan dengan kecintaan sang mama. Selama ini eyangnya lah yang peduli dengan dirinya, jadi mana mungkin ia bisa menolak. Tapi ini sungguh pilihan yang sulit.
"Alif mama mohon, lupakan Alifah. Terimahlah permintaan eyang. Demi eyang, kamu mau ya!" Kata mama Alif mulai melunak. Mamanya yakin anaknya tipikal anak yang penurut, memaksanya bukanlah cara yang benar. Selama ini mamanya mendidik anaknya dengan cara yang lembut dan penuh kasih sayang.
"Apa gadis itu masih hidup?" Tanya Alif pada akhirnya, sekaligus menyadarkan mamanya jika gadis yang di carinya susah untuk di ketahui keberadaanya. Dari pada membuang buang waktu mending lupakan rencanya eyang.
"Entahlah" jawab mamanya sambil menarik nafas, karena dirinya juga kurang yakin. Karena selam ini pencariannya tidak membuahkan hasil apa apa. "Kalau pun gadis itu sudah tiada, maka mama harus menciptakannya" sambung mamanya penuh makna.
"Maksud mama??" Tanya Alif kurang mengerti.
"Kamu jaga eyang, mama keluar sebentar. Telpon mama jika eyang sudah bisa di ajak bicara" kata mama Alif mengabaikan pertanyaan anaknya.