Chapter 2 - Bab 2

Austin berjalan di balai kampus fakultasnya. Sementara dia berjalan menuju ke kafe kampus, dia terjumpa pacar adiknya Ana dari fakultas jurutera, Rocco Champion. Rocco berjalan di samping seorang gadis yang cantik.

"Rocco, ngapain di fakultas ini?" Austin menegur lelaki itu yang masih belum terlihat dirinya.

"Rocco," Austin memanggil lagi. Rocco memaling ke arah Austin yang berdiri tidak jauh dari tempatnya. Mukanya terus pucat.

"Kenapa sih sayang? Kok bingung?" Gadis di sampingnya mengusap pipi Rocco.

"Wah Rocco, kok enggak bilang sama gue, lo udah punya pacar baru?" Austin mendekati pacar itu. Kehadirannya membuat Rocco hampir jatuh.

"Bapak Austin? Bapak kenal sama pacar aku?" Gadis siswa tahun 2 itu mengenali Austin sebagai lektornya.

"Rocco Champion, pelajar tahun 6 dari fakultas jurutera. Sudah 3 tahun enggak lulus tahun akhirnya lalu menjadi siswa yang istimewa di kampus ini. Menjadi rebutan para gadis di kampus ini, mendapat layanan istimewa juga dari lektor lain." Austin mengucapkan katanya sambil tersenyum memandang Rocco.

"Rocco? Kamu kenapa sayang?" Gadis itu menanyakan Rocco apabila dia seolah menyembunyikan dirinya di belakang.

"Rocco sayang? Mari Rocco sayang, gue punya sesuatu buat lo." Austin menarik Rocco di sebalik tembok dan mulai meninju muka Rocco dengan kuat.

Rocco tidak dapat melawan karena Austin lebih kuat dari dirinya. Dia tidak berani untuk memukul kembali kakak bekas pacarnya. Tambah lagi, Austin seorang atlet peninju sewaktu zaman kuliahnya. Austin juga belajar ilmu taekwondo, judo, hapkido dan silat di masa libur. Menurutnya, ilmu mempertahankan diri waktu silam adalah sangat berguna untuk menyelamatkan diri dan orang lain di waktu bahaya. Sejarah membuktikan ilmu mempertahankan diri sangat berkesan dan penting kepada orang ramai.

***

Rumah Sakit Grean sangat sibuk pada waktu siang karena pasien datang ke hospital untuk mendapatkan rawatan harian untuk merawat sakit seperti sakit demam, batuk atau sakit lain. Austin menunggu di ruangan menunggu bersama Ana. Mereka menunggu Rocco selesai rawatan. Nicolas keluar dari ruangan merawat pasien dan terlihat temannya. Dia baru habis lakukan putaran shif untuk melihat pasien lain di kamar pasien.

"Tin, Ana." Nicolas menegur.

"Kak Nic." Ana memandangnya.

"Ada perlu apa kesini? Siapa yang sakit?" Tanya Nicolas lagi.

"Ini kak Nic, kak Austin memukul bekas pacarku lagi. Ini udah kali yang ke empat kak. Kakak memukul Rocco lagi. Kami udah enggak berhubungan setelah setahun yang lalu. Setahun yang lalu kak! Aku juga sudah move on. Kakak masih enggak move on lagi emangnya kenapa sih?!" Ana memarahi Austin di sampingnya. Austin memandang ke arah lain.

"Jangan-jangan, Austin masih belum move on karena dia yang suka sama Rocco mungkin." Nicolas bercanda. Austin menendang kaki Nicolas dan membeliak matanya.

"Kalo pengetua sampai tahu hal ini, baik kakak, aku sama Rocco kita semua pasti dibuang dari kampus. Kakak mau gitu ya?" Ana masih merasa marah.

"Udah deh Ana. Kita juga tau Austin gimana. Dia memang susah move on. Dia risau sama kamu. Rocco bukan lelaki yang baik untuk kamu. Dia suka curangi kamu. Mendingan kamu cari lelaki yang baik seperti aku." Nicolas memajukan dirinya menjadi lelaki baik untuk Ana.

"Langkah mayat gue dulu Nic!" Austin menendang kuat kaki Nicolas. Nicolas membalas dan memukul kepala Austin. Mereka terlihat seperti anak kecil yang berantem.

"Doctor Nicolas Hernandez, anda diperlukan di ruang rawatan pasien nomor 30 sekarang. Makasih." Pemberitahuan dibuat di pembesar suara rumah sakit.

"Duty time. Aku pergi dulu ya. Bye!" Nicolas sempat memukul kepala Austin dan berlari ke ruangan rawatan.

"Nama aja dokter tapi kok kayak anak cilik sikapnya." Austin menghina temannya. Walhal sikapnya sama aja sama temannya.

"Kakak lektor kuliah tapi berantem sama siswa kayak anak cilik. Sama aja kalian. Dasar laki-laki!" Ana memarahi kakaknya. Austin menyeringai. Dia merasa malu pada adiknya.

Saat mereka menunggu di ruangan, beberapa orang dokter berlari menuju ke satu arah. Mereka berbicara sesama sendiri. Perbualan mereka didengari Austin yang melayan perasaannya.

"Pasien-pasien dari luar kota dipindahkan ke rumah sakit kita, jumlah mereka sangat banyak. Kita enggak cukup perawat sekarang!"

"Jangan khawatir, aku sudah beritahu sama kepala kita. Mereka sudah memanggil semua fellow dan residensi untuk membantu kita. Malah kita juga membutuh siswa medik untuk membantu kita saat ini." Kelompok para dokter itu berlalu pergi dari pandangan Austin.

Kedengaran berita di layar besar rumah sakit suara AI berita mengumumkan.

'Menteri Kota Grean masih belum mengeluarkan apa-apa maklumat tentang dua kematian saintis yang mendadak siang tadi. Perbicaraan sulit Menteri-menteri Kota Grean pada siang ini memperlihat kematian dua orang saintis menjadi kasus yang serius. Diikuti pula berita kematian penduduk luar kota yang masih dalam pemeriksaan forensik' berita itu memberitahu.

"Ana," Rocco memanggil. Austin cepat-cepat memandang Rocco dan Ana yang sudah berdiri. Dia mendekati Ana.

"Pak dokter bilang apa?" Ana menanyakan.

"Tulangnya tidak patah. Bengkaknya bakal surut beberapa hari lagi. Pak dokter memberi aku obat tahan sakit." Rocco menjawab. Matanya tidak mau memandang Austin karena takut dipukul lagi.

"Maaf ya Roc. Aku janji perkara ini enggak bakal berlaku lagi. Kakak ku fikir kita masih pacaran tapi aku udah bilang sama dia kita udah enggak ada apa apa lagi." Ana meminta maaf. Austin bikin muka sebel.

Rocco tidak mahu membalas apa-apa. Dia sekadar senyum dan melewati dua orang saudara kandung itu dan keluar dari rumah sakit. Ana menggelengkan kepalanya.

"Kak," Panggil Ana.

"Apa?"

"Ini adalah kali terakhir kakak memukul Rocco ya. Selepas ini, kalo kakak memukul Rocco lagi, aku pindah." Ana memberi amaran.

"Okay okay kakak janji!" Mendengar saja perkataan pindah, Austin terus merubah hati. Dia tidak mahu berjauhan dengan Ana, satunya famili dia punya.

***

Austin meninju hologram kantong pasir di dalam ruang hadapan rumahnya. Peluhnya menetes tidak henti lalu membasahi baju yang dipakainya. Tubuhnya yang berotot terlihat jelas di sebalik baju putih yang dipakainya. Amukannya pada Rocco masih belum pudar. Jam sudah menunjukkan jam 11 malam.

"Kenapa tu?" Nicolas baru saja pulang menanyakan Ana yang lagi duduk di sofa bermain tablet.

"Lagi bengong kali." Jawab Ana yang malas melayani perasaan kakaknya. Nicolas menggeleng kepala.

"Abit, nyalakan televisi." Nicolas mengarah AI rumah untuk menyalakan televisi. Layar terus ternyala sendiri. Nicolas memindai tangannya untuk menukar siaran.

"Capek banget duty hari ini. Semua kepala dokter lagi sibuk jadi aku yang harus merawat pasien lainnya." Nicolas mengungkap lelahnya. Mukanya kelihatan pucat.

"Emangnya kenapa? Biasanya kan kamu sibuk sama suster cantik dan muda ya kan?" Ana mengusik Nicolas. Mukanya menjadi merah.

"Ah, enggak ah. Ada-ada saja kamu, Ana." Nicolas tidak mengakuinya.

Austin terus terhenti pabila mendengar Nicolas berbicara tentang dokter di rumah sakitnya. Dia menutup hologram kantong pasirnya dan menaruh hologram itu ke sisi tembok.

"Nic, tadi di rumah sakit aku mendengarkan dokter bicara ada penduduk dari luar kota. Emangnya mereka kenapa?" Austin menanyakan.

"Ketua gue bilang, penduduk dari luar kota itu diserang satu makhluk yang masih belum diketahui apa. Kalo lihat dari luka mereka, semuanya sama. Isi perut mereka dirobek dan organ seperti hati, ginjal, jantung hilang. Kasihan banget." Nicolas mengeluh. Dia mengurut dahinya yang tidak sakit.

"Kasihan mereka. Apa sih sebenarnya yang menyerang mereka?" Ana melanjutkan soalan.

"Tidak ada yang tahu lagi apa sebenarnya yang menyerang mereka." Jawab Nicolas.

"Ada yang masih hidup?" Austin menunjuk perhatiannya.

"Tidak. Semuanya terkorban. Lebih 20 keluarga terkorban. Sekarang mayat mereka dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa." Nicolas mengulas.

Saat mereka berbicara, listrik di rumah tiba-tiba mati. Semuanya kelihatan gelap. Mereka bertiga senyap beberapa saat. Austin memaling mukanya ke arah ruangan kaca memperlihat bangunan-bangunan di luar. Listrik mereka juga mati. Hampir tiada satu cahaya yang bersinar. Kendara mobot yang masih terbang di udara perlahan turun ke tanah.

"Kak, listriknya kok mati semua?" Ana bersuara.

Dalam kiraan 10 saat, listrik ternyala semula. Austin memandang Nicolas dan Ana yang mendekati dirinya. Austin seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi dia tidak mahu membuat kesimpulan awal.

"Abit, nyalakan televisi. Berita." Austin mengarah sistem AI rumah.

Televisi terus dinyala dan melayar berita terkini.

'Kegagalan bahan api dan listrik di seluruh wilayah Kota Grean terjadi. Golongan pemerintah belum dapat membuat kesimpulan tentang apa yang terjadi. Perusahan listrik kota, Light Management System berkata, sekarang kita menggunakan listrik sokongan sementara membaiki listrik utama.'

"Aneh. Listrik tidak pernah mati sejak tahun 2020." Austin meluah. Dia merasa gusar. Hatinya tidak tenang. Dia merasakan ada sesuatu besar yang bakal terjadi.

***