Chapter 6 - Bab 6

Austin dan Nicolas spontan merapatkan almari di kamar kawalan itu ke hadapan pintu. Sebaik sahaja mereka menghalang pintu itu, kedengaran makhluk- makhluk itu telah menerejah masuk ke dalam gedung pustaka. Suasana di dalam gedung pustaka sangat berisik dengan teriakan beberapa manusia dan makhluk-makhluk itu.

Bam! Bam! Bam!

Kedengaran seseorang coba memasuki kamar kawalan. Ana hampir melepaskan jeritan kerana terkejut mendengar bunyi hentakan apabila Austin sempat menekup mulutnya. Belum sempat orang itu mencoba membuka pintu, dia menjerit karena sesuatu menyerangnya dari luar. Kemudian, pintu dipukul dengan keras dari luar. Makhluk itu coba mendobrak pintu itu.

"Tin, aku rasa pintunya tidak boleh tahan lagi nih. Kita harus keluar dari sini!" ujar Nic yang kelihatan khawatir sambil matanya sekila melihat ke arah pintu.

Austin menganggukkan kepala tanda setuju, matanya meninjau seluruh kamar kawalan. Dia terlihat ada satu plafon menuju ke atap.

"Lihat atas, Nic." kata Austin, menunjuk ke arah plafon. Nic mengikuti jari Austin lalu melihat ke atas. Dia tercengang.

"Lalu gimana…" Nicolas baru aja membuka mulut untuk menanya tetapi Austin sudah memanjat ke ruangan plafon dengan menjadikan meja kawalan sebagai tempat dia melompat.

"Ana," Austin memanggil adiknya lalu dia menghulurkan tangannya. Ia ternyata mudah bagi Austin untuk memanjat ke atas kerana dia sering membuat olahraga. Ana menyambut tangan Austin dan membiarkan dirinya ditarik ke atas. Sementara Nicolas lagi sibuk mengeluarkan kad-kad kunci dari tembok dan melempar barang yang diambil olehnya ke dalam tas.

Bang! Bang! Bang!

Almari yang menghalang pintu kamar kawalan itu mula berkocak dan hampir roboh kapan waktu.

"Cepat Nic!" Austin menjerit. Dia sudah menjangkau tangannya untuk Nicolas.

"Iya. Gue tau." Nicolas cepat merebut kotak peralatan medis yang ada di dalam almari saat dia terlihat kotak itu ketika pintu almari sudah terbuka sedikit oleh hentakan makhluk-makhluk itu. Beberapa saat setelah Nic menjauhi dari almari itu, almari itu jatuh dan makhluk-makhluk itu mulai memenuhkan kamar kawalan.

Grrr…Grrr….

Makhluk-makhluk itu menggeram kasar.

"Nic!!!" laung Austin yang lagi menunduk badannya ke bawah untuk menarik Nicolas. Dia hampir terjatuh kerana ingin menyelamatkan Nic.

Nicolas laju mencapai payung yang ada di hujung tembok lalu berlari secepat yang dia bisa untuk mencapai tangan Austin. Austin menangkap kuat tangan Nicolas dan menariknya ke atas. Waktu itu, satu dari dua ekor makhluk yang ada di ruangan bawah berhasil menangkap kaki kanan Nicolas.

Nicolas berteriak kesakitan.

Austin menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorong Nicolas, melawan dengan keras untuk menarik Nicolas dari makhluk itu dibantu Ana yang lagi memeluk badan kakaknya untuk tidak jatuh. Nicolas menggunakan payung yang dipegang tangan kanannya kayak orang gila, memukul kepala makhluk itu.

Nicolas sempat menyodok mata merah makhluk yang mengambil kakinya dengan payung mengakibatkan darah menyembur keluar. Makhluk itu berteriak kesakitan lalu melepaskan kaki Nicolas. Pada saat itu, Austin segera menarik Nicolas dan akhirnya mereka bertiga berhasil masuk ke ruangan itu. Selepas Nicolas berhasil ditarik, Ana cepat menutup ruangan itu dengan plafon. Mereka bertiga merangkak pergi dari tempat itu.

Saat melewati ruangan sempit menuju ke atas, Nicolas sulit untuk bernafas sambil merangkak.

"Kghhh." Dia menahan sakit gara-gara kakinya dicakar dengan kuku makhluk tadi. Austin dan Ana yang ada di depannya berhenti. Mereka melihat Nicolas lagi menahan sakit. Saat itu mereka diam sejenak sebelum Austin mendapatkan Nicolas dalam keadaan marah.

"Apa yang lo pikirkan!?" Austin memarahi Nicolas. Melihat tindakan temannya tadi yang berbahaya dan hampir mengorban diri sendiri. Nicolas diam dan tiada satu ayat keluar dari mulutnya padahal dia yang paling berisik.

"Kak…" rayu Ana lembut.

"Sorry, Nic." kata Austin setelah menyadari dia sedikit keterlaluan.

"…Nggak apa-apa. Gue juga marah sama diri sendiri. Gue enggak tau apa yang gue pikir bentar tadi," Nicolas menyuarakan hatinya.

Setelah dapat nafas dengan baik, Nicolas menggunakan lampu senter dari dalam tasnya lalu menerangi ruang di lorong atap untuk melihat kakinya yang cedera karena cakaran makhluk tadi. Ana mengerutkan kening alisnya karena rasa menjijikkan melihat luka pada kaki kanan Nicolas yang melihatkan isi dagingnya di bagian betis.

"Ana, kamu tolong buka kotak medis itu please." kata Nicolas perlahan sementara menunjuk tangannya ke arah kotak medis di sebelahnya.

Ana mengangguk lalu membuka kotak medis itu. Lampu senter berganti tangan. Ana membantu menerangi untuk Nicolas merawat lukanya.

Nicolas mengambil botor berisi cair berwarna kuning yang tertulis 'antiseptik' di bagian luar botol lalu mencurah pada lukanya. Dia hampir berteriak apabila cair itu menyentuh lukanya tapi ketika dia menyadari Ana yang lagi mengamatinya, dia membatalkan niat untuk berteriak.

"Untung aja gue dokter," kata Nicolas bercanda sementara di dalam hatinya dia lagi menjerit kesakitan. Nicolas coba melarutkan suasana yang tegang antara mereka waktu dia melihat raut wajah Austin dan Ana yang terlihat sangat kesal.

"Lo baik baik aja kan?" tanya Austin yang menunjukkan wajah ketakutannya. Buat pertama kali dia merasa takut jika dia kehilangan teman baiknya sejak kecil.

"Gue okay…cuman gue harus istirehat dulu," jawab Nicolas yang lagi membungkus lukanya dengan kain kasa. Austin mengangguk kepala mengerti faham. Dia melihat ke dalam lorong atap yang gelap di depannya. Austin memandang ke arah Ana lalu berkata.

"Ana, kamu tunggu di sini ya sama Nic, aku mau lihat-lihat bentar."

Ana menarik nafas panjang sebelum menjawab, "Hati-hati ya kak."

Ana melihat Austin pergi dengan perasaan berat, jelas dia tidak mau membiarkan kakaknya pergi sendirian. Austin memperhatikan perubahan raut wajah adiknya yang khawatir lalu dia membujuk Ana.

"Aku enggak bakal pergi jauh. Aku akan kembali." Dia membelai kepala adiknya.

Austin melihat Nicolas. Nicolas melambai tangannya agar dia tidak usah khawatir karena dia pasti akan menjaga Ana dengan baik. Austin tersenyum lemah melihat temannya. Dia merasa bersyukur karena temannya baik-baik aja.

***

Austin merangkak melewati lorong cerobong yang kecil itu hingga dia ketemu kamar yang tadi. Dia bersembunyi dan memperhatikan dari atas, kamar itu sudah dipenuhi dengan makhluk-makhluk tadi. Austin menggelengkan kepalanya.

"Aku enggak bisa membawa Nic dan Ana turun ke kamar ini." Austin memikirkan.

Austin mengamati sementara waktu makhluk-makhluk itu. Mereka makhluk yang membahayakan dan bisa mencederakan manusia dengan kasar. Mereka terlihat berkeliaran di ruang kamar itu tanpa bebuat apa apa seperti pikirannya kosong. Mereka jugak tidak menyerang antara satu sama lain, ini berarti mereka punya naluri haiwan yang menjaga kumpulan jenisnya. Austin lalu mengambil keputusan untuk merangkak lebih jauh menggunakan lampu senter yang ditemukan tadi.

Beberapa menit merangkak, Austin menemukan satu lagi kamar tapi kali ini dia tidak usah repot mengintai ke bawah. Dia boleh mendengar ngauman kasar makhluk-makhluk di kamar itu. Austin meneruskan lagi usahanya untuk mencari kamar yang selamat. Akhirnya dia menemukan jalan ujung. Austin berharap agar kamar terakhir itu tidak ada makhluk lain. Dia membekam telinganya di atas permukaan lantai untuk mendengar bunyi.

Tiada bunyi yang terhasil.

Austin mengintai ke bawah dan menemukan bahwa kamar itu selamat dan kosong. Dia tidak dapat melihat dengan jelas situasi kamar karena gelap. Lampu senternya punya cahaya yang redup dan tidak bisa disuluh dengan jelas. Dia dapat melihat pengaturan meja-meja dan kotak hologram di setiap meja. Austin menebak bahwa kamar itu pasti kamar informasi digital di mana warga bisa mendapatkan informasi secara visual menggunakan teknologi yang hebat.

Austin memutuskan untuk kembali pada Ana dan Nicolas untuk memutuskan bicara bersama mereka. Sesampainya dia kembali ke mereka, Austin melihat Nicolas lagi bersandar pada tembok dan tertidur. Mungkin setelah berhasil meloloskan kakinya dari makhluk itu, Nicolas kelelahan. Ana segera merapatkan dirinya pada Austin lalu menanyakan situasi yang berlaku.

"Aku punya kabar baik. Aku menemukan satu kamar yang masih selamat." jawab Austin.

Nicolas tersadar karena mendengar suara Austin terus berbicara "Bagus dong Tin. Gue udah lelah kelamaan di sini."

Austin mengangguk kepalanya. Lalu dia melihat kaki Nicolas yang sudah berbalut. Nicolas seperti mengarti apa yang dipikirkan temannya. Dia segera menenangkan Austin.

"Ngak apa-apa. Gue udah istirehat. Aku masih bisa berjalan. Lagian, gue udah makan obat painkiller ni gue bawa." kata Nicolas sementara menepuk tasnya.

"Kira-kira berapa lama lagi lo bisa bertahan?" tanya Austin karena dia terlalu khawatir jika ada darurat di masa akan datang.

"30 menit kurang lebih." kata Nicolas menutup mata untuk mengingat waktu kapan dia mulai makan painkiller barusan tadi.

"Okay, dengar ya. Gue bakalin jalan dulu di depan, terus Ana ikutin belakang gue, terus lo Nic yang terakhir. Gue udah kira masa kita sampai ke kamar ujung. 10 menit." Austin memberi arahan. Melihat dia berbicara, ternyata dia seorang dosen dan bisa menjadi kepala yang baik untuk timnya. Ana dan Nicolas hanya mengangguk tanda mengarti.

Austin menyambung lagi sewaktu tiada siapa yang bersuara, "Sampai aja di kamar ujung tu, kita pikir rencana seterusnya karena aku enggak bisa turun dan tidak dapat melihat lebih jelas kondisi kamar itu."

Setelah memberi gambaran suasana kamar itu, mereka bertiga merangkak menuju ke ujung cerobong. Sampai di sana, Austin memberi sinyal jarinya agar semua diam. Austin menggunakan lampu senternya dan menerangi ke bawah sementara menguping sebarang bunyi. Setelah memutuskan bahwa kamar itu selamat, Austin membuka plafon yang udah terbuka separuh lalu menurunkan kakinya dahulu. Terus dia menghayunkan dirinya jatuh ke lantai. Aksinya amat tangkas dan laju membuat Nicolas dan Ana kagum dan melihat antara satu sama lain.

"Kok bisa…" Nicolas kaget sebelum dia menghabiskan bicaranya, Ana sudah melompat turun ke bawah.

Austin menyambut adiknya dengan karena badannya yang kecil dan ringan.

"Sambut gue juga ya Tin" kata Nicolas separuh serius. Austin memutar matanya ternyata dia kesal dengan temannya namun dia terpaksa akur karena memikirkan temannya yang lagi sakit.

Austin dan Nicolas menerangi ruang disekeliling mereka sementara memperhatikan kamar itu. Ana hanya mengikut di belakang badan Austin karena dia tidak punya lampu senter. Setelah yakin beneran kamar itu kosong dan selamat, mereka mulai berbicara untuk rencara seterusnya.

"Kita punya dua pilihan di sini" kata Nicolas setelah menjelajah ruang kamar itu.

"Apa?" Austin menanya. Ana hanya memperhatikan mereka, heran.

"Satu, kita lompat menggunakan jendela di kamar ini. Dua, kita melalui jalan di balai melewati makhluk-makhluk di kamar-kamar lain dan menggunakan pintu keluar." Nicolas memberi ide.