Chapter 5 - Bab 5

"Tin! Lo udah gila ya? Ngapain kita harus balik lagi ke kota? Pihak otoritas kan udah bilang semua penduduk yang selamat harus nunggu disini!" Nicolas membantah sekerasnya. Beberapa minit yang lalu, Austin menjumpai bangkai mayat lalu membuat keputusan untuk masuk kembali ke kota.

"Kak, mendingan kita tunggu disini bersama yang lain. Kita enggak tau apa bakal terjadi kalau kita masuk kembali ke kota. Lagian tentara akan jaga kita disini." Ana membujuk.

Austin masih berdiri di sebelah mayat yang dijumpainya. Tempat mereka rehat agak jauh dari orang yang lain jadi mereka tidak tahu akan hal itu. Austin tidak bergerak dari tempatnya. Dia hanya memerhati mayat itu. Apa yang bisa dia tebak, mayat ini telah diserang oleh makhluk yang datang ke kota mereka. Darahnya masih menetes ke tanah. Bau hanyir darah menerpa masuk ke dalam hidung. Sedang mereka bertiga lagi membuat kata akhir, bunyi bising yang agak jauh kedengaran. Bunyi itu sangat perlahan dan bingit seperti kayaknya ada yang melaung suara dari jauh.

"Kita harus kembali ke kota." Austin mencapai tangan Ana disampingnya dan memaksa adiknya untuk mengikut langkahnya. Mereka berlari perlahan masuk ke dalam sebuah bangunan pasar gedung yang berdekatan.

"Tin! Tin!" Nicolas memanggil temannya.

"Kak Nic!" Ana melihat Nicolas yang masih tidak tahu mahu ikut bersama mereka atau tidak.

Nicolas menggosok kepalanya yang pusing.

"Arghh! Kalo mereka berdua cedera, siapa yang mau bantuin mereka? Ya lo Nic. Lo kan dokter. Eeehh.." Nicolas berbahas dengan dirinya sendiri. Akhirnya dia terpaksa akur dan mengejar Austin dan Ana.

Saat mereka masuk ke dalam bangunan pasar gedung, kedengaran suara jeritan dari arah utara laluan keluar kota semakin hampir. Tentara yang berkawal di pagar memandang sesama sendiri. Mereka menyuluh ke arah jalan di luar laluan. Ada sesuatu yang berlari menuju ke arah mereka.

"Lepaskan tembakan!" Seorang tentara berteriak sambil mengarah tangannya ke arah utara. Semua tentara yang memegang senjata memulakan tembakan. Penduduk menjerit dan berlari tidak tentu arah. Tembakan yang kuat ditambah jeritan penduduk membuat keadaan kacau. Makhluk-makhluk itu semakin menghampiri tembok. Badan mereka berwarna merah dan kelihatan cecair pekat seperti darah. Mereka berkaki dua, tangan dua seperti manusia. Tetapi apa yang membedakan antara mereka dan manusia, kepala mereka ada dua! Seperti dua kepala yang mempunyai satu badan, mata mereka merah, mulutnya ternganga memperlihat semua gigi taringnya dan berlari laju ke arah tentara yang sedang menembak.

Dalam kiraan satu saat, makhluk itu membunuh satu tentara. Mereka merobek badan mangsa dengan cakaran kuku yang tajam. Ada yang mengigit badan mangsa sehingga robek dan memakan isinya. Ada juga yang mencabut kepala mangsa sehingga putus. Semuanya terlihat ngeri!

"Gila!" Nicolas memerhati dari dalam bangunan. Austin dan Ana juga melihat kejadian itu. Mereka bertiga tidak dapat mengungkap ayat seterusnya dan memilih untuk terus berlari masuk ke dalam bangunan.

Penduduk lari berserakan masuk ke kota. Mereka menjerit dan meminta tolong agar dapat selamat dari menjadi mangsa makhluk itu. Ada yang bersembunyi di balik tembok, ada yang masuk ke dalam mobot, ada yang pasrah dan terduduk di lantai menunggu masa untuk mati. Tentara-tentara sibuk menembak makhluk-makhluk itu yang terlihat banyak. Jumlahnya terlalu banyak.

***

Ana hampir lelah karena dia tidak berhenti berlari mengikut belakang kakaknya. Austin masih memegang tangan Ana dan tidak mau lepas. Mereka menaiki tangga kecemasan dan menggunakan laluan belakang untuk keluar dari bangunan. Laluan seterusnya adalah jalan lorong dan menghubung ke bangunan yang lain.

"Bentar kak. Aku lelah." Ana bersuara. Austin menghentikan lariannya.

"Kamu okay?" Austin menanya.

Ana hanya memberikan isyarat tangan 'nanti'. Dia mencapai healer asmanya dari dalam tas lalu menyedutnya beberapa kali. Nicolas baru sahaja menghentikan langkahnya melihat ke arah sekitar.

"Tin, kita harus ke mana sekarang?" Nicolas coba menarik nafas.

"Aku juga enggak tau Nic." Austin memegang pinggangnya karena capek berlari.

"Makhluk tadi, benar-benar mengerikan. Mereka memakan manusia! Itu sebenarnya apa?!" Teriak Nicolas. Dia seperti tidak dapat mengawal perasaannya.

"Shh..! Jangan berisik. Kita harus pergi." Austin memberi arahan.

"Iya aku tau kita harus pergi. Tapi pergi ke mana? Kita tidak tahu harus ke mana. Kita juga tidak tahu makhluk-makhluk itu lagi ada di mana." Nicolas membahas.

"Aku enggak tau Nic! Tapi kita sentiasa bergerak. Kita tidak bisa berhenti!" Austin memarahi Nicolas. Dia faham temannya itu memerlukan jawaban ke mana mereka harus tuju tetapi Austin juga tidak tahu. Dia tidak pernah berhadapan dengan situasi begini. Dia juga memerlukan jawaban. Austin mengeluh. Dia mencari ide.

"Okay, mendingan kita sembunyi dulu. Kita cari tempat yang selamat seperti di gedung pustaka. Disitu lebih senyap. Jadi mereka enggak akan bakal menjumpai kita disitu. Disana kita bisa bahas apa yang kita akan lakukan seterusnya." Austin memberi ide. Bangunan gedung pustaka hanya beberapa meter dari tempat mereka berdiri.

"Okay." Nicolas memotong Austin dan mulai berjalan.

"Kak… Aku takut." Ana bersuara.

"Jangan khawatir. Kakak kan ada disini. Kakak akan pastikan kita selamat." Austin memberi kata-kata semangat. Ana mengangguk kepalanya. Lalu mereka berdua mengikut jejak Nicolas ke gedung pustaka.

***

Austin berhati-hati membuka pintu gedung pustaka yang terpaksa ditolak secara manual karena ketiadaan listrik. Di dalamnya terlihat gelap tanpa cahaya. Austin menyalakan lampu di tabletnya. Mujur baterinya masih ada lagi. Dia masuk ke dalam gedung pustaka itu dengan senyap dan memberi isyarat supaya Nicolas dan Ana mengikut belakangnya.

"Nic, jagain pintunya," Austin memberitahu Nicolas.

Tiada bunyi yang kedengaran di dalam gedung pustaka. Gedung pustaka masih menyimpan buku-buku. Disitu juga terdapat komputer-komputer moden yang digunakan untuk mencari informasi. Ada bilik bacaan di setiap tingkat, dan buku-buku di rak yang mengelilingi tembok gedung pustaka.

"Ana, kamu rehat aja dulu disini." Austin mengarah.

Ana duduk di kerusi yang terdekat. Nicolas pula sedang memerhati keadaan di luar gedung pustaka dan berjaga. Austin berjalan dengan perlahan sambil melihat sekitarnya. Beberapa langkah diambil sehingga akhirnya dia terlihat satu pintu. 'Dibenarkan untuk pekerja saja'.

"Nic! Nic!" Austin memanggil.

"Ada apa?" Nicolas membalasnya perlahan. Austin menunjuk dia ingin masuk ke dalam bilik itu.

"Okay, aku jaga di luar." Nicolas membalas.

Austin masuk ke dalam bilik itu. Di dalamnya adalah bilik kawalan gedung pustaka. Ada beberapa skrin kecil tetapi mati semuanya. Di tembok ada kad kunci untuk setiap bilik di dalam gedung itu. Terdapat sebuah almari di satu sudut yang menyimpan kelengkapan kecemasan. Austin membuka almari itu. Terdapat kit medik dan kotak bertulis 'Lost and Found'. Austin mengambil kotak itu dan coba mencari sesuatu yang boleh digunakan.

Tablet, kad kunci, kad nama, topi, kot, payung, fon telinga….lampu suluh.

"Ini pasti berguna." Austin mengambil dua lampu suluh yang ada di dalam kotak itu. Lampu suluh itu masih bisa digunakan walaupun sudah dimakan usia.

Austin meletakkan kotak itu kembali ke tempat asal. Sebelum dia meletakkan kotak itu, dia terlihat tukul kapak di dalam kotak bertulis 'Tools'.

"Kak! Kak! Kak Austin!" Ana memanggilnya dari arah luar dalam nada gawat. Austin terus mengambil tukul dan kapak itu terburu-buru.

"Kak, bunyi makhluk-makhluk itu semakin hampir." Ana memberitahu. Nicolas menghampiri mereka.

"Mereka datang ke sini. Cepat, kita harus sembunyi!" Nicolas menolak Ana dan Austin ke dalam bilik itu semula.

***