Aku berusaha menahan air mataku. Tubuhku sudah bergetar. Semakin bergetar kala bibir Dion menyusuri leherku. Kedua tanganku ditahannya di atas kepalaku dengan satu tangannya. Tangannya yang satu lagi berusaha melepaskan kancing piyama tidurku. Untung aku memakai bra. Jadi payudaraku tidak bersentuhan langsung dengan tangan menjijikkan Dion. Aku memejamkan mata karena takut. Aku meronta. Kakiku menendang tak tentu arah.
Bibir Dion perlahan turun ke arah dadaku yang sudah terbuka memperlihatkan sedikit payudaraku yang menyembul dibalik bra.
"Brengsek!"
Dewa.
Aku langsung membuka mata saat ku rasakan tubuh Dion sudah tidak ada lagi di dekatku. Benar Dewa. Dia seperti kesetanan memukul Dion. Aku menjerit saat darah segar keluar dari mulut pria gila itu. Dewa belum ingin berhenti. Dia menduduki tubuh Dion yang sudah tak berdaya. Aku menahan lengan Dewa saat ia menggapai vas bunga di atas meja kecil di samping sofa.
"Mas, jangan!"
Dewa melempar vas itu ke sembarang arah. Dia bangkit berdiri, kemudian mengeluarkan ponselnya menelepon seseorang.
"Urus surat perceraian ku segera."
Aku mengejar Dewa yang berlalu setelah memutuskan teleponnya. Dia memasuki dapur. Mengambil gelas dan menuangkan air putih. Meneguknya hingga habis. Dewa memindai meja makan yang dipenuhi makanan kesukaannya.
"Sialan!" desisnya.
Aku tidak takut sama sekali pada Dewa yang berkata kasar seperti malam ini. Aku lebih takut pada perbuatannya yang tergesa. Seolah menyimpulkan sendiri apa yang terjadi.
"Mas," panggilku pelan.
"Jangan sekarang. Aku capek."
Suaranya terdengar asing. Apalagi panggilan aku yang dia gunakan memanggil dirinya. Benar-benar bukan suamiku.
"Mas, aku mohon dengar dulu."
Air mataku luruh. Aku memeluknya dari belakang. Aku terisak di punggungnya. Kepalaku benar-benar pusing saat mendengar kata perceraian dari mulutnya.
"Aku bertemu Dion di kampus 4 hari lalu. Saat Mas nelepon waktu itu dia sudah ada di sampingku. Aku tidak tahu, Mas. Aku menunggu giliranku untuk bimbingan. Dia mengajakku mengobrol dan aku tidak menanggapinya. Aku ingin pulang bertemu Mas sebelum pergi ke Bali. Tapi Dion menyeret ku ke mobilnya. Dion. ."
"Dan kalian bermesraan di sana. Berpelukan. Bahkan berciuman."
Aku menggeleng mendengar tuturan Dewa. Pasti ini salah satu strategi mereka menjebak ku. Dion dan Sissy memang dua kombinasi yang menakutkan. "Nggak seperti itu, Mas. Aku dipaksa! Aku udah berontak. Tapi Dion mendorongku. Aku nggak mau Dion menyakiti bayi kita, Mas. Aku rela harus dikasarin sama dia. Asal bayi kita baik-baik aja. Mas,. ."
"Tapi kamu menikmati pelukannya, Nin. Kamu membalas pelukan lelaki sialan itu!" Dewa membentak sekaligus membanting gelas yang sedang dia pegang. Aku semakin mengeratkan pelukanku pada perutnya.
"Mas salah. Aku tidak menikmatinya, Mas. Aku hanya mencari debar-debar yang dulu sempat aku rasakan saat bersamanya. Dan itu tidak aku temukan lagi."
Aku berusaha menjelaskan semuanya dengan napas putus-putus. Karena menangis sambil berbicara sangatlah sulit. Ingusku mengenai kemeja Dewa. Aku tidak peduli. Aku semakin menekan wajahku pada punggungnya.
"Mas, ngomong."
Dewa melepaskan belitan lenganku pada perutnya. "Tidurlah. Udah malam."
Aku berpegangan pada tepi meja saat Dewa berlalu pergi dari dapur. Aku duduk sambil menenggelamkan wajahku di meja makan.
"Maafin aku, Mas. Aku salah. Aku salah."
Bahkan aku tidak bisa berhenti terisak. Aku takut Dewa meninggalkanku. Aku mencintainya.