Aku memejamkan mata menikmati rasa dingin yang menyentuh kulitku. Setelah insiden salah paham antara aku dan Dewa selesai tadi pagi di ruang kerjanya, rasanya aku benar-benar kembali menjadi manusia hidup. Bukan berarti selama 3 hari belakangan aku tidak hidup. Hanya saja aku seperti mayat hidup karena tidak punya semangat.
Dewa sedang kedatangan tamu di ruang kerjanya. Katanya itu pengacara kepercayaan keluarga suamiku untuk mengurus hal-hal yang bersangkutan dengan kasus Dion. Kejadian selama 4 hari kemarin berputar seperti sebuah film di otakku. Dion yang kembali muncul menggangguku. Rencana jahat Sissy, sepupuku. Dan salah paham antara aku dan suamiku.
Aku menghela napas pelan secara teratur. Mencoba mengontrol emosi yang kembali terasa sesak di dadaku. Masih terekam jelas di benakku raut terluka dan penyesalan di wajah Dewa. Seberapa besar dia mencintaiku sampai dia menangisi kesalahannya karena sudah mengabaikan ku. Aku sama sekali tidak masalah kalau dia marah atau memakiku asal dia tidak mendiamkan ku. Rasanya benar-benar sesak. Dadaku bagai dihantam batu besar secara bertubi-tubi.
Bibirku melengkung sempurna ke atas kala mengingat kejadian tadi pagi. Saat aku keluar dari kamar setelah memastikan suamiku tidur dengan tenang, aku memasuki dapur. Saat itu yang aku temukan adalah sisa masakan ku. Dewa memakan masakan yang aku buat untuknya. Walaupun tidak menghabiskannya karena memang aku masak porsi banyak. Aku rasa dia melakukannya saat dia sudah memindahkan tubuhku yang tertidur dimeja makan ke dalam kamar.
Lamunanku buyar ketika pintu kamar mandi terbuka dan masuklah sosok Dewa-ku.
"Sayang," Aku tersenyum melihatnya melepaskan pakaiannya. "Jangan lama-lama berendamnya. Nanti masuk angin," lanjutnya.
Aku menggeser dudukku kala Dewa ikut masuk ke dalam bathtub. Dia menarikku menyandar ke dadanya. Tangan kekarnya mengelus lembut perutku. "Nanti jagoan kita kedinginan," ucapnya sambil memberi kecupan-kecupan singkat di bahu telanjangku.
"Ada Ayah yang meluk. Gak dingin lagi."
Dewa tertawa. "Udah hampir jam 5 loh. Udahan, ya. Bunda sama Mama bentar lagi ke sini."
Aku memiringkan kepalaku sehingga bisa menatap Dewa dari samping. "Hm, keburu nyaman begini."
Ujung hidungku digigit gemas oleh Dewa. "5 menit lagi. Habis itu gak ada alasan. Mas bakal angkat kamu begini keluar kamar."
Aku tertawa sambil memukul pelan lengannya yang melingkar di perutku. "Gak tahu malu, ih. Keluar telanjang."
"Cuma berdua gak apa-apa," bisiknya sambil meniup kupingku.
"Geli, Mas."
***
"Astaga, Kak. Kamu gak terluka, kan?" Adalah kalimat pertama saat Bunda melihat keadaanku. Memang Dewa sudah menceritakan ke Bunda dan Mama soal Dion menggangguku. Bunda jelas saja marah. Bahkan Ayah dan Alan, adikku sampai mendatangi rumah Tante Nina. Ayah menceritakan segalanya. Bahkan Ayah secara terang-terangan mengatakan akan memenjarakan Sissy jika ia terbukti bekerja sama dengan Dion, suaminya.
Keluargaku belum tahu mengenai video yang ada di ponsel Tika. Video itu nantinya akan menjadi kejutan besar di persidangan Dion. Aku sama sekali tidak punya simpati lagi pada Sissy. Walaupun dia sepupuku, aku tidak akan memberinya kebebasan kali ini. Hanya saja, aku memikirkan tanteku, ibunya Sissy. Beliau begitu baik dan aku tidak sanggup harus melihatnya terluka semakin dalam.
"Kakak baik-baik aja kok, Bun. Lihat, kan gak kenapa-napa?"
Bunda memelukku. "Bunda gak tahu keadaan kamu kalau seandainya Dewa gak pulang tepat waktu, Kak. Bunda..." Suara Bunda bergetar. Dia menangis di pelukanku. Aku mengelus lembut punggung Bunda, berusaha menenangkannya.
"Itu artinya Tuhan sayang sama Indi, Bun. Makanya Mas Dewa cepat sampai di rumah."
Bunda mengangguk. Tangannya yang lembut mengusap pelan wajahku. "Kamu beruntung punya Dewa, Kak."