"Hayden, bangunlah." panggil Sheren sambil menatap wajah Hayden yang terlihat pucat dan badannya terasa hangat.
"Hem..." sahut Hayden memeluk pinggang Sheren tanpa membuka matanya.
"Hayden... kamu harus bangun sayang, bukankah jam sepuluh kamu harus menikah?" ucap Sheren seraya mengusap wajah Hayden yang masih hangat.
"Biarkan aku tidur sampai nanti Sher, aku tidak ingin menikah." ucap Hayden semakin mempererat pelukannya.
"Apa yang kamu katakan Hayden? pernikahan kamu telah di tetapkan? kamu harus pergi ke rumah Tuan Abram." ucap Sheren berusaha membujuk Hayden agar segera bangun.
"Tidak Sheren, jangan menyuruhku pergi. Aku hanya ingin di sini bersamamu." ucap Hayden tidak melepaskan sedikitpun pelukannya.
"Hayden, kamu tidak bisa seperti ini? cepatlah bangun aku, akan membantumu untuk bersiap-siap." ucap Sheren sambil menarik tangan Hayden agar bangun dari tidurnya.
"Aku mohon Sheren, biarkan aku memelukmu sampai waktu itu tiba." ucap Hayden dengan suara bergetar.
Hati Sheren ikut merasakan kesedihan yang di alami Hayden.
Sambil menahan nafas, Sheren membiarkan Hayden memeluk pinggangnya.
Setelah beberapa saat kemudian, kembali Sheren memanggil Hayden agar Hayden segera bangun.
"Hayden, waktunya sudah hampir tiba. Kamu harus datang sebelum acara di mulai. Mereka pasti sudah menunggumu Hayd" ucap Sheren tidak tahu lagi bagaimana cara untuk membujuk Hayden.
"Biarkan saja mereka menunggu. Aku tidak peduli dengan mereka." ucap Hayden dengan suara berat.
"Kamu tidak boleh seperti ini Hayden, kamu sudah setuju dengan kesepakatan Tuan Abram. Kamu harus ingat keluarga kamu Hayd, terutama Papa yang sedang sakit saat ini." ucap Sheren mengingatkan Hayden akan tujuannya.
Mendengar ucapan Sheren tentang keluarganya, dengan berat hati Hayden bangun dari tidurnya dan duduk di samping Sheren.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Hayden dengan tatapan sedih.
"Bangun dan mandilah, aku akan mempersiapkan pakaian kamu." ucap Sheren dengan tersenyum.
"Aku akan cuci muka saja." ucap Hayden tidak ingin tampil sempurna di mata keluarga Abram.
"Hayden, tidak bisa begitu. Kamu harus tetap mandi." ucap Sheren seraya membantu Hayden berdiri dan mendorong pelan punggung Hayden agar ke kamar mandi.
Dengan terpaksa Hayden masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan badannya.
Setelah memastikan Hayden masuk ke kamar mandi, Sheren duduk lemas di pinggir tempat tidur.
Air mata Sheren menetes di pipinya, tanpa ada suara Sheren menangis dengan segala kesedihannya.
"Ya Tuhan, ujian apa yang harus aku jalani dengan suamiku? seandainya aku bisa memilih, dan tidak melihat keluarga suamiku menderita? aku tidak akan bisa melepas suamiku pada wanita lain. Aku sangat mencintainya Tuhan, tapi aku juga sangat menyayangi keluarga suamiku yang sudah seperti keluargaku sendiri. Kuatkan hatiku agar ikhlas menerima ujian ini." ucap Sheren seraya mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir di pipinya.
"CEKLEK"
Mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, segera Sheren mengusap air matanya dan bangun dari duduknya menuju ke almari pakaian.
"Sheren, di mana pakaianku?" tanya Hayden mendekati Sheren yang berdiri di almari memilih pakaian untuknya.
"Apa kamu menyukai kemeja ini?" tanya Sheren sambil menunjukkan kemeja biru gelap.
"Apa saja kamu pilih, aku pasti menyukainya Sher." ucap Hayden sambil mengeringkan rambutnya.
Sheren tersenyum, kemudian memberikan kemeja yang di pilihnya pada Hayden.
"Aku ingin kamu memakaikannya Sher, kamu tidak keberatan kan sayang?" tanya Hayden sambil memeluk pinggang Sheren.
"Tentu aku tidak keberatan, sudah kewajibanku untuk melayanimu." ucap Sheren dengan tersenyum.
Hayden menelan salivanya, sungguh melihat Sheren tersenyum seolah-olah ada sejuta mata pisau menusuk jantungnya.
Hayden tahu, apa yang di rasakan Sheren. Ada sejuta luka dan kesedihan dalam hatinya. Tapi Sheren tidak pernah memperlihatkannya.
Dengan hati sedih, Hayden memeluk erat tubuh Sheren dan berulang-ulang mengecup puncak kepala Sheren.
"Maafkan aku sayang, maafkan aku. Seandainya aku ada jalan keluar yang lain. Bahkan aku bisa menjual nyawaku untuk menutupi hutang-hutangku. Pasti akan aku lakukan." ucap Hayden tidak bisa menahan rasa bersalahnya pada Sheren yang sudah tidak punya keluarga selain pamannya.
Sheren berdiri terpaku tidak bisa berkata apa-apa, selain mengusap punggung Hayden dengan perasaan sedih.
"Kamu harus kuat Hayden, kita harus yakin semua akan baik-baik saja." ucap Sheren dengan suara pelan kemudian melepas pelukan Hayden untuk melanjutkan mengancingkan kemeja Hayden.
"Sheren, hari ini hari terakhir kita merasakan kebahagiaan. Setelah ini, aku akan menjalani hidupku seperti di neraka. Hanya di rumah ini dengan hidup bersamamu aku seperti berada di surga." ucap Hayden menangkup wajah cantik Sheren.
"Pintu rumah kita akan selalu terbuka untukmu Hayd." ucap Sheren dengan tatapan penuh cinta, kemudian mengambil jas hitam milik Hayden.
"Kamu sangat tampan hari ini, seperti saat kita menikah beberapa hari yang lalu." ucap Sheren dengan tersenyum sambil memakaikan jas Hayden.
"Hari itu aku sangat tampan dan hatiku di penuhi kebahagiaan. Tapi sekarang, hanya kesedihan dan kabut hitam yang aku rasakan." ucap Hayden dengan tatapan terluka.
"Kamu harus kuat demi keluarga kita. Sekarang kamu harus siap-siap untuk pergi." ucap Sheren dengan hati menangis.
Hayden melihat ke jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih dan acaranya di mulai jam sepuluh pagi.
"Pergilah Hayden, jangan sampai mereka kecewa karena menunggumu." ucap Sheren sambil mengusap lembut wajah Hayden.
"Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini Sher, seperti aku berjalan ada jurang yang sangat dalam dan aku jatuh di dalamnya. Entah aku bisa hidup atau tidak." ucap Hayden sambil mengusap wajahnya dengan kesal.
"Ingatlah keluarga kita Hayden, kita pasti bisa melewati ujian ini. Sekarang kamu harus pergi." ucap Sheren menatap lembut wajah Hayden kemudian mencium bibir Hayden dengan penuh rasa cinta.
Dengan hati penuh kesedihan, Hayden membalas ciuman Sheren tanpa ada habisnya.
"Drrrt... Drrrt... Drrrt"
Ponsel Hayden berbunyi terus menerus, namun itu tidak menghentikan ciuman Hayden pada Sheren.
"Hayden, hentikan sayang. Panggilan itu pasti dari Tuan Abram. Cepat terima panggilannya." ucap Sheren sambil meraih ponsel Hayden dan di berikan padanya.
Hayden menerima ponsel dari Sheren dan melihat nomor Tuan Abram di sana. Tanpa menerima panggilan Tuan Abram, Hayden memasukkan ponselnya ke dalam kantong celananya.
"Sheren, tunggu aku pulang. Setelah aku menikahinya, aku akan pulang ke sini." ucap Hayden menangkup wajah Sheren.
Sheren menganggukkan kepalanya agar Hayden merasa tenang.
"Aku pergi." ucap Hayden seraya mengecup kening Sheren dengan penuh perasaan.
"Hati-hati Hayden, kamu harus tetap tenang." ucap Sheren dengan tersenyum.
Dengan perasaan berat Hayden meninggalkan Sheren untuk segera pergi ke rumah Abram yang sudah menunggu kedatangannya.
Setelah Hayden pergi, tubuh Sheren merosot di pintu kamar. Sheren menangis meratap melepas semua rasa sakit dan kesedihan di hatinya.