Edo, Wahyu, dan Anisa hari ini berangkat ke Cirebon. Dengan tujuan mencari ayah dari Anisa. Mereka pergi dengan menggunakan mobil. Mereka hanya tahu alamat terakhir ada di kecamatan Pekalipan. hanya kecamatan saja yang mereka kantongi. Desa apa dan itu rumah sendiri atau mengontrak, Anisa juga tidak tahu.
"Kamu masih ingat wajah Ayahmu kan, Nis?" tanya Wahyu yang duduk di bagian depan bersebelahan dengan Edo yang sedang mengemudi.
"InsyaAllah masih, Pak. Saya ditinggal Ayah kan sudah berumur lima belas tahun, jadi saya masih ingat bagaimana wajah Ayah. Dan masih ada foto ayah juga. Semoga saja Ayah tidak banyak berubah." ucap Anisa yang tampak gelisah.
"Bapak sudah menghubungi teman bapak di Cirebon. Memang sih beda kecamatan. Tapi beliau kenal dengan Camat di daerah Pekalipan. Ini Bapak sedang menunggu informasi dari mereka." Wahyu sudah tahu nama lengkap Ayah Anisa dan meminta tolong pada temannya untuk mencari informasi tentang nama itu.
"Terimakasih, Pak. Sebenarnya saya enggan untuk bertemu Ayah. Karena beliau sudah menyakiti hati bunda." Anisa terlihat mutung saat mengucapkan itu. Dia ingat bagaimana dulu dengan teganya sang Ayah meninggalkan bundanya demi perempuan lain.
"Bapak tahu, Nis bagaimana perasaanmu. Tapi bagaimanapun juga beliau tetap Ayahmu. Dan sebagai anak yang berbakti, kamu harus meminta izin padanya ketika akan menikah. Kalau dia tidak mau menikahkan, berarti nanti kamu akan memakai wali hakim. Tapi bapak harap Ayahmu sudah berubah lebih baik sekarang. Dan mau menjadi walimu." Wahyu berusaha untuk menengahi permasalahan Anisa. Edo yang sedang mengemudi, sesekali ikut menimpali, tapi dia lebih banyak diam. Dia kadang melirik Anisa dari kaca spion.
"Aamiin.. Terimakasih Pak Wahyu, maaf saya jadi merepotkan Bapak."
"Eh, tidak apa-apa, Nak. Kalau nanti kamu jadi menikah sama Idris, kamu juga akan jadi menantu Bapak. Dan akan jadi bagian dari keluarga kami. Tidak usah sungkan, ya kan, Dris?"
"Iya, Bi."
"Kalian sudah persiapkan semua dokumen yang dikumpulin ke KUA?"
"Sudah, Bi."
"Sudah, Pak."
"Alhamdulillah.. Semoga langkah kalian dimudahkan. Menikah itu bukan untuk sehari dua hari, nak. Tapi seumur hidup. Jadi apa kalian sudah memantapkan hati itu itu? Abi tidak bermaksud membuatmu ragu, Dris. Tapi apa kamu sudah salat istikharah?"
"Alhamdulillah sudah, Bi. Dan hati saya mantap memilih Anisa menjadi pendamping saya." ucap Edo mantap.
"Alhamdulillah. Kamu bagaimana Anisa? sudah mantap menjadi pendamping Idris?"
"InsyaAllah, Pak. Saya kenal bang Edo sudah lama. Biarpun dia pernah jadi preman, tapi dia adalah sosok yang baik. Dan Insyaallah saya mantap."
"Alhamdulillah syukurlah kalau kalian sudah mantap. Langkah kalian tinggal menemui Ayahnya Anisa saja. Jika kali ini bisa ketemu, dan beliau mau menjadi wali nikah Anisa, maka jalan kalian InsyaAllah akan lancar."
Perjalanan Jakarta-Cirebon dengan jalur darat lewat tol Cipali memakan waktu kurang lebih empat jam. Karena mereka harus berhenti sebentar di rest area. Mampir dulu sebentar di masjid yang ada di rest area untuk menunaikan salat dzuha.
Sesampainya di kota Cirebon, tidak begitu sulit untuk Wahyu yang pernah juga sering diundang untuk mengisi tausyiah di sana. Rekannya yang membantu mencari informasipun sudah menunggu di kantor kecamatan Pekalipan. Anisa merasa lega karena ada warna dengan nama yang sama dengan Ayahnya Hermawan. Tapi juga ada rasa gelisah. Karena pemilik nama itu kan banyak. Jadi Anisa tidak berani terlalu berharap. Tapi dia tetap berdoa semoga itu memang Ayahnya.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di kantor kecamatan Pekalipan. Karena memang tidak terlalu jauh dari pusat kota.
"Anisa, ayo turun. Kita ketemu dengan teman Bapak dulu." Ajak Wahyu.
"Iya, Pak." Edo membukakan pintu untuk Anisa. Mereka berjalan berdua dengan Wahyu berada di depan mereka.
Mereka kemudian disambut oleh teman Wahyu dan Camat setempat. Beruntung mereka sampai di sana baru pukul sepuluh pagi. Jadi masih banyak waktu untuk mencari Ayahnya Anisa.
"Assalamualaikum.. Ustadz Abdul," Wahyu bersalaman dengan Abdul dan Camat Pekalipan.
"Waalaikumsalam.. Ustadz Wahyu, ini anak dan calon menantu yang mau mencari walinya ya?"
"Iya Ustadz. Walau bisa menggunakan wali hakim, tapi kan Ayahnya masih hidup. Tidak ada salahnya kita mengusahakan mencarinya dulu. Kalau ikhtiarnya sudah maksimal tapi belum ketemu juga, baru kita akan pakai wali hakim."
"Iya belum Ustadz. Begini, tadi saya dan Pak camat sudah mencari datanya. Dan nama Hermawan itu ada di dua kelurahan yaitu di Pakalangan dan Pulaaren. Nah kita juga tidak tahu yang mana. Kalo boleh tahu umurnya berapa ya, Dek?" tanya Abdul pada Anisa.
"Sekitar 45 tahun, Pak."
"Yang ada di Pakalangan umurnya 46 dan yang di Pulasaren 44. Tidak ada yang 45, Dek. Atau mau kita coba temui satu per satu?"
"Ya lebih baik begitu, Ustadz." Setelah semua setuju akhirnya mereka bertiga ditambah Ustadz Abdul dan Pak Camat pergi ke kelurahan Pekalangan terlebih dahulu. Tidak terlalu jauh. Mereka mencari alamat yang ada di data. Setelah sampai di sana ternyata bukan Ayahnya Anisa.
Mereka melanjutkan perjalanan ke kelurahan yang satunya lagi yaitu Pulaaren. Ini adalah harapan terakhir Anisa.
"Assalamualaikum.. benar disini rumah bapak Hermawan?"tanya Wahyu pada seorang lelaki yang berdiri di teras rumah. Rumah yang hanya sepetak-sepetak.
"Waalaikumsalam.. maaf rumahnya yang itu." laki-laki itu menunjuk ke arah rumah berukuran kecil yang sangat sederhana. Anisa sampai tak percaya jika Ayahnya bisa tinggal di rumah kecil seperti itu. Dulunya Ayahnya adalah seorang pengusaha yang punya cabang di Cirebon. Sedangkan yang di Jakarta, Anisa sama sekali tidak mau tahu. Anisa ragu mungkin yang ada di depannya ini bukan rumah Ayah kandungnya.
"Orangnya ada di rumah, Pak?"
"Kalau jam segini masih jualan keliling?"
"Jualan keliling?"
"Iya Pak Her kan jualan tahu gejrot keliling ke kampung-kampung."
"Pak Wahyu sepertinya kita salah orang." ucap Anisa ragu.
"Masa sih, Nis?"
"Ayah saya seorang pengusaha dulu. Jadi tidak mungkin beliau tinggal di rumah sekecil ini apalagi jualan keliling."
"Sejak kapan Ayahmu pergi, Dek?"
"Sejak tujuh tahun lalu Pak Camat."
"Dalam waktu tujuh tahun, segala kemungkinan bisa saja terjadi, Dek. Begini saja kita tunggu saja sampai beliau pulang. Pak, biasanya Pak Hermawan pulang jam berapa?"
"Biasanya kalau mau dzuhur beliau pulang. Lalu setelah jam satuan berangkat lagi." ucap tetangga itu.
"Dzuhur itu sekitar satu jam lagi. Kita tunggu aja dulu di sini. Nanti kalau memang sudah pasti bukan. Baru kita pikirkan cara lain."
"Iya, Pak. Kita tunggu." mereka dipersilakan laki-laki yang merupakan tetangga Pak Hermawan tadi di rumahnya. Melihat Anisa tampak murung, membuat Edo prihatin.
"Nis, kamu capek ya?" Tanya Edo.
"Enggak, bang. Tapi aku cuma mikir kalau memang itu benar Ayahku, apa yang sebenarnya terjadi dengan beliau? tapi jika itu bukan Ayahku, kita harus cari kemana lagi?"
"Sabar ya. Semoga Ayahmu segera ketemu. Apapun kondisinya, kamu harus siap."
"Iya, bang."
Mereka semua ngobrol banyak hal. Sampai tak terasa waktu hampir dzuhur. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertopi dengan memakan handuk kecil yang melingkar di lehernya berjalan membawa pikiran lewat depan rumah si tetangga tadi.
"Pak Her.." Teriak si tetangga. Laki-laki yang dipanggil Pak Her itu menoleh.
Anisa mengamati sambil mengingat-ingat apa benar itu Ayahnya. Waktu topi bapak itu dibuka baru Anisa yakin. Wajahnya pun berubah sendu.
***
Kangen sama bang Aydin dan Mahira? sabar ya. Biar Bang Edo dan Anisa menyelesaikan masalahnya dulu. 😊😊