Anisa antara yakin dan tidak dengan seseorang yang dia lihat saat ini. Bahkan untuk melihat orangnya saja, dia tidak bisa. Bapak penjual tahu gejrot itu itu hanya menunduk saat tetangganya memanggil namanya.
"Ada apa, Sep?" tanya laki-laki yang dipanggil Pak Her.
"Pak Her, ini ada yang mencari bapak. Mereka dari Jakarta." Saat mendengar nama kota itulah, Pak Her mau mendongak. Dia melihat orang-orang yang tampak asing baginya. Tapi di antara orang-orang itu, ada wajah yang tidak asing untuknya. Seorang gadis yang tidak jauh berubah dari tujuh tahun lalu ketika ia tinggalkan.
"Ayah??" Anisa masih ragu dengan pandangannya. Ayah yang dulu terlihat segar bugar dan gagah. Kini terlihat kurus dan kusut wajahnya. Apalagi dengan pikulan dipundaknya. Membuat hati Anisa trenyuh.
"Anisa??" Laki-laki itu juga memastikan gadis yang ada di depannya ini adalah anak perempuannya yang pernah ia telantarkan.
"Ayah.." Bukannya benci, Anisa justru mendekat dan memeluk Ayahnya. Pak Her pun menaruh pikulannya dan membalas pelukan anaknya.
"Anisa, ini beneran kamu, Nak?" Hermawan menangis saat memeluk putrinya. Anisa juga menangis sesenggukan. Edopun ikut prihatin melihat calon istrinya akhirnya bisa bertemu dengan Ayahnya. Dia bersyukur karena niat baiknya mencari restu orangtua Anisa dimudahkan oleh Allah. Dan belum ada satu hari mereka mencari, Allah telah mempertemukan mereka.
"Alhamdulillah.." Wahyu ikut bahagia dan bersyukur. Akhirnya Anisa bisa bertemu dengan Ayahnya.
"Ayah kenapa jadi kurus begini? sejak kapan ayah jualan tahu gejrot?" tanya Anisa saat melepaskan pelukannya.
"Ceritanya panjang, Nis. Ayo kita ngobrol di rumah kontrakan Ayah. Mari bapak-bapak semuanya." Hermawan akhirnya berani mengajak rombongan yang ikut bersama anaknya.
"Iya Pak, mari." Setelah berpamitan dengan Asep, rombongan Anisa pun mengikuti Hermawan ke rumahnya.
"Mari silakan duduk. Maaf hanya ada air putih, Pak." Hermawan mengambil teko berisi airputih. Tak ada cemilan atau apapun. Dia ingat masih punya tahu sumedang yang akhirnya dia sajikan untuk tamunya. Perasaannya sangat bahagia saat melihat putrinya yang semakin dewasa dan semakin cantik. Tapi dia masih penasaran dengan orang-orang yang bersama dengan Anisa.
"Tidak usah repot-repot, Pak." ucap Wahyu yang tampak iba dengan keadaan ayahnya Anisa. Rumah kontrakan sederhana. Wahyu tidak tahu apa yang terjadi dengan calon besannya ini.
"Tidak apa-apa Pak. Hari ini saya sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan putri saya. Tapi ada perlu apa kalian semua datang ke sini?"
Wahyu menoleh ke arah Anisa lalu mengangguk. Sebagai tanda agar Anisa yang menjelaskan semuanya pada Ayah kandungnya.
"Ayah, sebelumnya Anisa minta maaf karena tidak pernah menjenguk Ayah di sini."
"Ayah mengerti, Nis. Kamu dan bundamu mungkin sudah terlanjur benci pada Ayah. Aku ini ayah macam apa? yang tega menelantarkan anak dan istri demi perempuan kejam tak berperasaan."
"Apa maksud Ayah? Apa perempuan itu yang membuat Ayah seperti ini?" Anisa menggenggam tangan Ayahnya.
"Iya, Nis. Dia yang mengambil semua harta ayah. Sampai ayah tidak punya apa-apa. Dia membawa lari semua yang ayah punya. Sejak lima tahun lalu, Ayah berpindah-pindah tempat kontrakan. Dan sudah tiga tahun Ayah tinggal di sini. Karena sewanya murah. Ayah terpaksa berjualan tahu gejrot keliling kampung untuk menyambung hidup." Hermawan memandang ke langit. Mungkin sedang mengingat lagi kepahitan yang dia alami selama ini.
"Kenapa ayah tidak kembali ke Jakarta? kembali pada aku dan bunda?"
"Tidak, Nis. Ayah malu kalau harus kembali pada kalian. Ayah tidak punya nyali sedikitpun untuk menemui kalian."
"Kami tentu akan menerima Ayah kembali." Anisa terisak. Tidak mampu membayangkan betapa menderita ayahnya selama ini.
"Tidak Anisa. Ayah harus menebus semua kesalahan Ayah dengan cara seperti ini. Kalian berhak bahagia. Biar ayah menanggung kesusahan sendiri. Tanpa melibatkan kalian." ucapan Hermawan membuat semua orang tersentuh.
"Ayah, mulai sekarang tinggallah bersama bunda dan aku lagi ya. Kita mulai semuanya dari awal lagi. Bunda sudah memaafkan Ayah koq."
"Tapi ayah tidak sanggup bertemu bundamu, Nis."
"Ayah, Aku ke sini karena ingin meminta restu ayah sekaligus meminta ayah menjadi waliku. Oleh sebab itu ayah harus kuat untuk menemui bunda."
"Wali? kamu mau menikah, Nak?" Hermawan mendadak sumringah karena mendengar ucapan Anisa.
"Iya insyaAllah, Yah. Kenalin ini Bang Idris calon suami Anisa, Yah." Anisa menunjuk Edo. Edo tersenyum sambil mengangguk pada Ayahnya Anisa.
"Alhamdulillah, Ayah senang sekali mendengarnya, Nak. Kapan kamu akan menikah?"
"InsyaAllah bulan depan, Yah. Dan ayah harus datang menjadi waliku ya, Yah."
"Tapi Nis.."
"Maaf saya potong Pak Hermawan. Saya ini ayah tiri dari Idris. Saya yang menyarankan mereka untuk mencari anda. Karena jika orangtua masih hidup, hendaknya diusahakan untuk dijadikan wali. Kecuali jika anda memberikan wewenang pada wali hakim untuk menikahkan putri anda. Tapi apa anda tidak kasihan melihat Anisa yang harus nikah dengan wali hakim?" Wahyu berusaha membujuk Hermawan.
"Tapi saya belum siap bertemu bundanya Anisa, Pak. Dosa saya pada mereka sudah terlalu banyak. Saya malu kalau menemui Bundanya Anisa lagi." Hermawan menunduk malu. Mungkin sedang mengingat bagaimana sikapnya dulu pada Anisa dan ibunya.
"Pak, Allah saja maha pengampun. Saya yakin Bundanya Anisa mau memafkan Anda. Anisa saja mau memaafkan bapak lho. Jadi apalagi yang anda ragukan?"
Hermawan tampak menunduk saat mendengar ucapan Wahyu.
"Baiklah Pak, saya mau menjadi wali Anisa. Saya akan datang ke pernikahan mereka." Setelah memikirkan ucapan Wahyu, Hermawan pun mau menjadi wali bagi Anisa. Gadis itu sangat bahagia karena Ayahnya mau menjad walinya.
***
Satu bulan kemudian.
"Saya terima nikah dan kawinnya Anisa Fajarina binti Hermawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi, Sah?"
"Saah.." Hermawan sangat bahagia melihat putrinya yang tampak cantik dengan kebaya warna putih. Akhirnya hari ini Edo dan Anisa sah menjadi suami istri. Rasa bahagia di rasakan oleh keluarga mereka.
"Selamat ya, Nis. Akhirnya kamu jadi juga sama kakakku." Mahira segera memeluk sahabatnya yang sekarang menjadi kakak iparnya.
"Alhamdulillah makasih, Dek." Anisa dan Mahira saling melemparkan tawa mereka. Hingga keduanya dipanggil, karena Anisa harus menandatangani buku nikah dan foto bersama keluarga mereka.
"Terimakasih sudah mau menjadi istriku ya, Nis." ucap Edo malu-malu.
"Sama Bang. Makasih juga sudah mau jadi suamiku,.Bang." anisa merasa sangat bahagia. Dia sekarang mempunyai suami dan keluarganya kembali utuh. Sejak pertemuan mereka di rumah Hermawan waktu itu, Ayah Anisa kemudian berani menemui bundanya beberapa hari setelahnya.
"Hoek hoekk.." Mahira tiba-tiba berlari ke toilet rumah Anisa. Rasanya sangat mual menahannya.
*****
Mahira ngapain?. ya koq mual-mual.