Chereads / X-Code / Chapter 29 - Krisis Logard, Bagian #7

Chapter 29 - Krisis Logard, Bagian #7

Sebuah kabar mengejutkan datang dari markas Cerberus. Kabar tentang pergerakan pasukan Abaddon yang memberi kecemasan pada Ain dan teman-temannya. Bukan hanya Zinzam, Munkan juga sudah tunduk pada Abaddon tanpa perlawanan. Dengan kata lain, Abaddon telah menguasai seluruh daratan Logard.

Sudah dua hari berlalu semenjak mereka memulai perjalanan dari Elarina. Kedua mobil militer itu sudah tiba di sebuah pegunungan yang masih berada dalam wilayah Zinzam, pegunungan Aunania yang berada di sebelah timur Logard. Tinggal sehari sampai dua hari perjalanan lagi, mereka bisa tiba di Right Head.

Kedua mobil itu tengah melaju beriringan di jalan berliku yang mengitari pegunungan Aunania. Mobil rombongan Teir berada di depan, diikuti oleh mobil rombongan Ain dari belakang.

Selama perjalanan, mereka sering berpapasan dengan mobil militer Zinzam yang tengah berpatroli. Bukan hanya itu, dari atas juga seringkali terlihat pesawat anti-gravitasi milik pasukan Abaddon yang rutin berpatroli.

Untungnya, musuh tidak mencurigai mobil militer milik Zinzam yang mereka kendarai itu. Sebuah keputusan yang cerdas untuk berjalan di siang hari dengan menggunakan kendaraan milik pasukan musuh. Para pasukan Zinzam dan Abaddon mengira mereka hanyalah pasukan militer Zinzam yang tengah berpatroli.

Walaupun beberapa kali mereka sempat dihadang untuk proses pengecekan yang dilakukan oleh pasukan Zinzam maupun Abaddon, tapi kedua mobil itu berisi para petarung yang bisa dengan mudahnya melumpuhkan pasukan musuh.

Di siang hari mereka melaju tanpa istirahat. Paling hanya berhenti sejenak untuk berganti pengemudi, atau sekedar singgah untuk mencari makanan. Tapi kalau hari sudah menjelang malam, mereka mencari tempat tersembunyi untuk beristirahat.

Di malam hari, jumlah pasukan musuh yang berpatroli meningkat pesat. Ditambah tingkat kewaspadaan musuh yang juga ikut meningkat. Mau tidak mau, mereka harus berhenti melaju kalau malam sudah tiba.

[•X-Code•]

Malam itu mereka bersembunyi di sebuah kaki gunung, agak jauh dari jalan utama. Seperti malam-malam sebelumnya, secara bergantian mereka berjaga di daerah sekitar tempat istirahat. Sedangkan yang sedang tidak berjaga, beristirahat di dalam mobil.

Di rombongan Ain, Kiev mendampingi Ain untuk berjaga pada giliran pertama. Berjaga sekaligus mengintai, takutnya ada musuh yang mendekat.

Riev, Vabica, Marlat, Tiash dan Agna beristirahat di bagian belakang mobil. Tapi mereka tidak tidur karena belum mengantuk. Mereka memilih untuk berbincang-bincang ringan sambil menunggu rasa kantuk itu datang.

"Uh... Vabica, Ain itu... Seperti apa?" tanya Tiash ketika merasa ada peluang untuk bertanya. Malam-malam sebelumnya, Ain selalu berjaga di giliran terakhir ketika ia sudah tidur. Maka dari itu, baru malam itulah Tiash berkesempatan untuk menanyakan tentang Ain pada Vabica. "Mumpung Ain tidak ada," pikirnya.

"Hmm... Kak Ain, ya? Ya, seperti yang kau lihat... Dia punya sikap dingin dan datar. Tapi sebenarnya, hatinya tidak begitu. Kak Ain hanya tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan baik," jawab Vabica.

Tiash merasa tidak puas dengan jawaban itu. Kalau hanya itu, ia juga sudah mengetahuinya.

"Terus... Ada lagi? Aku ingin mengenal Ain lebih jauh lagi."

"Hmm...." Vabica berpikir sejenak sebelum menjawab. Setelah menemukan kata-kata yang tepat, barulah ia mulai menjelaskan. "Sedari kecil aku diasuh oleh orang tua angkatku di Melamia, sebuah kota di Zinzam yang berbatasan dengan Munkan. Suatu hari, kedua orang tua angkatku meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika keduanya bertugas di luar kota. Aku yang kehilangan orang tua ini kemudian ikut berkelana bersama pamanku. Saat itu aku baru berusia 4 tahun."

Vabica menghela napas panjang, dengan tatapan jauh menerawang masa lalu.

Tiash memerhatikannya dengan seksama.

Kemudian Vabica mulai melanjutkan lagi ceritanya. "Paman... Menganggap aku hanyalah beban. Jadi... Beliau menyerahkanku ke sebuah panti asuhan, yang aku sendiri lupa ada di mana." Wajah Vabica terlihat sedih ketika ia bercerita tentang masa lalunya, yang ternyata ada kaitannya dengan Ain.

"Dulu aku sangat cengeng... Setiap hari kerjaanku hanyalah menangis dan menangis. Aku yang sebatang kara, tidak tahu harus berbuat apa...

Tapi di sana ada seorang anak laki-laki yang lebih tua dariku. Tidak sepertiku yang cengeng, anak itu sangat ceria. Ia selalu menghibur anak-anak lain yang tengah bersedih. Walau usianya masih sangat muda, tapi anak itu bersikap lebih dewasa dibandingkan kami, anak panti asuhan lain. Dialah yang menghiburku, menjagaku, membuatku merasa... Aku tidak sendirian lagi di dunia ini... Aku menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri walaupun kami tidak punya ikatan darah.

Suatu hari, ketika aku bermain terlalu jauh ke dalam hutan, seekor serigala raksasa menghadangku. Anak itu, dengan hanya berbekal dahan pohon yang ia pungut dari tanah, dengan gagah berani melindungiku dari serigala lapar itu.

Dia berdiri tegak di hadapanku yang terduduk di tanah sambil menangis, lalu berkata padaku, 'Tenang saja, aku akan melindungimu!'. Padahal, aku bisa melihat dengan jelas tatapan penuh rasa takut darinya. Kaki dan tangannya juga gemetaran. Tapi anak itu... Demi aku... Dia berdiri tegak.

Akhirnya, aku dan anak itu berhasil melarikan diri begitu ada kesempatan," Jelas Vabica sembari tersenyum tipis. Matanya terlihat berkaca-kaca saat menceritakan itu.

"Anak itu adalah kak Ain," sambung Vabica yang kemudian meneteskan air matanya.

Semua yang ada di sana begitu terkejut mendengarnya. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Vabica dan Ain sudah saling mengenal dari dulu.

"Terus-terus, gimana?" tanya Tiash yang masih ingin mengorek informasi tentang Ain.

"Peristiwa itulah yang membuatku jadi seperti sekarang. Aku yang cengeng, gampang menyerah, manja... Berusaha untuk jauh lebih kuat lagi. Aku selalu mengingat tatapan kak Ain saat itu. Tatapan yang seolah berkata, 'Aku akan mengorbankan nyawaku untukmu'. Aku jadi bertekad untuk tidak lagi merepotkan siapapun." Vabica mengusap air matanya yang tak terbendung oleh rasa haru.

Tiash yang melihatnya, tersenyum lalu mengusap-usap pundak Vabica untuk memberinya rasa tenang.

Vabica tersenyum simpul sembari menatap Tiash dengan kedua bola mata yang masih digenangi oleh air mata. Ia pun melanjutkan ceritanya, "Bukan hanya aku. Anak-anak panti lain juga sangat mengagumi kak Ain yang pantang menyerah.

Hahaha... Aku jadi ingat... Kalau ditanya soal cita-cita, anak-anak lain akan menjawab dengan jawaban yang wajar, seperti 'Menjadi pasukan keamanan' atau 'Menjelajah ruang angkasa'. Tapi kak Ain malah menjawab, 'Aku akan jadi petarung terkuat di Logard! Aku ingin melindungi semua orang!'." Air mata kembali mengalir deras dari kedua bola mata Vabica.

"Bagaimana bisa? Ain yang dulunya begitu ceria, begitu bersemangat, sekarang jadi... Orang yang dingin....?" pikir Tiash yang tanpa sengaja malah terucap pelan dari bibirnya.

Semua yang ada di sana bisa mendengar perkataan Tiash. Riev dan Marlat pun berpikiran sama dengan Tiash.

Sedangkan Agna hanya terdiam menatapi Vabica dan Tiash secara bergantian, dengan tatapan polosnya. Entah apa yang ada dalam benak gadis itu.

Vabica merasa harus menceritakan apa yang terjadi, sehingga Ain berubah menjadi seperti yang sekarang. "Suatu hari... Secara tiba-tiba... Entah dari mana, sekelompok orang datang dengan kapal laut yang besar. Orang-orang itu menyerang panti asuhan, menyeret dengan paksa anak-anak yang ada di sana untuk dibawa ke dalam kapal.

Kami diperlakukan dengan kasar. Leher kami dirantai sambil ditarik paksa untuk ikut bersama orang-orang biadab itu. Bahkan... Beberapa dari kami dibunuh karena memberontak... Kak Ain... Kak Ain hanya terpaku... Kak Ain yang seumur hidupnya berada di panti asuhan itu... Hanya bisa menatap kami, yang sangat berharga baginya... Diperlakukan dengan kasar... Bahkan beberapa sampai dibunuh... Mungkin... Itulah yang membuat kak Ain jadi seperti sekarang...."

Vabica kembali menangis, tapi kali ini bukan oleh perasaan haru. Melainkan kesedihan dan kepedihan yang dalam. Ia sangat menyesali peristiwa saat itu. "Mengapa harus terjadi?!" jeritnya dalam hati. Ia menangis terisak-isak hingga bahunya bergetar.

Tiash memeluknya sembari mengusap-usap punggungnya lagi. Air matanya ikut mengalir membayangkan peristiwa naas itu.

Beberapa saat Vabica menangis, sampai akhirnya ia berhasil menenangkan diri.

"Setelah itu... Aku yang berhasil diselamatkan oleh pasukan Cerberus... Dibawa ke Right Head... Sedangkan kak Ain... Aku tidak tahu lagi... Semenjak malam itu, aku dan kak Ain terpisah...

Lalu beberapa tahun setelah peristiwa malam itu, aku bertemu dengan kakak kandungku, kak Heim. Darinya aku mengetahui semua, termasuk siapa aku sebenarnya. Juga tentang... Kak Ain yang katanya... Ada di Left Head...

Makanya... Setelah aku resmi bergabung dengan pasukan Cerberus, aku segera mengajukan diri untuk pindah ke Left Head, yang kebetulan sedang butuh tambahan personel... Tapi sayangnya... Kak Ain tidak mengenalku... Yah, wajar saja... Kami sudah tidak bertemu belasan tahun...."

"Hmm," Riev bergumam pelan. Ia yang juga ikut mendengar cerita, menghampiri gadis itu. "Kau salah, Vabica," ujar Riev sambil duduk di depan Vabica.

"Salah....?" tanya Vabica dengan heran.

"Iya. Ain bukan hanya tidak mengingatmu. Dia... Tidak mengingat apapun. Ingatannya hanya sampai pada saat ia dibawa ke Cerberus waktu berusia 7 tahun.

Aku rasa... Karena trauma dari peristiwa yang kau ceritakan tadi, alam bawah sadarnya menghapus ingatan Ain tentang masa lalunya. Jadi, jangan salahkan dia," jelas Riev sembari menatap Vabica dengan tajam.

Riev jadi lebih memahami sahabat karib, sahabat seperjuangan yang ia kenal sedari kecil itu setelah mendengar cerita dari Vabica.

"Begitu, ya?" Vabica menundukkan wajahnya dengan sedih.

Agna ikut menghampiri Vabica yang masih didekap oleh Tiash. Ia tersenyum lebar sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, lalu berkata dengan riang, "Ain! Hebat!"

Melihatnya, Vabica dan Tiash tersenyum.

"Iya Agna, kak Ain... Hebat...." ujar Vabica sembari mengusap air matanya. Ia jadi merasa bersalah karena sempat menganggap kalau dirinya tidak penting bagi Ain sehingga bisa terlupakan.

Tiash hanya terdiam sambil menatap Agna yang menyuguhi mereka dengan wajah ceria, seolah ingin menghibur. Ada yang mengganjal dalam benak Tiash, yang membuatnya mengajukan pertanyaan pada Agna, "Agna, Apa kau menyukai Ain?"

"Suka! Agna, Sayang!" jawab Agna dengan polosnya, dengan senyum lebar yang masih tersungging di bibir.

"Uh... Begitu, ya? Maaf, ya… Agna. Kalau begitu... Aku tidak akan lagi meminta Ain untuk jadi Xenatria... Hehehe...." Tiash tersenyum pada Agna. Namun pipinya malah dibasahi oleh air mata yang menetes. Ia merasa dirinya begitu egois memaksakan kehendak pada Ain. Terlebih lagi, ia merasa bersalah pada Agna yang ia pikir, punya perasaan khusus pada Ain.

"Uh-uh!" Agna menggelengkan kepala, lalu tersenyum lembut pada Tiash. "Tiash... Ain, Xenatria... Tiash," ujar Agna dengan lembut, disertai senyum tulus yang tidak dibuat-buat.

Tiash hanya tersenyum kecut menanggapi ucapan Agna. Ia berpikir kalau Agna tidak mengerti betul tentang Xenatria.

[•X-Code•]

Xenatria diharuskan untuk mendampingi perempuan yang menjadi 'Ratu'-nya seumur hidup. Bisa dibilang, Xenatria adalah sebutan untuk calon suami sang keturunan Ratu Kebangkitan Elyosa. Walau memang, ada beberapa yang tidak menikahi Xenatria-nya. Tapi kebanyakan para wanita keturunan Ratu Kebangkitan menikahi para Xenatria mereka.

Sempat beberapa kali orang tua Tiash ingin mencarikannya Xenatria. Tapi Tiash selalu menolak dengan tegas. Baginya, Xena yang akan mendampinginya seumur hidup haruslah ia pilih sendiri.

"Bodohnya aku," pikir Tiash dengan rasa sesal. Tanpa berpikir panjang, ia sudah seenaknya meminta Ain menjadi Xenatria baginya. Padahal di Logard banyak orang yang masih membutuhkan kehadirannya.

Rasa sesal itu menambah deras air mata Tiash. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Tiash begitu menginginkan Ain untuk menjadi Xena baginya. Tapi di sisi lain, ia tidak mau merampas dari mereka yang begitu menyayangi Ain.

Riev dan Marlat hanya terdiam mendengar percakapan Tiash dengan Agna. Kedua pemuda itu tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Pikiran keduanya tertuju pada Ain yang baru saja mereka ketahui masa lalunya.

Tak begitu lama, pintu belakang mobil terbuka. Ain dan Kiev terlihat berdiri di sana.

"Giliran kami sudah selesai," ujar Ain singkat dengan wajah datarnya, seperti biasa. Ia dan Kiev baru saja tiba di sana, sehingga tidak mendengar percakapan mereka tadi.

Dengan terburu-buru, Tiash dan Vabica mengusap air mata mereka, lalu menyunggingkan senyum pada Ain.

Riev beranjak dari tempatnya, lalu berjalan keluar dari mobil. "Oke! Nah... Ain, sahabatku! Beristirahatlah, kawan! Jaga para ladies itu okaay? Kau tidak sendirian, Ain!" ujarnya sembari mengacungkan jempol.

"Uh... Ain." Marlat yang juga bersiap untuk pergi berjaga, berhenti sejenak saat berpapasan dengan Ain. "M-Maafkan aku... Sempat membencimu...." ujarnya sambil berlalu pergi, tanpa menoleh ke arah Ain.

Vabica yang mengikuti Riev dan Marlat juga menghentikan langkahnya di dekat Ain. "K-Kak Ain... Selamat beristirahat, kak... Uh... Aku... Aku sayang kakak!" ujar Vabica dengan wajah tersipu, yang dengan terburu-buru langsung pergi menjauh.

"Haah?" Ain mengangkat sebelah alisnya dengan raut wajah heran setelah mendapat perlakuan aneh dari teman-temannya.

Ia menatap Tiash dan Agna, yang malah tersenyum lebar ke arahnya. Ia menoleh ke arah Kiev, berharap mendapat jawaban di sana. Tapi Kiev malah memperlihatkan raut wajah heran, sama sepertinya.

"Mereka itu... Kenapa, sih?" pikir Ain dengan rasa heran, sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tentu saja tidak gatal.