Keesokan harinya, situasi tak terduga terjadi di Right Head, membuat gempar para penghuni, termasuk mereka yang tinggal sementara waktu di sana.
Grief memberi pengumuman pada Right Head untuk segera menyerahkan Agna padanya. Kalau tidak, ia sendiri yang akan menjemput Agna ke Right Head. Ia memberi waktu 24 jam untuk mereka menentukan pilihan. Menyerahkan Agna ke Abaddon, atau melindungi Agna dan berhadapan langsung dengannya.
Terjadi perdebatan panjang di Right Head. Dengan segera, Maestro Right Head mengeluarkan kode 'hijau' untuk seluruh anggota pasukan Cerberus Right Head, juga Ain beserta rombongannya. Mereka berkumpul di Aula untuk membicarakan hal tersebut.
Terciptalah 2 kubu di sana. Kubu yang memilih untuk melindungi Agna, dan kubu yang memilih untuk menyerahkan Agna demi keselamatan Cerberus.
"Serahkan saja dia! Satu nyawa tidak berarti dibandingkan keselamatan banyak orang, bukan begitu?" Marline, kakak dari Marlat, berada di kubu yang memilih untuk menyerahkan Agna.
"Tidak bisa begitu! Apa artinya Cerberus kalau tidak bisa melindungi seorang gadis?!" jawab Riev yang tidak terima dengan perkataan Marline.
Tiash ingin sekali ikut berbicara, namun ia bukan bagian dari Cerberus. Untuk bisa hadir di sana saja, itu sudah bagus untuknya.
Suara ricuh mulai terdengar kembali. Perdebatan-perdebatan dari kedua kubu membuat bising Aula Right Head.
Melihat hal itu, Maestro mengambil langkah untuk menciptakan situasi yang kondusif.
Maestro meminta seorang wakil dari setiap kubu untuk berbicara mewakili seluruhnya.
Dari kubu yang memilih untuk menyerahkan Agna, Marline maju sebagai wakilnya. Sedangkan dari kubu yang menolak untuk menyerahkan Agna, tentu saja mereka memilih Ain sebagai wakil mereka.
Maka dimulailah perdebatan yang sebenarnya tidak diperlukan.
"Dengar! Dalam waktu sekitar satu minggu saja, Grief dan pasukan Abaddon sudah menguasai daratan Logard. Bisa kita bayangkan seberapa kuat mereka! Bagaimana kalau mereka menyerang kita? Serahkan saja dia! Lalu semua bisa selamat!" Perkataan Marline diikuti dengan suara dukungan yang menggema dari kubu-nya.
"Hm, Bagaimana menurutmu, Ain?" tanya Maestro. Selama ini ia hanya mendengar gosip tentang kemampuan Ain. Kali ini ia ingin membuktikan kalau semua kabar mengenai pemuda itu memang benar adanya.
Ain terdiam sejenak untuk berpikir. Ia menarik napas panjang, menenangkan dirinya agar dapat berpikir lebih baik lagi. Ia tidak mau terbawa emosi yang bisa merusak pikiran jernih.
Setelah memikirkan semua dengan matang, barulah Ain berbicara, "Ya. Aku setuju dengan Marline."
"Ain?!" celetuk Riev, Kiev, Marlat, Vabica bahkan Tiash secara bersamaan. Mereka yang berada di kubu Ain tidak percaya kalau orang yang mereka andalkan justru malah berkata seperti itu.
Terdengar bisik-bisik di kubu mereka, "Apa maksudnya ini?", "Lho, kenapa malah jadi seperti ini?" dan lain sebagainya.
"Aku belum selesai," ujar Ain singkat. Ia merasa risih karena ucapannya terpotong oleh reaksi spontan dari teman-temannya.
"Aku setuju dengan Marline, kalau Grief dan pasukannya dengan mudah bisa menguasai Logard. Tapi pikirkan baik-baik, kenapa bisa Abaddon menguasai Logard dengan mudahnya?" Ain memberikan kesempatan bagi yang lain untuk berpikir.
Semua hanya berbisik, tanpa ada yang bisa menjawab. Maestro mulai tertarik dengan cara berpikir Ain yang berbeda. Ain berpikir secara luas juga menyeluruh. Tidak seperti kebanyakan orang yang hanya melihat dari satu sisi, juga dari sudut pandang untung dan rugi saja.
Ain menghela napasnya. "Bagaimana bisa mereka mengambil keputusan, yang bahkan tidak dipikirkan dulu segala sesuatunya?" pikir Ain heran. Ia malah merasa kecewa dengan para pasukan Cerberus yang ada di sana.
Lalu Ain memutuskan untuk melanjutkan perkataannya, "Jadi, tidak ada yang bisa menjawabnya? Baiklah, aku akan menjelaskan semua untuk kalian.
Pertama, Grief memang punya banyak pasukan yang sekarang diberi nama Abaddon. Kedua, Abaddon punya teknologi canggih, yang belum kita ketahui dari mana ia mendapatkannya. Hanya itulah kelebihan yang dimiliki oleh Grief."
Marline kembali berdiri untuk membantah perkataan Ain, yang seharusnya tidak boleh ia lakukan sampai Ain selesai menjelaskan. Namun karena terbawa emosi, ia tidak mengindahkan peraturan tersebut. Ia berkata dengan lantang, "Tapi buktinya, dia menguasai Logard dengan mudah! Jangan lupa itu!"
Perbuatan Marline membuat suasana kembali ricuh.
Maestro terpaksa memberi peringatan pada Marline agar tetap mengikuti aturan.
Ain terlihat geram dengan perlakuan Marline yang seenaknya menyela perkataannya. Setelah menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya, ia kembali menjelaskan, "Betul, Grief menguasai daratan Logard. Tapi kenapa Grief bisa menguasai daratan Logard dengan mudah? Aku punya jawaban untuk itu.
Pertama, Grief mengambil kesempatan emas saat pertemuan tiga penguasa Logard. Rovan, yang terkenal akan kekuatan pasukannya ada dalam kondisi rapuh saat itu. Pasukan terkuat mereka ikut ke Left Head untuk mengawal Raja Rovan.
Kedua, Grief juga menyebarkan isu soal sabotase yang akan terjadi di Left Head saat pertemuan. Tentu saja, isu itu hanya sebagai pancingan agar semua fokus tertuju pada pertemuan di Left Head. Setelah Rovan rentan untuk diserang, Grief menyerang Rovan. Lalu berkat jumlah pasukan dan teknologi persenjataan canggih miliknya, Rovan berhasil bertekuk lutut dalam cengkramannya.
Dan Ketiga... Nah, seandainya kalian berada di posisi Zinzam atau Munkan, Apa yang kalian pikirkan kalau mengetahui wilayah dengan pasukan terkuat di Logard, bisa dikuasai oleh Grief?"
Semua yang ada di sana terlihat memikirkan jawaban dari pertanyaan Ain.
Sang Maestro tersenyum. Ia mulai memahami, ke mana arah pembicaraan Ain. Namun ia memilih untuk diam, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Ain selanjutnya.
"Uh... Menyerah?" jawab seorang pasukan yang ada di kubu pendukung Marline.
"Betul. Zinzam dan Munkan memilih untuk menyerah tanpa melakukan perlawanan. Mereka memikirkan keselamatan para penduduknya, atau mungkin... Para penguasa takut akan keselamatan dirinya sendiri? Aku tidak tahu yang mana. Yang jelas, itu alasan mengapa mereka menyerah begitu saja, tanpa adanya perlawanan sama sekali," Ain terdiam sejenak untuk melihat reaksi mereka yang hadir di sana.
Semua yang hadir di sana terlihat memikirkan apa yang dikatakan oleh Ain. Beberapa dari mereka berbisik satu sama lain.
"Itulah yang menyebabkan Logard, dengan mudah dikuasai oleh Grief. Beberapa kali aku dan teman-temanku berhasil mengalahkan pasukan Abaddon dengan mudah. Kalau dari segi jumlah, tentulah kita kalah telak. Tapi kalau dari segi kemampuan, aku yakin Cerberus tidak kalah dari Abaddon. Kesimpulannya, Grief bisa menguasai Logard bukan karena kekuatannya, tapi karena taktik yang ia gunakan itu... Cerdas," sambung Ain, yang malah berujung memuji Grief.
Ain kembali menarik napas panjang. Tidak seperti Marline yang berdiri sembari berapi-api ketika berbicara, selama membeberkan isi pikirannya Ain hanya terduduk di kursinya. Namun kali ini, Ia berdiri sembari melempar tatapan tajam ke semua yang ada di kubu lawan.
Ain berkata dengan nada yang sedikit lebih keras dari sebelumnya, "Aku tahu mengapa kalian memilih untuk menyerahkan Agna. Kalian takut! Kalian hanya memikirkan keselamatan kalian sendiri. Coba pikirkan. Grief yang sudah menguasai seluruh daratan Logard, untuk apa lagi dia butuh Agna? Kalian yang ada di Right Head pasti tahu seperti apa kemampuan Agna.
Lalu, seperti yang kita ketahui, Abaddon tidak bertujuan untuk menguasai daratan Logard. Mereka hanya meminta kerja sama dari semua wilayah. Selain itu, Grief meminta untuk memburu Cerberus yang ada di wilayah Rovan, Zinzam dan Munkan. Berarti memang tujuannya ada kaitan dengan Cerberus.
Menurutku, apa yang tengah Grief lakukan saat ini bukanlah untuk menjajah. Tapi untuk menunjukan kekuatan yang ia punya pada Cerberus. Tujuannya? Tentu saja membuat kita takut! Dan dia berhasil, kalian semua berhasil termakan siasatnya. Entah apa yang akan dilakukan Grief kalau ia berhasil mendapatkan Agna di sisinya. Yang jelas, tujuan itu pastilah untuk melawan Cerberus. Kalian sadar?"
Sebenarnya Ain ingin sekali berteriak, "Kalian pengecut!!" Namun Ain tetap menjaga etikanya, tak mau terbawa emosi sesaat.
Tapi tetap saja Ain merasa kesal. "Untuk apa kalian berlatih?! Untuk apa kalian bergabung dengan Cerberus kalau menghadapi Abaddon saja, harus ketakutan?!" pikir Ain dalam benaknya, tidak bisa ia ucapkan.
Kemudian Ain kembali berbicara untuk menutup penjelasan darinya, "Bahkan di saat kita memperdebatkan hal yang tidak perlu seperti sekarang ini, Grief sudah menyiapkan pasukannya untuk menuju ke sini."
"T-Ta-Tapi!" Marline terlihat ingin membantah perkataan Ain lagi. Namun Marlat ikut berdiri sambil berkata dengan lantang, "Kak! Sudah! Hentikan!"
Marlat menatap Marline dengan tatapan tajam, berusaha menghentikan sikap tak mau kalah kakaknya itu.
Marlat sudah menyadari kebaikan Ain sedari tadi. Sebenarnya, bisa saja Ain menyinggung soal ibu mereka, Nyonya Kiere, yang bahkan sampai tega membunuh komandan pasukan penjaga perbatasan Zinzam demi bekerja sama dengan Abaddon.
Kalau sampai Ain melakukan hal itu, pastilah runtuh harga diri Marline. Suara Marline tidak akan lagi didengar di sana, dan dengan mudahnya Ain bisa memenangkan perdebatan tersebut. Tapi Ain yang tidak berniat menjatuhkan siapapun, memilih untuk berbicara sesuai fakta yang ada tanpa menyinggung Nyonya Kiere.
"Lalu, apa saranmu, Ain?" tanya Maestro sembari tersenyum lebar. Ia merasa puas setelah melihat secara langsung kemampuan analisa milik Ain.
"Aku punya rencana. Tenang saja, aku tidak akan meminta pasukan Cerberus Right Head untuk bergerak.
Maestro, aku sendiri yang akan melindungi Agna. Aku akan menghadapi Grief dan pasukan Abaddon sendirian, sebelum mereka tiba di sini. Aku sendiri yang akan menghambat mereka. Selain untuk mengulur waktu, aku juga akan mengurangi kekuatan pasukan mereka sebelum sampai. Lalu, ketika aku mengulur waktu, persiapkan pertahanan di Right Head. Keluarkan kode merah."
"Maaf, Ain. Aku tidak setuju," ucap Riev dengan cepat. Ia berdiri, lalu ikut berbicara, "Aku tidak setuju kalau kau harus pergi sendiri. Aku akan ikut denganmu. Semakin banyak yang menghambat, semakin lama juga waktu yang bisa dimanfaatkan Right Head, betul?"
Selain Riev, ada Vabica, Kiev, Marlat, bahkan Teir yang sedari tadi hanya terdiam ikut berdiri.
Dalam hati, Tiash ingin ikut berdiri. Namun ia sadar, dirinya hanya akan menjadi beban kalau ia ikut bersama Ain.
"Hm. Baiklah, aku suka rencanamu. Kau bebas menggunakan fasilitas Right Head untuk membantumu," ujar Maestro, yang lalu menutup diskusi mereka kali itu.
Mereka yang mengajukan diri untuk membantu Ain segera bersiap pergi bersama-bersama untuk menghambat Grief dan Abaddon.