Vabica tengah berada di dalam mobil pengangkut barang milik pasukan militer Zinzam. Ia didampingi seorang lelaki dari pasukan Cerberus. Mereka baru saja mengambil suplai dari sebuah kota dekat dengan markas pasukan penjaga perbatasan. Tentu saja kota tersebut masih berada di wilayah Zinzam.
Kini mereka dalam perjalanan pulang menuju markas.
Sesekali, anggota Cerberus yang bertugas sebagai pendamping sekaligus supir, melirik ke arah Vabica. Ia merasa penasaran pada Vabica, yang begitu terkenal di Cerberus sebagai 'Seorang kandidat yang lulus tanpa ujian'.
Vabica yang tengah menatap ke depan melihat jalan menyadari pandangan lelaki tersebut. Gadis itu merasa sedikit risih dibuatnya.
"Ada Apa?" tanya Vabica singkat.
Menyadari perbuatannya diketahui oleh Vabica, lelaki itu panik. "O-oh, Ti-Tidak. Ma-maafkan aku, Master," ujarnya dengan gugup.
Selain Akademisi Cerberus, pasukan Cerberus yang berada di peringkat 'Numbers' juga diharuskan untuk memanggil anggota yang ada di peringkat 'Alphabeth' dengan panggilan 'Master'.
Para pasukan dengan Rank 'Numbers' tidak diberi mantel Cerberus, juga tidak diberi senjata Plasma. Mereka hanya diberikan seragam pasukan Cerberus, juga senjata yang masih terbuat dari logam.
Logam yang digunakan sebagai bahan dasar senjata mereka terbuat dari logam 'Muamantine'. Logam berwarna hitam yang memiliki partikel terpadat dan terkuat dibandingkan logam lainnya di Logard. Meski demikian, senjata plasma Cerberus bisa membelah Muamantine dengan mudah. Selain pasukan Cerberus, pasukan khusus dari setiap wilayah di Logard juga menggunakan logam tersebut untuk pakaian pelindung dan senjata.
Vabica kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Tapi tiba-tiba saja laju mobil pengangkut suplai itu terhenti. Mobil lapis baja itu dihadang oleh belasan orang yang mengepung dan menyuruh Vabica serta lelaki itu turun.
Lalu Vabica memberi instruksi pada lelaki itu untuk terus maju menuju markas setelah dirinya turun dari mobil.
Awalnya lelaki itu menolak, ia ingin membantu Vabica. Namun Vabica malah memarahinya. "Dengar, pasukan Cerberus harus menuntaskan tugasnya dengan baik. Seperti apapun, dengan cara apapun. Bagaimana kalau pasukan yang ada di markas berhasil dikalahkan dengan telak karena kelaparan? Paham? Jangan egois," ucap Vabica dengan ketus sembari keluar dari mobil.
Tidak ada pilihan lain bagi lelaki itu selain mengikuti perintah dari Vabica.
Begitu Vabica keluar dari mobil, ia segera menancap gas untuk bergegas kembali ke markas. Ia harap dirinya sampai tepat waktu, sehingga bisa mengirimkan bantuan untuk Vabica.
[•X-Code•]
Vabica mengamati sekitar untuk menghitung jumlah mereka. Terhitung 16 orang berdiri mengepung Vabica. Dilihat dari baju zirah yang mereka kenakan dan dari tindakan yang malah mengepung Vabica, bukannya mengejar mobil berisi suplai, Vabica bisa memastikan kalau mereka bukanlah perompak.
Zirah yang mereka kenakan berwarna hitam legam dilengkapi helm yang menutupi kepala hingga Vabica tidak bisa mengenal mereka. Vabica juga baru pertama kali melihat seragam pasukan seperti itu.
Bisa dipastikan dari bentuk fisiknya, kalau seragam yang mereka kenakan itu menggunakan teknologi canggih.
"Musuh dari mana?" pikir Vabica.
Vabica bersiaga penuh untuk mengantisipasi segala serangan. Tapi pertama-tama ia ingin mengetahui terlebih dahulu identitas serta alasan sekelompok orang itu mengepung Vabica.
"Siapa kalian?"
Salah seorang pengepung Vabica membuka helm miliknya. Seorang pemuda terlihat menatap Vabica dengan tatapan tajam penuh rasa dendam.
Vabica merasa pernah melihat pemuda tersebut, tapi ia tidak mengingatnya.
"Kau ingat aku, Master?" tanya pemuda itu sembari melempar senyum jahat.
Vabica hanya terdiam, berusaha kembali mengingatnya.
Kemudian seluruh orang yang tengah mengepung Vabica itu membuka helmnya masing-masing.
Barulah Vabica mengingat mereka dengan baik setelah memperhatikan wajah-wajah penuh dendam itu. Ia begitu terkejut melihat mereka.
Mereka yang mengepung Vabica di sana adalah para kandidat Cerberus yang gugur dalam ujian tahap kedua. Mereka merasa dirugikan oleh peraturan ujian yang hanya meloloskan 7 kelompok saja. Mereka berpendapat kalau peraturan tersebut tidak adil. Peraturan itu tidak memberi mereka kesempatan untuk dinilai dari segi kemampuan.
Padahal bukan Vabica yang membuat peraturan tersebut. Ketiga Maestro dari setiap cabanglah yang merundingkan peraturan untuk ujian masuk. Ia hanya bertugas sebagai penanggung jawab ujian saat itu.
Tapi mau bagaimana lagi? Vabica terpaksa harus mendapat akibat dari peraturan yang sebenarnya, bukan gadis itu yang membuatnya.
"Seorang anggota Cerberus harus siap dalam kondisi apapun. Kalau untuk mendapat kelompok saja tidak bisa, apalagi menjalankan tugas dengan baik?" ujar Vabica berusaha menjelaskan alasan dari peraturan tersebut. "Sebaiknya kalian pergi. Aku tidak ingin bertarung dengan kalian," sambung Vabica lagi. Ia sebetulnya merasa enggan harus bertarung dengan para pemuda mantan kandidat Cerberus yang berasal dari Centra dan Right Head.
"Huh? Hahahahaha!" tawa pemuda yang pertama membuka helm. Ia menyeringai, mengejek Vabica. Lalu pemuda itu berteriak dengan lantang, "Jangan sombong! Kau mungkin lebih kuat dari kami! Tapi kami yang sudah bergabung dengan Abaddon jauh lebih kuat darimu sekarang!"
"Abaddon?!" Vabica terhenyak mendengar perkataan pemuda itu.
Lalu para pemuda itu mengeluarkan sebuah tabung kecil dengan cairan berwarna hijau terang di dalamnya. Mereka menancapkan tabung yang terdapat jarum di bagian bawahnya itu ke leher.
Dengan serentak mereka meraung keras. Terlihat ekspresi yang berbeda dari sebelumnya di wajah mereka.
Mata para pemuda itu melotot dengan senyum jahat yang lebar hingga gigi-gigi mereka terlihat jelas, sangat menyeramkan untuk dilihat.
Kemudian kelompok itu mengenakan kembali helmnya, lalu mengeluarkan senjata yang bersinar terang dengan berbagai bentuk. Pedang, tombak, kapak, cambuk dan senjata-senjata lain.
Vabica sempat berpikir kalau senjata itu merupakan senjata Plasma. Namun setelah diperhatikan lebih dekat, senjata yang mereka pakai bukanlah senjata Plasma. "Senjata apa itu?" pikir Vabica yang belum pernah melihat senjata-senjata itu sebelumnya.
Vabica pun ikut mengeluarkan senjatanya. Senjata plasma miliknya berbentuk seperti tombak, namun ada kapak di ujung tombaknya. Senjata miliknya disebut 'Halberd'.
Gagang dan beberapa bagian lain dari Halberd milik Vabica terbuat dari Muamantine. Sedangkan mata pisaunya terbuat dari Plasma.
Tanpa menunggu lama, mereka menyerang Vabica secara bergantian. Vabica berhasil menangkis serangan-serangan mereka dengan Halberd miliknya.
Senjata milik para pemuda yang kini bergabung dengan pasukan Abaddon itu tidak mengalami kerusakan saat berbenturan dengan senjata Plasma milik Vabica.
Hal tersebut membuat Vabica yang tadinya hanya berniat untuk menghancurkan senjata mereka saja, berubah pikiran untuk serius bertarung.
Vabica menarik napas dalam-dalam, kemudian mengatur napasnya dengan ritme yang sama. Ia merendahkan kuda-kudanya, lalu mengangkat dan menekuk kaki kanannya di depan sembari mengacungkan Halberd miliknya ke arah pasukan Abaddon itu.
Seorang pasukan Cerberus dituntut untuk mengambil keputusan terbaik secara cepat. Kalau Vabica hanya 'mengalahkan' mereka, ia akan merepotkan pasukan penjaga perbatasan karena membawa belasan tahanan. Lalu seandainya Vabica tidak menangkap mereka pun, entah apa yang akan mereka lakukan lagi kedepannya.
Akhirnya, sebuah keputusan yang berat ia ambil. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah... Membunuh mereka.
[•X-Code•]
Sebuah sepeda motor berlapis Muamantine, lengkap dengan persenjataan militer milik Zinzam tengah dikendarai oleh Riev. Ia yang mendapat kabar kalau Vabica tengah diserang, dengan sangat cepat melesat menuju ke tempat tersebut. Terlihat rasa cemas dari raut wajah Riev.
Ia ingin segera tiba di tempat Vabica berada. Namun di jalan ia berpapasan dengan gadis yang dicarinya itu.
Vabica tengah berjalan pelan ke arah markas, sembari tertunduk sedih dengan bercak darah mewarnai setiap sudut mantel hitam dan wajahnya.
Dengan segera, Riev menghentikan laju motornya, lalu bergegas menghampiri Vabica. Riev mengusap pipi Vabica yang bersimbah darah sambil mengamati dengan seksama wajah gadis itu. Ia tidak menemukan sedikitpun luka di sana.
Riev menghela nafas dengan rasa lega begitu mengetahui Vabica tidak terluka. "Kau tidak apa-apa?" tanya Riev dengan suara tenang.
Vabica menatap Riev dalam-dalam. Lalu perlahan kesedihan hilang dari wajah manisnya itu. Tergantikan oleh wajah serius serta tatapan tajam. "Aku punya informasi," ujarnya singkat.
Vabica menceritakan semua infromasi yang ia dapat sewaktu melawan pasukan Abaddon yang semula merupakan kandidat Cerberus.
Pantas saja pasukan Abaddon begitu kuat. Mereka berisi 'petarung' yang sebelumnya sempat dilatih di akademi Cerberus. Terlebih lagi, persenjataan yang mereka miliki menggunakan teknologi yang tak kalah canggih dengan teknologi Plasma milik Cerberus. Ditambah dengan cairan misterius 'peningkat kekuatan' yang mereka suntikan ke leher, yang membuat Vabica cukup merasa kesulitan saat bertarung dengan pasukan Abaddon yang menyerangnya.
Riev mengerutkan alisnya mendengar informasi tersebut. Disamping rasa terkejutnya, ia merasa harus segera membawa Vabica ke tempat aman. Ia tersenyum pada Vabica. "Nanti saja kita bahas. Ayo kita pergi," ajaknya.
Vabica membalas senyuman Riev dengan senyum tawar. Ia mengangguk pelan menyetujui ajakan Riev. Perasaannya masih dihantui rasa bersalah. Ia merasa bersalah telah membunuh mereka, yang ia anggap hanya sebagai korban dari 'perasaan' mereka sendiri. "Kalau saja mereka tidak mengikuti hawa nafsu, mungkin mereka masih hidup sekarang," pikir Vabica.
"Piip! Piip!" Tidak lama kemudian terdengar suara kecil yang berasal dari gelang milik Riev dan Vabica, menandakan kalau ada panggilan masuk untuk mereka.
Keduanya menyentuh gelang tersebut dengan ujung jari, lalu layar hologram muncul. Sama seperti peralatan lain, gelang itu juga menggunakan sistem pindai DNA.
Ternyata Kiev-lah yang melakukan panggilan melalui alat komunikasi berbentuk gelang tersebut. Wajahnya terlihat cemas. Terlihat pula kerusuhan kecil di tempat Kiev berada.
"Riev! Vabica! Lari!!" pekik Kiev sembari sesekali menembakkan senapan plasma miliknya. Ia tengah berlari dari kejaran musuh.
"Ada apa?!" tanya Riev dengan rasa terkejut.
"Tidak ada waktu! Cepat lari!! Hubungi Left Head, beritahu kalau ini semua hanya jebakan!" setelah Kiev mengucapkan kalimat itu, komunikasi mereka terputus.
Riev berusaha menghubungi Kiev lagi. Namun hasilnya nihil, seperti ada yang menghalangi sinyal panggilan mereka.
Begitu juga dengan Vabica yang berusaha menghubungi Left Head sesuai permintaan Kiev. Alat komunikasi mereka terhalang oleh gelombang elektromagnetik yang menonaktifkan semua sinyal panggilan.
"Teknologi Abaddon-kah?" pikir Vabica. Kemudian ia mengajak Riev untuk bergegas kembali ke markas pasukan penjaga perbatasan Zinzam.
Walaupun Kiev meminta mereka untuk melarikan diri, namun Riev malah memacu laju sepeda motornya kembali ke markas itu. Sedari awal tugas mereka memang untuk mengawal, bukan untuk melarikan diri.
Di samping itu, mereka ingin menolong Kiev yang tengah berada dalam situasi genting. Itulah yang membuat Riev dan Vabica tidak mengindahkan peringatan dari Kiev.