Riev dan Vabica baru saja selesai memberi pengarahan pada para pasukan Cerberus yang akan bergabung bersama keduanya untuk menjaga wilayah udara Left Head. Walau persiapan telah usai, tapi mereka masih berada di lantai B2, tempat yang berfungsi sebagai ruang briefing Cerberus.
Vabica masih sibuk merapikan berkas-berkas, juga menginput laporan data para pasukan Cerberus ke dalam hologram.
Sedangkan Riev malah bersiul sembari memperhatikan Vabica. Dari belakang Vabica, pindah ke sisi kiri, lalu sisi kanan, dan berjalan tak tentu arah di sekitar Vabica.
Tentu saja hal itu membuat Vabica resah dan jengkel. "Kalau tidak ada kerjaan, lebih baik kakak pergi melihat kondisi Trava yang akan kita pakai nanti malam!" ujar Vabica geram sembari masih sibuk mengurusi laporan yang harus segera ia tuntaskan. Walau jengkel, Vabica tidak menghilangkan rasa hormatnya pada Riev yang memang berusia lebih tua darinya. Vabica tetap memanggil Riev dengan panggilan 'kakak'.
Riev mengambil beberapa langkah cepat, lalu membiarkan dirinya meluncur di lantai seperti sedang bermain skateboard tak kasat mata dari tempatnya berada, mendekat ke arah Vabica. "Ouh~ Come on baby~ Hanya kau, aku. Kita kencan, oke?" Riev mengedipkan matanya dengan genit begitu ia berhenti meluncur dan berada tepat di hadapan Vabica.
Duak! Vabica mendendang perut Riev dengan pelan saking gemasnya dengan tingkah laku Riev.
"Uek!" Reflek Riev saat mendapati perutnya terhantam kaki Vabica. Memang pelan, namun membuat Riev kaget karena itu terjadi secara spontan.
"Aku akan pergi ke lantai B4 untuk memastikan kondisi Trava," dengan segera Vabica memutar badan lalu mengambil langkah cepat. Alasan Vabica segera membuang muka bukan karena membenci Riev, namun ia ingin menyembunyikan wajahnya yang tengah merona tersipu oleh tingkah genit Riev.
"Aku anggap tendangan penuh cinta ini sebagai jawaban 'iya', oke?" ucap Riev lagi sembari mengamati kunciran rambut Vabica yang bergerak pelan ketika gadis itu berjalan.
Vabica tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya menggeleng pelan sembari tersenyum geli. Di balik itu, Vabica merasakan perasaan yang aneh. Bukannya merasa risih, ia malah merasa senang. Karena sikapnya yang cuek dan terang-terangan, banyak pria yang menjaga jarak darinya. Itulah yang membuatnya senang kala itu, karena ada orang yang mau bertindak seperti itu layaknya sepasang kawan akrab.
Walau memang itu bukan pertama kalinya Riev menggodanya. Sewaktu Riev masih berada dalam masa pelatihan, pemuda genit itu kerap menggoda Vabica yang kebetulan bertugas mengajar para akademisi Cerberus di kelas Riev.
Tanpa Riev sadari, sepasang mata pemuda berusia lebih tua beberapa tahun darinya mengamati dari luar ruangan. Dengan wajah angkuh dan arogan, pemuda itu, Marlat, menghampiri Riev. "Seharusnya kau menjaga sikapmu pada Senior! Rank C," ucap Marlat dengan tatapan sinis meremehkan.
"Wow, wow, wow. Lihat siapa yang datang. Senior penggila Rank~ Maafkan hamba yang mulia~" ledek Riev yang sama seperti Ain, tidak peduli dengan Rank.
Marlat merasa jengkel dengan sikap Riev. "Kau ingin bertarung hah?!" Marlat setengah berteriak.
Bukannya merubah sikap, Riev malah tambah meledeknya. "Bertarung dengan yang mulia Mar?? Atuuuut~" oloknya sembari memperagakan gerakan orang yang tengah ketakutan.
"Ah!! Jangan salahkan aku kalau kau terluka!" dengan sigap Marlat mengeluarkan senjatanya yang berupa tombak, dengan ujung yang terbuat dari Plasma.
Sebenarnya Riev tidak menyangka Marlat akan bertindak sejauh itu. Riev juga mengeluarkan scythe miliknya untuk berjaga-jaga. Mereka lupa, ada aturan yang melarang mereka mengeluarkan senjata di dalam wilayah akademi kalau tidak dalam kondisi genting.
Dari dulu Marlat memang tidak menyukai Riev. Dia yang terlahir di keluarga 'bangsawan' dari timur merasa tidak pernah dihargai oleh Riev dari ketika keduanya masih berada dalam pelatihan Akademi Cerberus.
Piip piiip piiip piiip! Bunyi yang menyerupai alarm terdengar di dalam ruangan, diikuti dengan munculnya beberapa drone dari sudut ruangan. Terdengar suara rekaman dari salah satu drone memberi peringatan keras pada keduanya. Selain itu, saat itu juga Rank keduanya turun 1 tingkat.
"Huahahahahaha!" Riev malah tertawa lepas sembari kembali memasukan senjata miliknya ke dalam cincin.
Sedangkan wajah Marlat terlihat merah padam menahan amarah. "Aku jadi turun Rank gara-gara tingkah lakumu! Awas kau!" tak kuasa menahan emosi, Marlat memilih untuk segera hengkang dari sana. Ia sudah muak melihat wajah Riev. Bahkan dalam hatinya, Marlat berharap Riev akan tertembak oleh musuh saat menjalankan tugas nanti malam.
Awalnya Riev ingin membuat Marlat lebih jengkel lagi, namun ia rasa sudah cukup. Bagi Riev yang tidak memperdulikan Rank, kejadian yang menimpa mereka barusan hanyalah sebuah cerita komedi singkat.
Sebenarnya, dari dulu Marlat memang sering berusaha mendekati Vabica. Namun Vabica tidak pernah menggubrisnya. Mungkin itu alasan kenapa Marlat merasa kesal melihat Riev yang terus-terusan menggoda Vabica.
Riev tertawa lagi begitu mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Riev jadi sedikit merasa bersalah pada Marlat. Di sisi lain, ia merasa puas dengan sikapnya. Ia merasa Marlat memang perlu diberi sedikit pelajaran karena sikap arogan khas 'bangsawan' yang masih melekat walau Marlat sudah menjadi seorang anggota pasukan Cerberus.
[•X-Code•]
Ain dan Agna baru saja menginjakkan kakinya di Refario. Kota itu tidak terlalu besar, namun cukup ramai dipadati pengunjung. Letaknya dekat danau yang menjadi tempat wisata, tak heran kalau kota kecil itu selalu dipenuhi wisatawan yang ingin bersantai menikmati indahnya danau Refario.
Bertambahlah rasa kagum Ain pada Grief. Walau Grief musuh, tetap ada rasa kagum dari dalam hati Ain. Alasannya karena Ain baru menyadari mengapa Grief memilih Refario sebagai tempat persembunyian. Siapa yang akan curiga dengan kedatangan Grief dan kelompoknya di Refario? Orang-orang pasti akan menyangka kalau Grief dan kelompoknya juga hanya wisatawan. "Cerdas," puji Ain dalam hati. Semakin kuatlah rasa ingin berjumpa dan bertarungnya dengan Grief.
Agna langsung mengerjakan tugasnya begitu keduanya memasuki gerbang kota. Ia mengamati setiap orang yang berlalu-lalang di kota itu.
Beberapa kali Agna yang polos menyebutkan secara rinci data seseorang, seperti saat pertemuan pertama mereka. Tentu saja hal itu tidak diperlukan. Seandainya Ain memiliki sifat seperti Riev, Ain pasti sudah akan mencubiti pipi Agna dengan gemasnya.
Walau demikian, berkat kemampuan Agna, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan informan yang mereka cari di kota tersebut.
Ain menghampiri seorang wanita yang tengah sibuk menawarkan berbagai souvenir pada wisatawan. Melihat kedatangan Ain dengan mantel khusus Cerberus, wanita itu tersenyum menyambut Ain.
"Silahkan tuan, dipilih!" wanita itu bertingkah layaknya pedagang pada umumnya. "Di sini ramai sekali ya tuan? Yah, 'anjing akan selalu menggonggong'," tatapan wanita itu berubah serius ketika mengucapkan kalimat yang menjadi kata kunci bagi mereka. Setengah berbisik, Ain menjawab, "Tapi pintu neraka selalu tertutup."
Wanita itu berdiri dari kursi yang ada di dalam toko souvenir miliknya.
"Ah… Jadi begitu, ya? akan ku antar kalian, pasangan muda! Aku tahu hotel yang bagus, dekat dengan danau! Kalian bisa menikmati pemandangan indah dari sana!" ucap wanita itu dengan riang.
Tentu saja Ain tahu kalau itu hanya sandiwara agar orang tidak mencurigai mereka. Tapi tidak bagi Agna yang memiliki kepolosan di atas kata wajar.
"Hm!!" Agna menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat disertai alis yang mengkerut. Lalu gadis itu menunjuk-nunjuk Ain. "Ka... Kak! Kakak! Ain! Kakak!" ucapnya dengan lantang sembari menatap wanita yang baginya, salah menyebut mereka sebagai sepasang kekasih. Wajahnya merah padam tersipu.
"Ha...? Oh… Hahaha, iya-iya... Kalian kakak-beradik, ya? Hahaha, maaf maaf," wanita itu menyuguhi Ain dan Agna sebuah senyuman tawar.
"Agnaaaaaaa!" ingin sekali Ain menjerit seperti itu, namun ia hanya memendam suaranya di dalam hati. "Uh... Iya, dia ini adikku. Hehe," Ain mengusap-usap kepala Agna yang dibumbui dengan rasa gemas tak tertahankan, juga senyum cengengesan yang nampak jelas terlalu dibuat-buat. "Ampuuuuuuun!!" pekiknya dalam hati.
Tapi di sisi lain, Ain merasa tindakan Agna tidak salah. 'Sandiwara' mereka jadi terlihat benar-benar natural. Walaupun, sedari awal Agna sang gadis lugu itu tidak bersandiwara.
"Ya sudah, ayo ku antar," ajak wanita itu, mengalihkan pembicaraan canggung mereka. Selama ia bertugas sebagai informan, baru pertama kali menemukan kejadian seperti itu. "Aku baru tahu kalau ada Cerberus yang seperti ini," pikirnya sambil tertawa geli di dalam hati. Lalu ia memanggil seorang anak gadis dan menyuruh anak itu untuk menjaga toko selama ia pergi.
[•X-Code•]
Wanita itu membawa Ain dan Agna ke sebuah gang buntu di kota Refario. Setelah memastikan tidak ada orang di sana, barulah ia membuka mulut. "Maaf, sebelumnya aku harus memastikan identitas kalian terlebih dahulu," ujar wanita itu dengan serius. Sikapnya berubah drastis dengan ketika mereka berada di toko.
Ain mengangguk paham lalu memperkenalkan dirinya dengan menyebutkan ID Cerberus miliknya. Juga dengan cepat Ain memperkenalkan Agna. Ia tidak mau Agna melakukan hal yang tidak diperlukan lagi.
Setelah mengkonfirmasi ID mereka melalui hologram yang muncul dari jam tangannya, wanita itu pun memperkenalkan dirinya sebagai seorang informan dari Left Head Cerberus.
Tanpa disuruh, Agna mengacungkan jari telunjuknya. Sudah bisa dipastikan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Irina Daedalus, Ex-Cerberus Force ID : S-267-684L. Height : 161cm, Weight : 48kg, Blood Type : A, DNA-Fighting Type.. 7-T," ucap Agna dengan rinci.
Ain hanya bisa menepuk jidatnya, merasa kurang cepat bertindak untuk mencegah Agna melakukan hal aneh. Tapi ia tak habis pikir, kenapa Agna hanya berbicara dengan jelas ketika merinci data seseorang? Yah, pikiran itu harus segera ia simpan dulu agar lebih fokus dalam tugas yang tengah dijalankan.
Sang informan, Irina, hanya terhenyak dengan mulut setengah terbuka. Kemudian Irina mengalihkan pandangannya ke arah Ain.
Ain hanya mengangkat bahu, mengisyaratkan kalau dia sendiri tidak tahu apa-apa soal kemampuan Agna. Wajahnya terlihat sedikit lelah dengan kelakuan polos gadis itu.
"Sepertinya aku tahu mengapa kau membawanya. Tadinya aku bingung, untuk apa kau membawa gadis ini. Haha. Baiklah, namamu Ainlanzer?" tanya Irina sambil menatap Ain dalam-dalam selepas melihat data Ain dari hologram.
Ain mengangguk mengiyakan. "Panggil saja Ain," jawabnya singkat.
"Aku punya beberapa informasi soal Grief. Memang, tadi pagi Grief bersama dengan kelompoknya yang berjumlah sekitar 8 sampai 9 orang ada di sini. Tapi dia sudah pergi ke arah Timur Laut dengan sebuah pesawat yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Sebelum mereka pergi, aku sempat menguping sedikit percakapan mereka. Mereka menyinggung soal 'pertemuan para penguasa' dan 'kesempatan mengisi kekosongan'. Ada petunjuk apa yang akan ia kerjakan?" tanya Irina selepas memberi informasi penting buat Ain. Ia sendiri tidak begitu paham dengan informasi yang telah ia dapatkan.
"Hmm...." Ain berpikir keras. Ia memutar akalnya untuk mencerna kembali semua informasi yang ia dapat dari Orland dan Irina, lalu menggabungkannya dengan situasi yang tengah terjadi guna menemukan titik temu antara kedua informasi tersebut.
"Tadi kau bilang, mereka menuju Timur Laut?" tanya Ain memastikan. Irina mengangguk membenarkan.
"Kalau memang mereka berniat untuk menyabotase acara pertemuan, seharusnya mereka mengambil arah barat untuk rute tercepat menuju Left Head," pikir Ain setelah mencocokan semua informasi.
Ain memejamkan mata sambil menghela nafas panjang. Ia tengah mengingat gambaran keseluruhan daratan Logard yang ia lihat di peta saat briefing tadi pagi. "Timur Laut dari Refario...." ucapnya dalam hati sambil membayangkan garis lurus dari Refario, membentang ke arah Timur Laut di peta yang ada dalam ingatannya.
"Ah!!" pekik Ain keras setelah menyadari sesuatu. "Aku tahu apa yang dia rencanakan! Sial! Kita sudah dijebak!" Ain mengepalkan telapak tangan kanannya dengan geram sambil menyalahkan dirinya sendiri karena sudah termakan siasat Grief.
Irina mengangkat sebelah alisnya, masih belum paham.
Tanpa menunda waktu, Ain segera membeberkan perkiraannya.
Ain mengatakan kalau tujuan Grief dan kelompoknya bukan untuk menyabotase pertemuan. Itu hanyalah jebakan yang dibuat agar semua fokus tertuju pada acara pertemuan para petinggi Logard.
Sedangkan tujuan asli Grief adalah memanfaatkan 'kekosongan' yang tengah terjadi di Rovan, jauh di ujung sisi Utara Logard, Timur Laut dari Refario.
Tapi kenapa Rovan? Ain teringat akan Rovan, wilayah yang masih berupa kerajaan dan sangat terkenal dengan kekuatan pasukannya. Tidak ada pasukan keamanan atau pasukan militer yang bisa melawan pasukan Rovan di Logard. Tapi tentu saja, Cerberus tidak masuk dalam hitungan.
Dari segi kekuatan dan persenjataan, tentu Cerberus lebih unggul. Tapi Cerberus tidak punya kekuasaan, terlebih lagi kalah telak dalam kuantitas.
Irina kembali terhenyak. Tadi, ia terhenyak setelah melihat secara langsung kemampuan Agna yang sempat ia ragukan. Sekarang, ia terhenyak dengan daya analisa yang dimiliki Ain.
"Grief dan kelompoknya berniat untuk menguasai Rovan. Rovan kini tengah berada dalam kondisi rapuh dengan kepergian Raja beserta pasukan terkuatnya ke Left Head. Tentu saja, pasti Rovan tidak memprediksikan hal ini. Karena bagi mereka, ancaman besar hanya berasal dari Munkan dan Zinzam. Mereka tidak tahu kalau ada pihak luar yang sebenarnya lebih mengancam dari Munkan ataupun Zinzam.
Aku yakin, mereka tidak membuat tindakan antisipasi untuk apapun," Ain menyelesaikan penjelasannya. Wajahnya terlihat cemas ketika menjelaskan apa yang ia perkirakan.
"Baiklah, aku akan menghubungi seluruh Maestro. Semoga kita tepat waktu. Lebih baik kalian bergegas kembali ke Left Head untuk mengambil langkah selanjutnya!" perkataan Irina seolah menjadi komando bagi Ain dan Agna yang dengan segera mengambil sikap tegap lalu memberi hormat, tangan terkepal yang disilangkan di depan dada sebelum akhirnya beranjak pergi menuju Trava untuk kembali ke Left Head.
Sebelum pergi, Irina sempat memberikan sesuatu pada Agna. Sebuah kalung yang memiliki bentuk sebuah lambang, berbentuk seperti sepasang sayap naga berwarna emas yang mengapit huruf 'v' berwarna merah. Sebuah lambang kesatuan daratan Logard yang sudah terlupakan entah berapa lama. "Jaga kakakmu baik-baik, ya," Pesan Irina pada Agna sembari mengusap lembut kepala Agna.
Di tengah percakapan mereka tadi, Irina menyadari sesuatu tentang Agna. Tapi ia tidak bisa menceritakan apapun pada Ain. Ia tidak ingin memecah konsentrasi Ain yang tengah terfokus pada misi.
Agna mengangguk sembari tersenyum simpul dengan sangat manisnya, lalu mendampingi Ain kembali ke Trava yang diparkirkan tidak jauh dari gerbang Refario.
Dengan cepat, Ain memasukkan koordinat menuju Left Head lalu mengatur kecepatan maksimum untuk Auto-Pilot Trava mereka.
"Uh... Agna. Lain kali, kau tidak perlu menggunakan kemampuanmu untuk hal yang tidak perlu seperti tadi," ujar Ain begitu Trava mereka mengudara.
"Um!" Agna menggelengkan kepalanya, membantah perkataan Ain. "Perlu!" bantahnya singkat namun tegas.
"Ya, terserahlah...." pikir Ain. Ia masih tidak mengerti harus seperti apa menanggapi sikap Agna yang seperti anak kecil, padahal ia seorang gadis remaja.