Diki menaiki tangga kepolisian Tokyo dengan melompati dua anak tangga sekaligus. Dia mendorong pintu kaca itu dengan kasar dan melangkah lebar-lebar melewati tiap lorong menuju ruang interogasi. Di depan sebuah mesin pembuat teh dia sudah ditunggu oleh Hideo yang sedang menikmati tehnya.
Hideo bersiul melihat wajah tampan Daiki terlihat garang kontras dengan kemeja putihnya yang rapi dengan dasi merah darah yang melingkari kerahnya meski pun dia sendiri masih dengan setelan jasnya.
Melihat Hideo berdiri santai menunggunya, Daiki lewat begitu saja sambil berkata datar. "Kita temui keparat itu di ruang interogasi."
Hideo tahu bahwa menemukan pembunuh Akemi Kondoo adalah motivasi terbesar Daiki menjadi detektif polisi menggantikan Ayahnya, Takao Watanabe. Sejak dia sudah dapat meninggalkan cara berpikir dunia kanak-kanaknya, Hideo melihat bagaimana Daiki bekerja keras menggali semua bukti-bukti pembunuhan 19 tahun lalu melalui semua data-data milik ayahnya.
"Aku mendapatkan kiriman email dari Makoto tentang sidik jari tersangka." Hideo berkata ketika mereka berada di dalam lift menuju lantai bawah tanah yang terdapat ruangan interogasi bagi penjahat kriminal besar.
Daiki yang sedang menarik lepas ikatan dasinya, menoleh Hideo. "Aku memang penasaran dari mana keyakinanmu bahwa dia adalah pembunuh yang sama atas diri Akemi Kondoo, Ibu Ruri?"
Hideo mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto sidik jari yang ada pada pisau 19 tahun lalu yang digunakan membunuh Akemi dengan foto sidik jari yang terdapat pada sebuah pentungan besi yang digunakan untuk membunuh saat ini. Keduanya sama persis.
Daiki menatap itu dengan pandangan tajam. Hideo memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Setiap manusia di dunia masing-masing memiliki sidik jarinya sendiri dan tidak ada yang sama."
TING!!
Daiki dan Hideo melangkah keluar dari lift. Mereka berdua menuju ruangan khusus untuk melihat langsung keadaan di dalam ruang interogasi. Sebelum mereka memasuki ruangan itu, Daiki menoleh Hideo.
"Apakah kita mendapatkan izin melihat interogasi? Bagaimana pun ini bukan kasus kita, Senpai," tanya Daiki. Dia dan Hideo adalah partner dan tentu saja dia merupakan junior Hideo.
Hideo mendorong pintu berat itu dan mengedipkan matanya pada Daiki. "Kita mendapatkan izin bahkan kau bisa menginterogasi tersangka."
Daiki mengangkat alisnya dan mengikuti Hideo masuk ke ruangan di mana sudah ada 3 orang detektif lain bersama seorang kepala Divisi kriminal saat itu. Mereka semua menoleh kedua pria muda itu masuk dan memberikan keduanya tempat untuk melihat jalannya interogasi yang dilakukan oleh detektif Taro Itoo yang berpostur tubuh sebesar gajah namun adalah pelari terbaik di kepolisian.
"Aku tidak tahu apakah interogasi ini berkaitan dengan kasus ayah kalian 19 tahun lalu tapi menurut laporan dari Divisi Sidik Jari, sidik jari tersangka terdapat pada barang bukti pembunuhan 19 tahun lalu yang menimpa Akemi Kondoo atau Nyonya Fujita." Kepala Divisi Kriminal saat itu adalah Ichiro Nakano. Dia dulu adalah junior dari Detektif Takao Watanabe dan Yoshio Katoo, diam-diam menaruh perhatian pada kasus pembunuhan 19 tahun lalu yang sudah ditutup karena sama sekali tidak menemukan titik terang. Setelah kini dia menjadi kepala Divisi Kriminal, dia berniat membuka kembali berkas pembunuhan 19 tahun lalu itu. Apalagi dia melihat bahwa anak dari kedua detektif senior yang dikaguminya itu bergabung di Divisi Kriminal sebagai detektif.
Dulu dia tidak menemukan cara untuk mengangkat ke permukaan kasus 19 tahun itu di depan para Komisaris Kepolisian tapi setelah dengan teliti, Makoto membandingkan sidik jari di dua barang bukti, dia menemukan jalan untuk membuka kasus 19 tahun lalu.
Ichiro melirik Daiki yang tampak tidak berkedip menatap ke dalam ruang interogasi dengan sebelah tangan di dalam saku celananya. Dia merasakan aura kemarahan yang menguar di sekitar pria muda itu.
Dengan tenang Ichiro meraih map di depannya, membukanya dan mulai membacakan kronologis kejadian.
"Jiro Miura. 42 tahun. Kelahiran Chiba, Perfektur Chiba. Tuduhan pembunuhan atas Direktur Bank Asing di Saitama sebulan yang lalu. Ditemukan sedang berada di apartement mewahnya di Shinjuku dengan barang bukti sebuah pentungan di bawah jok mobilnya yang masih terdapat darah korban yang mengering. Motif masih diselidiki. Dia ditangkap dan diserahkan ke Kepolisian Tokyo oleh Kepolisian Saitama agar diselidiki lebih intens sebelum dikirim ke Markas Besar Kepolisian Nasional Jepang." Ichiro menutup map itu.
"Apakah dia sudah mengakuinya bahwa dia yang membunuh?" tanya Hideo penasaran.
Ichiro melempar pandangan pada pria yang duduk tenang di kursi interogasi. Sama sekali tidak menunjukkan emosi apa pun pada wajahnya yang sederhana.
"Dia mengakuinya. Tanpa penekanan dari pihak kita," ucap Ichiro sedikit jengkel.
Daiki yang terus menatap sang tersangka, membuka mulutnya dengan nada suaranya yang datar. "Anda tadi membacakan bahwa dia tinggal di apartement mewah di Shinjuku?" dia menoleh Ichiro dan dijawab oleh anggukan pria itu.
"Kalau begitu apa pekerjaannya yang sebenarnya? Mengapa dia membunuh pemilik Bank Asing di Saitama? Apakah ada dana yang masuk ke rekeningnya setelah pembunuhan itu?" Daiki melanjutkan pertanyaannya membuat semua yang ada di ruangan itu tercengang. Pemikiran sejauh itu belum terpikirkan oleh mereka.
Ichiro menatap Daiki dengan kagum. "Apa kau ingin mencoba menginterogasinya?"
Daiki memandang Ichiro. Matanya sama sekali tidak berkedip dan bibirnya yang bagus itu menyunggingkan senyum dingin andalannya. "Dengan senang hati."