Chapter 4 - Bab 3

Sementara itu, di pantai saat Takao melihat bagaimana kedua anak itu meluncur bebas dari tebing tinggi ke arah laut, dia segera berlari ke arah laut. Tanpa pikir panjang lagi Takao menceburkan dirinya ke laut dan berenang cepat menyusul Hideo yang juga terjun dari tebing untuk menolong Daiki dan Ruri.

Yoshio cepat tanggap dan berlari mencari pertolongan setelah meminta isterinya, Mana, menjaga Sakura yang pingsan.

Hideo menyelam ke dalam laut yang dalam itu. Matanya terasa pedih dan gendang telinganya nyaris pecah berada di kedalaman itu. Ketika dia sendiri nyaris celaka, dia melihat kedua anak itu tenggelam semakin dalam. Sepertinya keduanya pingsan. Airmata Hideo berbaur dengan air laut ketika dia berenang cepat menuju keduanya.

Rasa haru memenuhi dada Hideo yang mulai sesak karena tekanan air laut melihat bagaimana kedua anak kecil itu saling berpegangan tangan meski pun maut sudah di depan mata.

Hideo meraih keduanya dalam rangkulannya dan segera berenang naik menuju permukaan laut. Sinar matahari menyambut ketika kepala mereka saat menyembul ke permukaan.

Hideo menghirup udara sebanyak-banyaknya dan melihat bahwa ada gerakan dari Ruri di lengan sebelah kirinya.

"Kau sudah sadar,Ruri?" tanya Hideo cemas. Mereka mengapung di tengah laut.

Ruri mengangguk dan lewat matanya dia melirik Daiki yang masih belum sadar di lengan sebelah kanan Hideo.

Melihat anggukan Ruri, Hideo bernapas lega. "Bertahanlah. Kita akan berenang ke darat," ucap Hideo terengah. Ombak kembali menghempas tubuhnya membuat tangannya kesemutan karena dia menahan beban berat badan kedua anak itu.

Dia menatap pantai yang masih cukup jauh untuk digapainya. Bertahanlah Hideo Katoo!! Dia mensugesti dirinya sendiri dan mulai berenang pelan.

Tiba-tiba dia mendengar suara dari kejauhan memanggil namanya. Hideo melihat seseorang berenang mendekati mereka.

"Hideo!!" Takao yang nekat berenang dari pantai melihat bahwa Hideo berenang lambat bersama kedua anak kecil itu di pelukannya. Betapa lega dan resahnya hati Takao ketika melihat kedua anak itu telah bersama Hideo.

Takao menepuk pipi Daiki yang masih belum sadar. "Daiki!!" Teriaknya cemas. Lalu dia menatap Ruri yang membelalak takut. Takao beralih pada anak perempuan itu dan merangkum wajah mungil itu. "Syukurlah kau baik-baik saja. Tapi Daiki.."

"Paman, kita harus segera ke darat. Bawalah Ruri bersamamu. Daiki bersamaku," ucap Hideo.

Takao cepat beralih memeluk Ruri dan bersama mereka berenang menuju pantai. Hideo sempat memandang laut di belakangnya yang berombak. Tidak tampak lagi anak anjing milik Ruri. Semoga saja anak anjing itu mengapung dan selamat, batin Hideo.

Mereka berenang dengan perlahan. Kaki dan tangan Hideo kembali kesemutan. Takao dapat melihat hal itu karena gerakan renang Hideo semakin melambat. Dia membuang tatapan ke pantai. Seandainya ada bantuan...

Tengah dia berpikir seperti itu, tampak dari kejauhan terlihat beberapa perahu speed melaju ke arah mereka. Terlihat juga di pantai banyak orang yang berkerumun. Hati Hideo dan Takao merasa lega ketika perahu-perahu speed itu mendekati mereka dan ternyata adalah petugas penjaga pantai.

Dengan gesit para pria bertubuh kuat itu menarik Hideo dan Takao ke atas perahu speed mereka. Ruri yang menggigil segera mereka selimuti.

"Maafkan kami datang terlambat," ucap salah satu petugas dengan menyesal.

Terlihat seorang dokter mencoba menekan dada Daiki untuk mengeluarkan air dari paru-parunya.

Takao membalas ucapan petugas pantai tersebut. "Kejadian ini juga tidak kami duga."

"Anak ini terlalu banyak menelan air laut," suara sang dokter membuat perhatian Takao lebih fokus.

Takao menggenggam tangan Daiki dan berdoa agar anaknya segera sadar. Ruri yang duduk di dekat Hideo menggeser dirinya mendekati Takao. Dia memegang lengan pria itu dan membuat coretan di sana dengan telunjuknya.

MAAFKAN AKU, PAMAN

Takao menoleh Ruri dan mendapati mata bening itu bersorot penuh penyesalan. Dia menggelengkan kepalanya dan memeluk bahu mungil anak perempuan itu.

"Jangan merasa bersalah, anakku. Daiki anak yang tangguh."

Mereka bertiga menatap usaha dokter membuat Daiki sadar. Perahu speed itu merapat ke pantai tapi Daiki masih belum sadar juga. Sakura yang sudah siuman segera berlari ke perahu speed dan terpaku melihat anak lelakinya masih dalam usaha pertolongan.

"Apa yang terjadi pada Daiki? Mengapa dia belum sadar juga?" Teriak Sakura panik.

Takao memeluk bahu Sakura. "Paru-parunya penuh dengan air."

Ruri yang digandeng oleh Hideo semakin mengkerutkan dirinya melihat bagaimana histerisnya Sakura. Hideo yang sedang dikeringkan rambutnya oleh ibunya merasakan rasa ketakutan Ruri.

Hideo menggenggam erat jemari Ruri dan berkata pada anak perempuan itu. "Jangan khawatir. Daiki itu punya nyawa banyak."

Ruri mendongak dan memandang senyum Hideo. Dia tahu bahwa pemuda itu sedang menghiburnya. Dia kembali menatap Daiki yang masih terus ditekan dadanya oleh dokter.

Karena tegangnya akan keadaan anaknya, Sakura nyaris melupakan Ruri. Dia segera tersadar dan menemukan anak perempuan itu sedang digandeng oleh Hideo dengan tubuh diselimuti kain tebal. Dia berlari ke arah Ruri dan memeluk anak itu.

"Ruri...syukurlah kamu selamat. Berdoalah agar Daiki segera sadar, ya," ucap Sakura.

Ruri balas memeluk leher Sakura dan mengangguk berulang kali. Di saat para tim medis merasa menyerah akan Daiki, tiba-tiba Daiki tersedak hebat dan memuntahkan seluruh air laut yang terminum olehnya.

"Dia sadar!!!" Para tim medis berteriak keras membuat kedua keluarga itu segera mendekati Daiki yang terus batuk.

Dengan airmata lega, Sakura memeluk anaknya dan tak hentinya dia mengucapkan doa syukurnya pada Tuhan.

Di antara rasa gamangnya, Daiki melihat bagaimana Ruri berdiri di dekatnya bersama Hideo. Anak perempuan itu menatapnya penuh khawatir. Dengan senyum khasnya, Daiki masih sempat berkata lemah. "Ruri..aku pantaskan jadi pelindungmu." Setelah itu Daiki jatuh tertidur dengan dahi sepanas tungku. Dia demam tinggi.

****

Selama liburan itu Daiki terpaksa terbaring di tempat tidur karena dia terserang demam. Sakura dan Mana, ibu Hideo, bergantian menjaga anak lelaki itu, begitu juga dengan Hideo. Sementara Takao dan Yoshio mulai mencari tahu alasan mengapa anak anjing Ruri bisa berlari menuju tebing. Insting detektif Takao mulai bangkit dan dia mengajak Yoshio menyusuri pantai.

Suatu pagi, Ruri membuka pintu kamar Daiki dan mengintip. Dia melihat Sakura sedang menempelkan kompres di dahi Daiki. Perlahan dia melangkahkan kakinya memasuki kamar.

Sakura menyadari kehadiran Ruri. Dia menoleh dan tersenyum melihat anak perempuan itu masuk ke kamar dengan pelan. Dia menggapai agar Ruri mendekat.

"Kemarilah. Daiki masih saja tidur." Sakura menarik lengan Ruri agar duduk di dekatnya.

Ruri menatap Daiki yang masih tertidur. Napasnya terlihat teratur. Dia mendengar bahwa Sakura akan mengganti air kompres Daiki dan memintanya untuk menjaga.

Sakura bergerak dari duduknya. Ruri tetap tanpa berkedip memandang Daiki. Rasa sedih menyeruak di dadanya. Dia terbayang bagaimana anak lelaki itu berusaha keras melindungi dirinya. Dia menunduk dan terpandang olehnya tangan Daiki yang terletak lemas di tepi ranjang. Diraihnya tangan itu dan digenggamnya erat-erat. Airmatanya mengalir. Dia begitu ketakutan jika Daiki meninggal. Dia begitu merasa menyesal telah membuat Daiki menderita karenanya.

Dengan terisak, Ruri membuka mulutnya. Sebuah suara serak dan terputus-putus meluncur keluar dari kerongkongannya.

"Ma..af....Ma...af...Ma...af...Dai..ki...Ma..af...Dai....ki..." Karena sudah 2 tahun tidak pernah bersuara, Ruri merasa begitu aneh saat pertama kali mendengar suaranya sendiri.

Sakura yang muncul dari mengganti air kompresan terdiam di tempatnya berdiri. Dia mendengar dengan jelas suara Ruri. Itu adalah pertama kalinya anak perempuan itu bersuara. Sakura menahan jeritan girangnya dan tetap bertahan di tempatnya berdiri. Dia tidak ingin mengganggu Ruri yang mulai berani berbicara.

Daiki mendengar suara serak yang terbata-bata itu tepat di dekat telinganya. Dia membuka matanya dan menoleh ke samping. Dilihatnya Ruri tengah memegang erat jemarinya. Tampak airmata anak perempuan itu mengalir sepanjang pipinya yang mulus.

Senyum Daiki muncul. Dengan susah payah dia mencoba menegur Ruri.

"Ruri...akhirnya kamu bicara juga," ucapnya lambat.

Ruri mengangguk. Melihat senyuman Daiki, airmatanya berhenti seketika. "Dai...ki.." Ruri kembali melanjutkan bicaranya.

Daiki menyeringai lebar. "Aku berhasil membuatmu bicara."

Sementara itu Takao dan Yoshio mendaki tebing itu dan menemukan seonggok daging mentah yang membusuk di ujung tebing. Yoshio mengendus benda itu dan menatap Takao penuh arti.

"Kurasa daging inilah yang memancing Hani menaiki tebing. Pertanyaanku adalah bagaimana bisa daging potongan yang terdapat di supermarket bisa ada di sini."

Takao membuang tatapannya ke bawah tebing. Di mana terdapat lautan dalam menanti. Kemudian dia bisa melihat sepanjang pantai yang berada di depan villa mereka. Di mana saat itu Ruri bermain bersama Hani.

Dia bertukar pandang dengan Yoshio dan mereka memiliki pemikiran yang sama. Ada seseorang di pantai saat itu dan berencana mencelakai Ruri! Lebih tepatnya ingin melakukan pembunuhan yang kedua!