Sementara itu, di pantai saat Takao melihat bagaimana kedua anak itu meluncur bebas dari tebing tinggi ke arah laut, dia segera berlari ke arah laut. Tanpa pikir panjang lagi Takao menceburkan dirinya ke laut dan berenang cepat menyusul Hideo yang juga terjun dari tebing untuk menolong Daiki dan Ruri.
Yoshio cepat tanggap dan berlari mencari pertolongan setelah meminta isterinya, Mana, menjaga Sakura yang pingsan.
Hideo menyelam ke dalam laut yang dalam itu. Matanya terasa pedih dan gendang telinganya nyaris pecah berada di kedalaman itu. Ketika dia sendiri nyaris celaka, dia melihat kedua anak itu tenggelam semakin dalam. Sepertinya keduanya pingsan. Airmata Hideo berbaur dengan air laut ketika dia berenang cepat menuju keduanya.
Rasa haru memenuhi dada Hideo yang mulai sesak karena tekanan air laut melihat bagaimana kedua anak kecil itu saling berpegangan tangan meski pun maut sudah di depan mata.
Hideo meraih keduanya dalam rangkulannya dan segera berenang naik menuju permukaan laut. Sinar matahari menyambut ketika kepala mereka saat menyembul ke permukaan.
Hideo menghirup udara sebanyak-banyaknya dan melihat bahwa ada gerakan dari Ruri di lengan sebelah kirinya.
"Kau sudah sadar,Ruri?" tanya Hideo cemas. Mereka mengapung di tengah laut.
Ruri mengangguk dan lewat matanya dia melirik Daiki yang masih belum sadar di lengan sebelah kanan Hideo.
Melihat anggukan Ruri, Hideo bernapas lega. "Bertahanlah. Kita akan berenang ke darat," ucap Hideo terengah. Ombak kembali menghempas tubuhnya membuat tangannya kesemutan karena dia menahan beban berat badan kedua anak itu.
Dia menatap pantai yang masih cukup jauh untuk digapainya. Bertahanlah Hideo Katoo!! Dia mensugesti dirinya sendiri dan mulai berenang pelan.
Tiba-tiba dia mendengar suara dari kejauhan memanggil namanya. Hideo melihat seseorang berenang mendekati mereka.
"Hideo!!" Takao yang nekat berenang dari pantai melihat bahwa Hideo berenang lambat bersama kedua anak kecil itu di pelukannya. Betapa lega dan resahnya hati Takao ketika melihat kedua anak itu telah bersama Hideo.
Takao menepuk pipi Daiki yang masih belum sadar. "Daiki!!" Teriaknya cemas. Lalu dia menatap Ruri yang membelalak takut. Takao beralih pada anak perempuan itu dan merangkum wajah mungil itu. "Syukurlah kau baik-baik saja. Tapi Daiki.."
"Paman, kita harus segera ke darat. Bawalah Ruri bersamamu. Daiki bersamaku," ucap Hideo.
Takao cepat beralih memeluk Ruri dan bersama mereka berenang menuju pantai. Hideo sempat memandang laut di belakangnya yang berombak. Tidak tampak lagi anak anjing milik Ruri. Semoga saja anak anjing itu mengapung dan selamat, batin Hideo.
Mereka berenang dengan perlahan. Kaki dan tangan Hideo kembali kesemutan. Takao dapat melihat hal itu karena gerakan renang Hideo semakin melambat. Dia membuang tatapan ke pantai. Seandainya ada bantuan...
Tengah dia berpikir seperti itu, tampak dari kejauhan terlihat beberapa perahu speed melaju ke arah mereka. Terlihat juga di pantai banyak orang yang berkerumun. Hati Hideo dan Takao merasa lega ketika perahu-perahu speed itu mendekati mereka dan ternyata adalah petugas penjaga pantai.
Dengan gesit para pria bertubuh kuat itu menarik Hideo dan Takao ke atas perahu speed mereka. Ruri yang menggigil segera mereka selimuti.
"Maafkan kami datang terlambat," ucap salah satu petugas dengan menyesal.
Terlihat seorang dokter mencoba menekan dada Daiki untuk mengeluarkan air dari paru-parunya.
Takao membalas ucapan petugas pantai tersebut. "Kejadian ini juga tidak kami duga."
"Anak ini terlalu banyak menelan air laut," suara sang dokter membuat perhatian Takao lebih fokus.
Takao menggenggam tangan Daiki dan berdoa agar anaknya segera sadar. Ruri yang duduk di dekat Hideo menggeser dirinya mendekati Takao. Dia memegang lengan pria itu dan membuat coretan di sana dengan telunjuknya.
MAAFKAN AKU, PAMAN
Takao menoleh Ruri dan mendapati mata bening itu bersorot penuh penyesalan. Dia menggelengkan kepalanya dan memeluk bahu mungil anak perempuan itu.
"Jangan merasa bersalah, anakku. Daiki anak yang tangguh."
Mereka bertiga menatap usaha dokter membuat Daiki sadar. Perahu speed itu merapat ke pantai tapi Daiki masih belum sadar juga. Sakura yang sudah siuman segera berlari ke perahu speed dan terpaku melihat anak lelakinya masih dalam usaha pertolongan.
"Apa yang terjadi pada Daiki? Mengapa dia belum sadar juga?" Teriak Sakura panik.
Takao memeluk bahu Sakura. "Paru-parunya penuh dengan air."
Ruri yang digandeng oleh Hideo semakin mengkerutkan dirinya melihat bagaimana histerisnya Sakura. Hideo yang sedang dikeringkan rambutnya oleh ibunya merasakan rasa ketakutan Ruri.
Hideo menggenggam erat jemari Ruri dan berkata pada anak perempuan itu. "Jangan khawatir. Daiki itu punya nyawa banyak."
Ruri mendongak dan memandang senyum Hideo. Dia tahu bahwa pemuda itu sedang menghiburnya. Dia kembali menatap Daiki yang masih terus ditekan dadanya oleh dokter.
Karena tegangnya akan keadaan anaknya, Sakura nyaris melupakan Ruri. Dia segera tersadar dan menemukan anak perempuan itu sedang digandeng oleh Hideo dengan tubuh diselimuti kain tebal. Dia berlari ke arah Ruri dan memeluk anak itu.
"Ruri...syukurlah kamu selamat. Berdoalah agar Daiki segera sadar, ya," ucap Sakura.
Ruri balas memeluk leher Sakura dan mengangguk berulang kali. Di saat para tim medis merasa menyerah akan Daiki, tiba-tiba Daiki tersedak hebat dan memuntahkan seluruh air laut yang terminum olehnya.
"Dia sadar!!!" Para tim medis berteriak keras membuat kedua keluarga itu segera mendekati Daiki yang terus batuk.
Dengan airmata lega, Sakura memeluk anaknya dan tak hentinya dia mengucapkan doa syukurnya pada Tuhan.
Di antara rasa gamangnya, Daiki melihat bagaimana Ruri berdiri di dekatnya bersama Hideo. Anak perempuan itu menatapnya penuh khawatir. Dengan senyum khasnya, Daiki masih sempat berkata lemah. "Ruri..aku pantaskan jadi pelindungmu." Setelah itu Daiki jatuh tertidur dengan dahi sepanas tungku. Dia demam tinggi.
****
Selama liburan itu Daiki terpaksa terbaring di tempat tidur karena dia terserang demam. Sakura dan Mana, ibu Hideo, bergantian menjaga anak lelaki itu, begitu juga dengan Hideo. Sementara Takao dan Yoshio mulai mencari tahu alasan mengapa anak anjing Ruri bisa berlari menuju tebing. Insting detektif Takao mulai bangkit dan dia mengajak Yoshio menyusuri pantai.
Suatu pagi, Ruri membuka pintu kamar Daiki dan mengintip. Dia melihat Sakura sedang menempelkan kompres di dahi Daiki. Perlahan dia melangkahkan kakinya memasuki kamar.
Sakura menyadari kehadiran Ruri. Dia menoleh dan tersenyum melihat anak perempuan itu masuk ke kamar dengan pelan. Dia menggapai agar Ruri mendekat.
"Kemarilah. Daiki masih saja tidur." Sakura menarik lengan Ruri agar duduk di dekatnya.
Ruri menatap Daiki yang masih tertidur. Napasnya terlihat teratur. Dia mendengar bahwa Sakura akan mengganti air kompres Daiki dan memintanya untuk menjaga.
Sakura bergerak dari duduknya. Ruri tetap tanpa berkedip memandang Daiki. Rasa sedih menyeruak di dadanya. Dia terbayang bagaimana anak lelaki itu berusaha keras melindungi dirinya. Dia menunduk dan terpandang olehnya tangan Daiki yang terletak lemas di tepi ranjang. Diraihnya tangan itu dan digenggamnya erat-erat. Airmatanya mengalir. Dia begitu ketakutan jika Daiki meninggal. Dia begitu merasa menyesal telah membuat Daiki menderita karenanya.
Dengan terisak, Ruri membuka mulutnya. Sebuah suara serak dan terputus-putus meluncur keluar dari kerongkongannya.
"Ma..af....Ma...af...Ma...af...Dai..ki...Ma..af...Dai....ki..." Karena sudah 2 tahun tidak pernah bersuara, Ruri merasa begitu aneh saat pertama kali mendengar suaranya sendiri.
Sakura yang muncul dari mengganti air kompresan terdiam di tempatnya berdiri. Dia mendengar dengan jelas suara Ruri. Itu adalah pertama kalinya anak perempuan itu bersuara. Sakura menahan jeritan girangnya dan tetap bertahan di tempatnya berdiri. Dia tidak ingin mengganggu Ruri yang mulai berani berbicara.
Daiki mendengar suara serak yang terbata-bata itu tepat di dekat telinganya. Dia membuka matanya dan menoleh ke samping. Dilihatnya Ruri tengah memegang erat jemarinya. Tampak airmata anak perempuan itu mengalir sepanjang pipinya yang mulus.
Senyum Daiki muncul. Dengan susah payah dia mencoba menegur Ruri.
"Ruri...akhirnya kamu bicara juga," ucapnya lambat.
Ruri mengangguk. Melihat senyuman Daiki, airmatanya berhenti seketika. "Dai...ki.." Ruri kembali melanjutkan bicaranya.
Daiki menyeringai lebar. "Aku berhasil membuatmu bicara."
Sementara itu Takao dan Yoshio mendaki tebing itu dan menemukan seonggok daging mentah yang membusuk di ujung tebing. Yoshio mengendus benda itu dan menatap Takao penuh arti.
"Kurasa daging inilah yang memancing Hani menaiki tebing. Pertanyaanku adalah bagaimana bisa daging potongan yang terdapat di supermarket bisa ada di sini."
Takao membuang tatapannya ke bawah tebing. Di mana terdapat lautan dalam menanti. Kemudian dia bisa melihat sepanjang pantai yang berada di depan villa mereka. Di mana saat itu Ruri bermain bersama Hani.
Dia bertukar pandang dengan Yoshio dan mereka memiliki pemikiran yang sama. Ada seseorang di pantai saat itu dan berencana mencelakai Ruri! Lebih tepatnya ingin melakukan pembunuhan yang kedua!
****
Tokyo, Masa Sekarang
"Apakah anda, Minato Kamiya menerima Ruri Fujita sebagai istri dan mencintainya sehidup semati?"
"Ya. Saya menerima."
Di sebuah gereja elit di kawasan peternakan di bagian barat Tokyo tampak sedang dilangsungkan upacara pernikahan yang mewah. Para undangan yang hadir di gereja itu terlihat dari kalangan atas Jepang dan bahkan terdapat beberapa artis papan atas.
Di mimbar yang megah terlihat sepasang pengantin sedang melakukan sumpah setianya di hadapan seorang pendeta setengah tua berwajah ramah.
Sang pendeta tersenyum dan memandang sang pengantin wanita yang terlihat pucat.
"Dan anda, Ruri Fujita, apakah anda menerima...."
Belum saja sang pendeta menyelesaikan kalimatnya, tampak sang pengantin wanita membalikkan tubuhnya dan berlari kencang meninggalkan altar pengantinnya. Meninggalkan mempelai prianya yang bengong menyaksikan calon isterinya lari pontang- panting.
Para hadirin yang memenuhi gereja bangkit berdiri dan berteriak kaget melihat bagaimana mempelai wanita yang begitu cantik itu berlari kencang keluar dari gereja dengan mengangkat rok gaun pengantinnya yang panjang.
"Pengantin wanitanya lari!!"
"Ya Tuhan!! Dia lari lagi!!"
Semua berteriak panik dan berusaha mengejar sang pengantin. Pengantin pria yang ditinggalkan tampak berdiri pucat dan jatuh terduduk jika tidak segera ditopang oleh pendamping pria.
Terlihat seorang pria tua bergerak dari tempatnya hendak mengejar pengantin wanita yang barusan saja digandengnya memasuki gereja.
Namun gerakan pria tua itu terhenti oleh sentuhan lembut pada bahunya. Terdengar suara berat yang tenang. "Ayah di sini saja. Aku akan menyusulnya."
****
Ruri membalapkan kudanya menjauhi gereja dan menuju sebuah bukit kecil di sebelah barat peternakan itu. Di mana terdapat sebuah pohon sakura tua yang sedang mekar dengan lebatnya dan berdiri di atas bukit itu, kita dapat melihat pemandangan indah kota Tokyo yang padat.
Di sanalah Ruri menghentikan kudanya dan duduk diam di atas pelana menatap pemandangan indah yang terbentang sementara kuda cokelat itu asyik memakan rumput.
"Melarikan diri lagi, Ruri?"
Ruri memutar lehernya yang jenjang dan melihat seorang pria tampan bermata tajam duduk di atas seekor kuda putih yang besar dan gagah. Pria berambut cokelat yang selalu tersisir berantakan itu tampak luar biasa mempesona di atas pelananya dengan setelan jas hitamnya yang elegan. Wajah tampan itu dinaungi sepasang mata hitam pekat yang selalu bersorot tajam jika sedang membahas sebuah kasus bersama partnernya. Tapi sinar mata itu selalu melembut jika menatap dirinya. Dan bibir penuh yang selalu pelit senyum itu akan selalu melengkung ramah jika berada di dekatnya. Pria itu selalu berada di sisinya selama dirinya tumbuh.
"Daiki," ucap Ruri pelan. Dia tidak sanggup terlalu lama menatap sepasang mata hitam itu. Entah sejak kapan Ruri merasakan jantungnya berdebar kencang tiap kali menantang terlalu lama sepasang mata hitam pekat itu. Jantungnya berdebar kencang oleh debar yang tak pernah dipahaminya.
Daiki Watanabe menatap wanita cantik bergaun putih yang duduk di atas kuda itu dengan perasaan campur aduk. Wanita yang tumbuh bersamanya hampir separuh hidupnya. Anak perempuan yang dulunya begitu penyendiri, kini berubah menjadi wanita mandiri meskipun sifat pendiamnya dari masa kecil masih melekat di dirinya. Daiki sudah sangat mengenal Ruri seperti mengenal dirinya sendiri.
Daiki menarik kekang kudanya agar mendekati kuda Ruri yang asyik mengunyah rumput. "Ini sudah yang ke enam kalinya," tegur Daiki halus.
Ruri menghela napas panjang. Tangannya yang masih memakai sarung tangan putih satin mengelus surai kudanya. Kembali didengarnya suara Daiki.
"RUNAWAY BRIDE." Ada nada geli pada suara berat itu membuat Ruri menoleh dengan meringis.
"Jangan mengejekku dengan julukan itu," cetus Ruri jengah. Ya, RUNAWAY BRIDE adalah julukannya di Jepang. Karena terlalu seringnya dia melarikan diri ketika upacara pernikahannya, akhirnya salah satu majalah pernikahan terkemuka di Jepang memintanya menjadi sampul majalah itu. Hal itu terjadi karena calon pengantin pria yang kedua merasa sakit hati padanya sehingga mengunggah foto dirinya yang mengenakan gaun pengantin di salah satu akun media sosial dengan hastagh RUNAWAYBRIDE dan BITCH serta memberikan tag atas usernamenya.
Ketika foto itu menyebar, Daiki sudah siap dengan pistolnya untuk menangkap ex-calon mempelai Ruri, namun dengan tertawa tidak peduli, Ruri mengatakan bahwa berita itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi ketika dia menjadi calon mempelai wanita untuk ke tiga kalinya, dia kembali menjadi RUNAWAY BRIDE dan itu terjadi tiap kali dia sudah berada di altar dan harus menjawab janji pernikahan.
Tentu saja Daiki tahu alasannya mengapa Ruri selalu kabur di detik-detik yang menentukan seseorang untuk menjadi seorang isteri. Trauma masa kecil masih terus menghantui hidup wanita cantik itu. Ketidakpercayaan pada sebuah pernikahan dan ketakutan menjadi seorang isteri kerap kali membuat Ruri meninggalkan calon suaminya di depan altar. RUNAWAY BRIDE adalah sebuah judul film puluhan tahun lalu yang dibintangi oleh Julia Roberts menjadi julukan yang melekat pada diri Ruri.
"Aku tahu trauma itu masih melekat dalam benakmu," ucap Daiki perlahan. Dia melirik kedua tangan Ruri yang bergetar memengang tali kekang kudanya.
Daiki mengulurkan tangannya dan menggenggam jemari yang dibungkus sarung tangan itu. Ruri menoleh dan melihat bagaimana senyum khas Daiki menghiasi wajah tampan nan dingin itu.
"1...2...3...Hilanglah rasa takut." Daiki melakukan hal itu tiap kali Ruri merasa ketakutan sejak mereka kanak-kanak.
Ruri tersenyum dan membalas genggaman Daiki. Telapak tangan pria itu selalu berhasil mengusir rasa takutnya, menciptakan rasa aman di hatinya persis seperti waktu mereka kanak-kanak.
Melihat Ruri sudah tenang, Daiki mendongak ke langit. "Jadi, bagaimana dengan calon pengantinmu tadi?"
"Kita langsung pulang saja," sahut Ruri cepat dan menarik tali kekang kudanya. Dia memutar kudanya dengan mahir dan membalapkannya menuruni bukit.
Daiki melakukan hal yang sama. Dia membedal kudanya mengejar kuda cokelat yang ditunggangi Ruri.
Keduanya sampai pada gereja yang sudah sepi dan hanya menyisakan beberapa anggota pengurus pernikahan. Dua buah mobil sedan putih terparkir di depan gereja dengan tiga orang yang berdiri menanti Daiki dan Ruri.
Takao menunggu bersama Hideo Katoo yang tampan ditemani oleh seorang wanita mungil bertubuh langsing berambut blonde. Naoko Abe adalah sahabat Ruri sekaligus kekasih Hideo. Setiap gaun pengantin yang dikenakan Ruri adalah hasil rancangannya sebagai seorang designer bridal. Dan tiap kali dia menghabiskan waktunya untuk merancang gaun pernikahan bagi Ruri, tiap kali juga dia harus menggerutu karena sahabatnya itu selalu gagal berdiri di altar. Dan kali ini dia mendesain dengan mengeluarkan segala daya khayalnya dan tetap saja akhirnya hanya menjadi koleksi di lemari Ruri.
"Paman." Ruri melompat dari kuda dan berlari memeluk Takao. Dia memeluk lelaki tua itu dengan sayang sekaligus dengan rasa bersalah. "Maaf."
Takao mengelus rambut Ruri yang saat itu dijepit oleh sebuah jepitan rambut kupu-kupu yang terbuat dari perak.
"Jangan meminta maaf, anakku. Tidak ada yang menyalahkanmu jika pernikahan itu batal." Takao menenangkan rasa penyesalan Ruri.
Ruri menempelkan pipinya di dada Takao yang lebar. "Jika Bibi masih hidup, dia pasti akan sedih aku selalu melarikan diri setelah berdiri di altar." Ruri memejamkan matanya dan mengenang Sakura yang halus dan lembut. Sakura yang selama ini menjadi seorang ibu yang tak pernah dimilikinya.
Takao tetap mengelus rambut Ruri dengan perasaan haru. Seketika dia merindukan isterinya yang setahun lalu meninggal karena sakit kanker darah yang dideritanya selama bertahun-tahun. Tapi dia tahu bahwa Sakura meninggalkan mereka dengan hati tenang karena mereka telah menjadi orang tua asuh Ruri secara hukum yang sah. Sakura tidak pernah ingin Ruri menjadi anak angkatnya karena dia tidak ingin Ruri menggunakan marga Watanabe. Bukan karena dia tidak menerima Ruri. Dia sangat mencintai Ruri bagai anak sendiri tapi dia menginginkan agar Ruri tetap menjaga marganya sendiri meskipun dia tahu bahwa Ruri berusaha melupakan marganya karena marga itu selalu mengingatkan masa lalunya yang menyedihkan.
Daiki turun dari kudanya dan mendengar kalimat Ruri tentang ibunya. Dia berjalan mendekat dan berkata pada Hideo yang berdiri di dekat Takao.
"Apakah ada protes dari keluarga mempelai pria, Senpai?" tanya Daiki.
Hideo nyengir dan mengerling Naoko yang sedang memandangnya. "Kurasa dari awal mereka sudah mempersiapkan diri jika kejadian ini terjadi," tawa Hideo.
Ruri melepaskan pelukannya pada Takao dan membesarkan bola matanya. "Benarkah?" tanyanya tak percaya.
"Oh...tentu saja. Ex-calon suamimu nyaris jantungan ketika kau melarikan diri. Tapi dari yang kudengar pihak keluarganya menegurnya begini, 'kami sudah bilang kau sedang meminang wanita aneh yang suka kabur setelah berada di altar. Kau cari mati mengajak RUNAWAY BRIDE menikah denganmu.' Kurasa julukanmu sudah begitu meluas," tawa Naoko.
Ruri ikut menyengir seperti yang dilakukan Hideo. Dia melepas tudung pengantinnya. "Gaunmu kali ini sangat cantik. Sayangnya dia akan kubungkus bersama gaun lainnya di lemari pakaian di apartementku," dia menatap Naoko dengan menyesal.
Naoko memeluk lengannya dan menepuk pipi Ruri. "Sejak aku merancang gaun ini, benakku sudah membayangkan hal seperti ini akan terjadi. Dan paling tidak kau selalu membayar lunas gaunnya." Dia tertawa diikuti Ruri.
Mereka tertawa dan bersama memasuki mobil. Daiki memasuki audy putih bersama Ruri dan Takao sementara mobil sport putih lainnya dikemudikan oleh Hideo bersama Naoko.
Sebelum menjalankan mobilnya, Daiki menoleh Ruri yang tampak sedang meluruskan gaunnya. "Apartement atau tokomu?"
Ruri mengeluarkan ponselnya dari dalam dashboard dan mengecek jadwalnya. Dia menoleh Daiki dan menggoyangkan benda itu. "Toko. Ternyata aku telah membuat janji temu dengan calon karyawan baruku."
Daiki menghidupkan mesin mobil. Dia melirik sekilas dan menyunggingkan smirknya yang memikat. "Bagaimana bisa kau membuat janji bisnis di hari pernikahanmu," dia menggelengkan kepalanya dan menjalankan mobil menuju keluar area gereja.
"Tapi aku tidak menikah hari ini," balas Ruri cepat.
Terdengar tawa renyah Daiki. "Bukan tidak menikah. Tapi batal menikah."
Ruri memandang keluar jendela mobil, menatap pemandangan indah peternakan yang dilaluinya. Dia bergumam pelan. "Jika aku menikah nanti, apakah kau akan tetap menjagaku seperti dulu dan sekarang?"
Gumaman itu hanya terdengar oleh Daiki, membuat pria itu mencengkram setirnya dengan kencang. Dia melirik ayahnya yang duduk di bagian belakang melalui spion dalam. Pria tua itu seolah tidak mendengar gumaman serak Ruri.
Daiki berusaha fokus pada objek di jalanan depan matanya. Lewat ekor matanya dia menangkap gerakan Ruri yang menatapnya. Dia menelan air ludahnya dan menjawab tanpa menoleh.
"Kau tahu bahwa aku akan selalu menjagamu selamanya."
"Tapi suatu hari kau juga akan menemukan seorang wanita. Menikah dan memiliki keluarga bersamanya, Daiki. Dan tentu saja aku tidak akan rela bila itu terjadi," Ruri menertawakan dirinya sendiri.
Daiki tidak merespon. Di hatinya justru berkata pelan. Bagaimana bisa aku menemukan wanita lain selain dirimu? Bagaimana bisa aku mencintai wanita lain selain dirimu, Ruri.
Ponsel Daiki berdering nyaring. Dia mengeluarkannya dari saku kemeja putihnya. Dia mengerutkan keningnya saat membaca nama Hideo di touchscreennya.
"Ya, Senpai."
"Orang yang menusuk ibu Ruri berada di kepolisian kita."
****
New York City. Manhattan
Kawasan Manhattan dikenal sebagai kawasan elit di New York City. Harga apartement dan perumahan yang ditawarkan memiliki harga selangit. Seperti sebuah rumah megah di kawasan perumahan elit bagian barat Manhattan yang berdiri kokoh di atas tanah seluas lapangan sepakbola yang dilengkapi dengan puluhan kamar, kolam renang, lift dan terutama taman bunga mawar di area belakang. Rumah mewah itu milik seorang pria muda asal Jepang yang memiliki kekayaan berlimpah dari begitu banyak perusahaan yang tersebar di Amerika dan Eropa. Perusahaan-perusahaan raksasa yang dulunya berdiri sendiri namun telah beralih fungsinya di bawah kekuasaan seorang yang sangat ahli di dunia hitam mafia. Seorang yang muda dan tampan yang sanggup menaklukkan penguasa lainnya sekaligus penakluk para wanita. Junichi Kimura.
Junichi Kimura. Baru mendengar namanya saja mampu membuat para lawan bisnis gentar. Seorang mafia besar di era modern. Sudah berapa banyak perusahaan-perusahaan bermodal besar bertekuk lutut padanya karena pada awalnya meminjam modal pada pria muda itu. Sedikit demi sedikit dengan otaknya yang tajam dia menjerat perusahaan-perusahaan itu di dalam cengkramannya.
Dengan wajahnya yang luar biasa tampan dan tubuh atletis, Junichi tidak hanya ahli menundukkan perusahaan-perusahaan raksasa Amerika dan Eropa, Junichi juga sangat ahli menundukkan wanita mana saja yang menarik hatinya. Dia pindah dari ranjang satu ke ranjang lainnya. Tidak peduli apakah itu perawan atau isteri orang. Dan ketika semua hasratnya telah terpenuhi dia akan meninggalkan mereka begitu saja. Tidak ada satu pun dari wanita itu menyesal. Bagi mereka Junichi adalah rahasia romantis mereka. Mereka rela menjadi kekasih bagi pria itu karena Junichi memperlakukan mereka begitu lembut dan memuja.
Tentu saja Junichi tidak pernah menganggap semua wanita yang bersamanya itu penting apalagi berarti bagi hidupnya. Baginya hanya ada satu wanita saja yang sangat berarti bagi diri dan hidupnya. Sayuri Fukada. Kepada wanita itulah dia menyerahkan jiwa raganya. Tunangannya yang begitu cantik dan halus. Wanita yang begitu lembut dan tidak pernah menuntut apa pun darinya. Karena Sayuri selalu tahu bahwa Junichi akan kembali padanya dari semua petualangan yang dilakukannya.
Kepada Sayuri, Junichi sama sekali tidak pernah menyentuhnya sehingga tunangannya itu bagai boneka yang tak terjamah. Junichi begitu memuja Sayuri dan tak ingin merusak tunangannya sebelum menikah. Kadang dia merasa bersalah pada Sayuri atas apa yang dilakukannya tetapi wanita itu sama sekali tidak pernah mengeluh.
Sayuri begitu mengenal Junichi. Mengenal betapa Junichi menghormati dan memuja dirinya. Mengenal hasrat Junichi yang besar sehingga dia memberikan kebebasan pada pria itu untuk memuaskan dirinya dengan cara pria itu sendiri asal dia tak tersentuh.
Junichi menatap foto dirinya bersama Sayuri di ruang kerjanya dengan senyum. Dia membangun rumah mewah itu agar kelak ditempati Sayuri setelah mereka menikah. Saat itulah dia akan meninggalkan para wanita di belakangnya. Ketika dia sedang mengkhayalkan kehidupan bahagianya bersama Sayuri, ponselnya di atas meja mahoni itu berdering.
Dengan cepat dia melihat nama yang terpampang. Dia tersenyum miring ketika meraih benda itu.
"Bagaimana? Bagus! Berusahalah agar tersamar. Selidiki semuanya dan terus kirimi aku kabar setiap saat. Aku yakin aku bisa mengandalkanmu." Junichi menutup percakapan dengan mengangkat sebelah alisnya. Ada seukir senyum dingin di wajah bangsawan miliknya.
Sebuah suara muncul di ambang pintu. "Tuan muda, Nona Sayuri sudah datang."