New York City.
Suara dering ponsel terdengar nyaring di ruangan kerja bergaya deco di penthouse itu. Shinobu memandang nama yang muncul di layar touchscreennya dan melihat bahwa yang menelpon adalah Sekretaris Nakano yang berada di Tokyo.
Dia meraih benda itu dan menempelkannya di telinga. "Hallo!" suaranya terdengar datar dan tajam.
"Dua orang detektif dari kepolisian Tokyo datang siang ini" - Suara Sekretaris Nakano.
"Mau apa mereka?" tanya Shinobu sambil memainkan ujung gelas slokinya.
"Mereka mulai ingin tahu alasan nyonya bunuh diri. Mereka juga menanyakan tentang Kenji Fujita" - Suara Sekretaris Nakano.
Shinobu menggenggam erat ponselnya. Wajahnya berubah gelap ketika mendengar nama Kenji Fujita. Pria pengecut yang membiarkan istrinya mati begitu saja di depan matanya. Pria sialan yang meniduri Miyaki dan merampok hartanya di brankas.
"Kau tahu harus menjawab apa!" gelegar Shinobu.
"Saya katakan tidak mengenal nama itu...tapi..." - Sekretaris Nakano berhenti sejenak.
"Tapi apa??!!" bentak Shinobu.
"Sepertinya mereka menghubungkan kematian nyonya dengan Akemi Kondoo, isteri dari Kenji Fujita. Saya menemukan sebuah artikel pendek di internet bahwa anak perempuan Fujita bersembunyi di dalam lemari di kamar tempat kejadian itu berlangsung" - Suara Sekretaris Nakano.
"Apa!!!" Shinobu melompat bangun dan meringis karena kakinya membutuhkan tongkatnya. Dia kembali menjatuhkan dirinya sambil meraih tongkat kuningan miliknya yang berada di samping lengan kursi.
"Anak itu menyaksikan ibunya dibunuh dari celah lemari pakaian. Saya akan mengirim artikel tersebut melalui email" - Sekretaris Nakano menutup pembicaraan yang membuat Shinobu tercenung.
Pria paruh baya itu mengelus dagunya sambil menunggu email dari Sekretaris Nakano. Tak lama tampak sebuah kotak email muncul di layar laptopnya. Dia segera membuka kotak email tersebut. Sebuah artikel pendek menerpa pupil matanya. Ulasan tentang pembunuhan wanita muda serta berita sang anak perempuan yang ditemukan pihak kepolisian bersembunyi di dalam lemari pakaian.
Shinobu memperhatikan dengan seksama wajah anak perempuan berambut panjang itu. Tinjunya terkepal. Satu-satunya saksi atas pembunuhan itu adalah anak perempuan itu. Kenji Fujita belum berhasil didapatnya justru muncul ancaman dari seorang anak kecil!
Shinobu meraih ponselnya dan langsung terhubung pada seorang kepercayaannya di Tokyo. "Cari keberadaan anak perempuan Kenji Fujita!"
****
Kasus pembunuhan Akemi Kondoo akhirnya ditangguhkan. Setelah mendatangi kediaman Shinobu, Divisi Kriminal menugaskan beberapa petugas polisi untuk menyelidiki markas besar mafia itu. Dari penyelidikan selama kurang lebih 2 bulan itu, mereka tidak menemukan keterlibatan kelompok Shinobu Kimura dengan keluarga Fujita.
Meskipun dari rekaman CCTV yang dilihat oleh Divisi Kriminal terdapat hubungan yang nyata dari Kenji Fujita dan Miyaki Asakusa, rekaman perselingkuhan itu tidak bisa dihubungkan dengan Shinobu yang membunuh Akemi Kondoo serta menghilangnya Kenji Fujita.
Shin Makabe menyampaikan bahwa penyelidikan itu ditutup atas perintah Kepala Kepolisian Tokyo. Kenji Fujita menjadi orang hilang dan mereka mendoakan agar arwah Akemi Kondoo tenang di alamnya.
Tapi Takao tidak puas. Bersama Yoshio diam-diam dia mulai meretas CCTV yang ada di rumah kediaman Shinobu.
Di malam semua orang tidur nyenyak, Takao dan Yoshio mendeteksi salah satu CCTV yang ada di rumah megah Shinobu. Yoshio menemukan kode sandi sebuah CCTV yang berada di halaman rumah itu dan mengirim sandi itu pada Takao yang sudah siap di depan komputernya.
Takao menerima sandi tersebut dan dia mulai menekan keyboard dengan cepat. Seluruh CCTV yang berada di lingkungan rumah itu segera terbuka di layar komputernya.
Takao menatap semua rekaman itu dengan seksama di malam terjadinya pembunuhan Akemi Kondoo. Semua CCTV tidak menampakkan keanehan bahkan Takao terpaksa mengalihkan CCTV yang ada di kamar Miyaki Asakusa. Dia dapat melihat bagaimana perselingkuhan itu berlangsung.
Dia membuang arah pandangnya pada sebuah kotak rekaman CCTV di ruang kerja Shinobu. Tidak ada yang terjadi hingga matanya menangkap sesosok berpakaian hitam menuju sebuah lemari besi di kamar itu. Sosok yang dilihatnya hanya menampakkan punggung yang tegap dengan tubuh jangkung.
Takao duduk lebih tegak dan jantungnya berdebar kencang ketika sosok itu berhasil membuka kunci sandi lemari besi itu yang ternyata berisi sebuah kotak brankas berisikan jutaan Yen menurut dugaan Takao. Tampak sosok yang membelakangi kamera CCTV itu meraup semua isi brankas, dan ketika sosok itu berbalik, dengan cepat Takao menekan stop dan memperhatikan wajah di balik topi itu.
Dia tersandar di kursinya ketika mengenali wajah tampan di bawah topi itu. Meski kualitas gambar dari CCTV itu cukup rendah, mudah bagi Takao mengenali wajah itu. Wajah itu menjadi prioritas pertamanya selama 3 bulan ini. Wajah pria yang terdapat di potret keluarga Fujita. Itu adalah Kenji Fujita.

Takao menekan pelipisnya yang berdenyut. Jika Kenji mengambil seluruh uang yang ada di brankas, mengapa tidak ada laporan kehilangan dari Shinobu? Mengapa justru kepala mafia itu melaporkan peristiwa gantung diri Miyaki Asakusa? Mengapa bukan uang yang hilang? Mengapa keluarga Fujita terlihat sedang bersiap-siap berkemas? Mengapa? Mengapa?
Takao tersentak. Jika pembunuhan itu terjadi secara terencana maka satu-satunya saksi adalah Ruri. Dan apa yang terjadi jika sang pembunuh melihat dan mendengar bahwa seorang saksi itu masih hidup? Takao tidak berani melanjutkan pikirannya.
Dia menelpon Yoshio agar segera kembali kantor.
****
Takao dan Sakura mamasukkan Ruri di sekolah yang sama dengan Daiki. Meskipun Ruri setahun di bawah Daiki, hal itu tidak mengurangi kegembiraan anak lelaki itu. Daiki begitu girangnya membayangkan akan bersekolah di tempat yang sama dengan Ruri.

Ruri menatap Takao dengan bimbang. Sinar matanya seolah mengatakan apakah aku mampu berada di lingkungan baru?
Takao berjongkok dan mengusap kepala Ruri. Anak itu tidak lagi menjauhkan dirinya tiap kali telapak tangannya menyentuh kepala mungil itu. Takao tahu dari sekian banyaknya trauma yang dialami Ruri, anak perempuan itu selalu ketakutan dengan telapak tangan pria dewasa. Ruri selalu terbayang telapak tangan ayahnya yang selalu memukul ibunya.
"Kau akan baik-baik saja,Ruri. Daiki ada di dekatmu," hibur Takao ketika pagi itu Ruri telah disiapkan Sakura untuk berangkat ke sekolah bersama Daiki.
Sakura ikut tersenyum di samping Takao. "Tidak usah khawatir. Di sini bukan Toshima* (salah satu distrik yang terletak di Tokyo ) tapi ini adalah Koto* (salah satu distrik yang ada di perfektur Tokyo seperti Toshima). Lihatlah, Daiki sudah menunggu di sana. Dengan sepedanya siap menggoncengmu."
Ruri menatap di belakang punggung kedua orang itu. Terlihat Daiki sedang memperhatikan ban sepedanya. Anak laki-laki itu menoleh dan berlari mendekat.
"Ayo berangkat, Ruri-chan," Daiki mengulurkan tangannya.
Sejenak Ruri menatap tangan itu. Sekali lagi dia menoleh kedua orang di dekatnya. Kedua orang itu mendorong punggungnya dengan halus.
"Pergilah, nak. Nanti aku akan menyusul di belakang untuk berbicara dengan kepala sekolah," kedip Takao.
Ruri menyambut uluran tangan Daiki yang hangat. Daiki segera menggandengnya menuju sepedanya. Hati Ruri sama hangatnya dengan genggaman Daiki dan dia merasa tenang.
Kehadiran Ruri langsung menarik perhatian seisi sekolah itu. Anak-anak itu tertarik pada seorang anak perempuan yang menjadi siswa baru di sana apalagi anak itu sama sekali tidak mengeluarkan suaranya.
Ruri yang pendiam dan lebih senang menyendiri menjadi pusat perhatian mereka terutama para siswi di sana. Meski pun mereka masih berusia 7 tahunan, jalan pikiran mereka sudah mulai berkembang pesat. Rasa ingin tahu mereka berada pada urutan pertama. Di tambah lagi didukung oleh orangtua yang selalu ingin tahu.
Ketika salah satu anak perempuan di kelas Ruri menyebarkan berita bahwa Ruri adalah anak korban pembunuhan, perhatian mereka semakin menjadi-jadi. Bahkan kini siswa yang lebih besar tidak segan-segan mengejek keadaan Ruri yang menjadi anak korban pembunuhan.
"Kabarnya ayahnya kabur begitu saja melihat ibunya terbunuh."
"Ayahnya yang membunuh ibunya."
"Dia tidak mau bicara? Kurasa dia bisu."
"Apa rasanya menjadi anak korban pembunuhan? Pasti kau menjadi terkenal karena muncul di berita.".
"Sudah berapa banyak orang yang menyumbang hidupmu."
Ruri menutup telinganya mendengar semua komentar yang bermunculan. Dia semakin menjadi penyendiri. Sering kali tanpa kenal takut, Daiki akan datang dan berkelahi dengan mereka yang mencemooh Ruri. Kadang biasanya Daiki pulang dengan wajah biru lebam karena berkelahi membela Ruri.
Setiap saat Sakura bertanya, jawaban Daiki selalu sama. "Mereka menghina Ruri! Ruri hanya sendirian. Aku harus membelanya, Ibu," jelas Daiki polos.
Namun Ruri selalu memilih untuk menghindari teman-teman sekelasnya mau pun para kakak kelas dengan berada sendirian di tangga sebuah lorong sepi, memakan bekalnya sendirian di sana. Dia tidak mau Daiki selalu berkelahi karena harus membelanya.
Seperti siang itu, Ruri memakan bekal buatan Sakura sendirian. Dia duduk di dua tangga terakhir di lorong sepi yang jarang dilewati. Dia makan bekalnya dengan diam.
Sudah hampir setahun dia tidak pernah berbicara dan dia merasa nyaman dengan itu. Selama itu juga dia tinggal bersama keluarga Watanabe yang baik. Kedua orang itu bagai orangtuanya sendiri. Orangtua yang nyaris berada jauh di belakangnya. Ruri hampir-hampir tidak sanggup mengingat hari-hari buruknya semasa ibunya masih hidup bersama seorang ayah yang kejam. Tapi Ruri masih mengingat dengan jelas bagaimana ibunya meninggal. Dia masih ingat pesan terakhir ibunya sebelum menutup pintu lemari.
"Apapun yang terjadi, jangan bersuara."
"Ternyata kau di sini?"
Ruri mengangkat matanya dari bekalnya dan melihat bagaimana Daiki berdiri tegak dengan bercakak pinggang. Matanya menatap Ruri dengan penuh teguran.
"Rupanya kau bersembunyi di sini ya tiap jam makan siang?" tegur Daiki dengan lagak garang.
Ruri menunduk menatap bekalnya. Dia menutup kembali bekalnya dengan hati-hati. Daiki membungkuk.
"Kau tahu tidak mengapa lorong ini jarang dilewati?" Nada suara Daiki yang pelan-pelan menarik perhatian Ruri.
Ruri mengerutkan keningnya. Melihat ketertarikan Ruri, Daiki nyengir. "Karena di sini banyak hantunya." Daiki membuat gerakan dan mimik menakuti Ruri.

Bukannya takut, Ruri justru tertawa lebar. Dia berdiri dari duduknya dan melihat bagaimana Daiki mencibir tidak puas.
"Kau tidak takut?" Tanyanya penasaran.
Ruri menggeleng. Diraihnya telapak tangan Daiki dan dia mencoret-coret di telapak tangan itu dengan telunjuknya.
"Maaf?" Daiki mengeja tulisan yang dibuat Ruri dengan telunjuknya. Dia memandang Ruri yang tersenyum khas anak-anak. Diketuknya dahi anak perempuan itu.
Ruri mengangkat mukanya dan menunjukkan sorot mata marah. Daiki menggandeng tangan Ruri untuk segera menuju tempat ramai. "Kata Ayahku, aku harus bisa menjagamu. Kau dengar itu?" lirik Daiki sok menggurui.
Ruri membalas genggaman Daiki. Sebuah suara menyambut mereka di ujung lorong.
"Akhirnya ketemu juga."
Ruri dan Daiki melihat seorang anak laki-laki yang berusia beberapa tahun di atas mereka sedang bersandar di tepi jendela.
"Hideo senpai*," sapa Daiki dan dia berlari menarik tangan Ruri mendekati anak laki-laki yang lebih besar itu.
Senpai : panggilan untuk laki laki yang lebih tua
****

Waktu berlalu dengan pesat. Sudah dua tahun Ruri hidup dengan keluarga Watanabe. Kini dia sudah berusia 9 tahun. Dia tetap menjadi anak yang pendiam dan belum sekali pun dia mengeluarkan suaranya sejak kejadian pembunuhan ibunya 2 tahun lalu. Di sekolah dia juga tetap seperti itu. Diam dan tidak menonjol dalam hubungan sosial sesama teman. Bagi Ruri, dia memiliki dunianya sendiri di luar dari keluarga Watanabe yang sangat disayanginya. Dia tidak pernah mengecewakan Takao dan Sakura. Meski tidak segemilang Daiki, Ruri termasuk anak terpintar nomor 3 di kelasnya. Para pengajar di sekolah itu tahu riwayat hidup Ruri dan mereka tidak mempermasalahkan tentang ketidakinginan anak perempuan itu untuk berbicara. Para siswa di sekolah itu juga tidak lagi mencemooh Ruri karena kini penjaga anak perempuan itu bertambah satu orang, Hideo Katoo, yang kini menjadi seorang senior di Sekolah Menengah Atas di yayasan itu.
Takao dan Sakura selalu berpesan pada Ruri agar tidak terlalu mudah menyebutkan marganya kepada orang asing. Meski pun kedua orang itu tidak mengatakan alasannya, Ruri sudah mengerti maksud dari mereka. Takao dan Sakura berusaha melindunginya dari seseorang yang mungkin berbahaya baginya. Ruri masih terlalu muda untuk memahami kondisi dirinya namun nalurinya sebagai manusia mengatakan bahwa dia seharusnya bersembunyi.
Daiki juga tumbuh menjadi seorang anak laki-laki 10 tahun yang tampan. Dia begitu protektif dalam urusan Ruri. Meski kedua orang tuanya tidak menceritakan asal usul Ruri, Daiki yang sangat pintar menemukan jawabannya pada sebuah artikel koran lama di ruang kerja ayahnya. Dia membaca pada awalnya karena tertarik oleh foto Ruri yang ada di halaman depan. Tapi kemudian dia segera berlari menyusul Ruri yang saat itu sedang memandikan anjing pudel miliknya di halaman belakang. Dia memeluk anak perempuan itu sambil menangis dan berkata bahwa dia akan menjadi polisi seperti ayahnya agar dapat melindungi Ruri.

Tentu saja sejak saat itu Daiki semakin bertambah sayang pada Ruri. Dia tidak akan bisa berjauhan dari anak perempuan itu. Begitu juga sebaliknya. Ruri begitu membutuhkan kehadiran Daiki. Baginya anak lelaki itulah yang dapat membuatnya aman. Kedua anak itu selalu bersama ke mana saja dan sejak kejadian Ruri yang makan siang sendirian di tangga sekolah 2 tahun silam, keduanya sering ditemani oleh Hideo Katoo, anak dari Yoshio Katoo, partner Takao Watanabe. Hideo yang jauh lebih tua dari keduanya kerap kali berlaku menjadi seorang kakak laki-laki yang baik bagi Ruri dan senpai yang tegas pada Daiki. Tapi dari semua itu, Hideo menyukai kedua anak kecil itu dan tidak merasa bosan jika dia ditugaskan ayahnya untuk menjaga keduanya saat bermain seperti saat itu.
Musim panas tahun itu kedua keluarga Watanabe dan Katoo melakukan sebuah perjalanan liburan ke Pulau Odaiba, pulau yang berada di teluk Tokyo. Tentu saja itu adalah perjalanan pertama bagi Ruri selama hidupnya. Apalagi dia pergi bersama Daiki dan Hideo. Kegirangannya semakin bertambah ketika dia dapat melihat laut begitu dekat dengannya.
Anjingnya yang bernama Hani, menggoyangkan ekornya di sekitar kaki Ruri yang jenjang. Daiki menyentuh bahu Ruri dan tertawa. "Itu laut! Apakah kau pernah ke laut sebelum ini!" Daiki kadang lupa bahwa Ruri tidak bisu tuli sehingga dia sering kali berbicara berteriak di telinga anak perempuan itu.
Ruri terlihat meringis dan Hideo mengetuk kepala Daiki dengan gemas. "Aish...dia tidak tuli, Daiki," tegur Hideo.
Daiki menggaruk kepalanya yang diketuk Hideo. Dia menatap Ruri yang sudah asyik menatap lautan di depan matanya. Kakinya bergerak-gerak seolah gatal ingin merasakan air laut bergulung di seputar tubuhnya.
Suara panggilan Sakura di belakang mereka membuat dia mengurungkan niatnya menuju air laut. Hideo menarik lengan Ruri agar segera kembali ke villa dan berjanji akan menemaninya bersama Daiki.
"Nanti kita akan bermain setelah kau merapihkan pakaianmu di kamar dan mendengar petuah dari paman Takao," tawa Hideo.
Ruri tertawa. Dia menoleh ke belakang dan melihat Daiki sibuk memanggil anak anjing miliknya yang tampak berlarian sepanjang pantai. Dia menunggu anak lelaki itu berhasil mendapatkan Hani dan berjalan mendekat padanya. Setelah Daiki berjalan di sampingnya, barulah Ruri mengikuti Hideo menuju kembali ke villa.
Apa yang dikatakan Hideo tepat sekali. Setelah mereka sudah mengatur pakaian mereka di kamar masing-masing, Takao mulai banyak mengeluarkan peringatan pada kedua anak kecil itu.
"Ingat, kalian jangan ke laut jika air pasang. Jangan sekali-kali kalian ke tebing yang berada di bagian kiri laut. Jangan mencoba memasuki hutan di belakang villa," dan masih banyak lagi larangan yang diucapkan Takao membuat semua yang ada di ruangan itu tertawa.
Tapi semua larangan itu justru semakin menggugah rasa penasaran Ruri yang tidak pernah melihat laut. Maka ketika keesokan paginya, dia keluar dari villa itu bersama Hani tanpa sepengetahuan seisi villa termasuk Daiki dan Hideo.
Ruri begitu senangnya merasakan air laut yang sejuk di kakinya. Ombak bergelung di seputar betisnya dan dia tertawa ceria pada Hani yang juga menyalak kegirangan. Ruri sibuk menempelkan jarinya di bibir agar Hani tidak menyalak sekeras itu. Berulang kali dia menatap villa yang sepi di belakangnya. Tak ada satu pun yang menyadari bahwa dia telah berjalan-jalan sepanjang pantai.
Begitu asyiknya dia menikmati air laut sehingga dia tidak menyadari bahwa Hani telah menuju tebing yang berada di sebelah kiri pantai. Anak anjing itu tertarik oleh aroma daging segar yang dibawa oleh seseorang berpakaian serba hitam. Orang itu dengan hati-hati menarik Hani menaiki tebing yang curam itu yang di bawahnya tepat bagian laut yang dalam. Orang itu melirik anak perempuan yang tampaknya masih belum menyadari ke mana anjing berbulu putih itu berada.
"Menyalaklah!" perintah orang itu. Dia sengaja mendekatkan daging itu pada moncong Hani dan ketika binatang itu nyaris menggigit, dia sengaja melempar jauh daging itu tepat di tepi jurang. Hani menyalak nyaring membuat Ruri tersadar dan melihat anjingnya telah berada di atas tebing dan berlari menuju tepian tebing.
Seketika dia teringat larangan Takao. Jangan mendekati tebing di bagian kiri laut. Tapi melihat Hani berlarian di atas tebing licin itu, Ruri segera berlari menuju tebing.
Daiki terbangun ketika mendengar salak anjing yang keras berulang kali di luar villa. Dia segera mencelat dari tidurnya dan secara reflek menuju jendela kamarnya. Dia merasa telah mendengar suara salakan Hani. Ketika dia menyibak gordennya dia terkejut melihat Ruri yang berlari menuju arah tebing.
Tanpa pikir panjang lagi, Daiki segera keluar dari kamarnya dan berlarian menuju pintu. Hideo yang sudah bangun dan berada di dapur bersama Sakura heran melihat Daiki yang berlari keluar rumah masih dengan piyamanya.
Dia berteriak memanggil Daiki dan hanya mendengar samar jawaban anak lelaki itu. "Ruri menuju tebing!"
Hideo terpaku dan tersadar oleh teriakan panik Sakura. "Takao!! Ruri ke tebing!!"
Semua orang keluar dari kamar masing-masing dan Hideo lebih dulu berlari menyusul Daiki. Dia melihat bahwa kedua anak kecil itu saling susul menyusul ke arah tebing. Dia juga dapat melihat Hani berada di ujung tebing yang curam tengah mengendus sesuatu.
Ruri menaiki tebing yang licin itu untuk mendapatkan Hani. Dia mendengar panggilan Daiki tepat di belakangnya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati anak laki-laki itu sedang memanjat tebing pula. Dia juga bisa melihat bagaimana Hideo sedang mendekati tebing disusul oleh para orangtua.
Hani tidak menyalak melainkan mendengking pelan seperti dilempari sesuatu pada tubuhnya. Ruri sudah semakin mendekati Hani dan saat itulah sebuah ranting panjang terlempar ke arah laut tepat di depan Hani.
Tanpa terduga anjing itu melompat ingin mencapai ranting tersebut. Binatang itu mengambang di udara membuat Ruri juga melompat ingin meraih Hani. Lupa bahwa saat itu dia berada di tepi jurang yang licin. Lupa bahwa di bawah bukan rumput yang menantinya tapi gulungan ombak laut yang ganas.
"Ruri!" teriak Daiki. Secara reflek dia juga melompat ke depan dan sempat menangkap ujung sweater Ruri. Tubuhnya pun ikut limbung sehingga dengan terbelalak, Ruri baru menyadari bahwa mereka meluncur cepat ke bawah. Di mana laut menanti mereka bagai mulut raksasa yang terbuka.
"Daiki!! Ruri!!" teriak Sakura dan Takao.
Pemandangan itu sungguh mengerikan. Melihat kedua anak itu meluncur menuju laut yang dalam membuat Sakura pingsan saat itu juga.
Hideo terkesiap melihat Daiki dan Ruri meluncur jatuh dari tebing menuju lautan di bawah. Dia mempercepat gerakannya dan ketika berada di atas tebing, dia juga melompat ke laut untuk menyelamatkan kedua anak itu. Di balik bebatuan di tebing itu, orang berpakaian serba hitam itu mengirim sebuah pesan email. Perintah berhasil.