"Aku berjanji padamu, aku akan balas dendam pada orang yang membunuhmu!" ucap Alvaro seraya mengamati kancing besi dan tespack yang di pegangnya.
"Aku tidak bisa berpikir sekarang, sebaiknya aku menyelidikinya nanti. Sekarang aku harus memastikan Zenita hamil atau tidak." ucap Alvaro dalam hati kemudian mengetuk jendela penyekat mobil untuk bicara pada sopir Ambulans.
"Kita jangan pulang dulu, aku harus membawa jenazah Zenita ke tempat praktek temanku. Bawa aku ke sana." ucap Alvaro sambil memberi alamat pada sopir Ambulans tempat Praktek Dokter kandungan teman baiknya.
Tiba di tempat praktek Sheila, segera Alvaro memanggil Sheila untuk memperiksa Zenita.
Setelah beberapa saat memeriksa keadaan Zenita, Sheila memberikan penjelasan yang sangat mengejutkan Alvaro.
"Alvaro, alat tespack itu benar. Zenita saat ini sudah hamil 4 Minggu. Namun sangat aneh aku menemukan luka robek yang sangat parah pada selaput dara Zenita." ucap Sheila dengan wajah serius.
"Maksudmu apa Sheila! aku tidak mengerti?" tanya Alvaro dengan tatapan serius.
"Dengarkan aku Alva, kalau Zenita melakukan denganmu secara normal hanya beberapa hari saja selaput itu akan membaik. Tapi...tunggu!! Apa kamu melakukannya dengan Zenita, Alva? aku tidak percaya kalau kamu melakukannya dengan secara brutal hingga selaput dara pada lubang vagina Zenita terluka parah." ucap Sheila dengan tatapan tak percaya.
"Apa kamu percaya aku melakukan hal itu Sheila?" tanya Alvaro sambil mengusap wajahnya penuh dengan kesedihan. Zenita sama sekali tidak pernah menceritakan apapun padanya di bulan terakhir setelah pertunangan hingga menjelang pernikahan.
"Aku sama sekali tidak percaya, apa itu berarti ada orang lain yang melakukannya pada satu bulan yang lalu?" tanya Sheila dengan wajah sangat terkejut.
"Mungkin saja, Sheila aku minta padamu. Hal ini hanya kita berdua saja yang tahu. Aku akan mencari laki-laki bajingan yang telah berani menyentuh Zenita." ucap Alvaro dengan hati penuh dendam.
"Kamu tenang saja, rahasia ini aman bersamaku." ucap Sheila sambil mengusap bahu Alvaro seseorang yang pernah mengisi hari-harinya penuh dengan cinta, sebelum Alvaro menjatuhkan pilihannya pada Zenita wanita yang sangat manja.
"Terima kasih, aku akan kembali sekarang sebelum orang tua Zenita curiga aku belum datang." ucap Alvaro dengan tersenyum sedih.
"Aku akan datang besok pagi saat pemakaman Zenita. Zenita adalah temanku dan aku juga kenal dengan Tante Sofia." ucap Sheila ikut merasa kehilangan atas meninggalnya Zenita.
Alvaro menganggukkan kepalanya dengan pelan.
Kembali Alvaro menganggukkan kepalanya kemudian masuk ke dalam mobil ambulans.
Dengan penuh tanda tanya, Alvaro kembali membawa Jenazah Zenita ke rumah besar keluarga Darries.
Tiba di rumah besar Darries, semua kerabat keluarga besar Zenita sudah menunggu di depan rumah, juga para tetangga dan teman-teman kerja Zenita.
Rumah Zenita penuh dengan para pelayat yang ingin mengantar Jenazah Zenita untuk yang terakhir kalinya. Apalagi Ayah Zenita seorang jendral yang sangat di segani di kota A.
Tak terasa hari sudah menjelang pagi, Tiara dan Damian baru saja datang dan segera menemui Alvaro yang terdiam di tempatnya.
Suara tangisan masih terdengar di mana-mana, hingga setitik airmata Alvaro kembali menggenang di kedua sudut matanya.
"Alvaro, jangan bersedih lagi, kamu harus kuat untuk menghibur keluarga Zenita terutama Tante Sofia dan Om Darries. Shalat jenazah akan di mulai, pergilah ke sana." ucap Tiara seraya mengusap bahu Alvaro.
Alvaro menganggukkan kepalanya kemudian masuk ke dalam rumah untuk melakukan shalat jenazah.
Beberapa menit kemudian, setelah selesai menshalatkan Jenazah Zenita. Jenazah Zenita di pindahkan ke dalam kereta jenazah untuk segera di makamkan pagi itu juga.
Kesedihan Alvaro sangat dalam. Tapi Alvaro tidak bisa menunjukkan kelemahannya di hadapan orang tua Zenita. Karena hanya dirinya saat ini yang bisa menghibur dan menenangkan perasaan sedih mereka.
Kereta jenazah Zenita terus berjalan di bawah langit yang masih basah penuh dengan embun. Shalawat para pelayat mengiringi jenazah Zenita ke pemakaman.
Suasana berkabung masih sangat terasa di hati semua orang yang mengenal Zenita wanita cantik, ramah dan manja.
Proses pemakaman berjalan dengan khidmat penuh kesedihan. Suara doa-doa masih terdengar walau proses pemakaman sudah selesai.
Sebagian keluarga besar dan para tetangga juga teman-teman Zenita sudah meninggalkan tempat pemakaman.
"Alvaro!!" panggil seseorang dari arah belakang.
Alvaro membalikkan badannya dan melihat seorang wanita yang berdiri tegak dengan nafas terengah-engah, air mata mengalir deras di kedua mata wanita itu walau tanpa mengeluarkan suara.
"Luna!" panggil Alvaro dengan penuh kesedihan. Saudara kembar Zenita sudah datang masih dengan memakai seragam kebesarannya sebagai anggota militer yang sangat tangguh.
Tanpa sebuah kata, Luna menghampiri Alvaro dan duduk di sampingnya.
"Bagaimana ini bisa terjadi? kenapa kamu tidak bisa menjaga Zenita?" tanya Luna sambil mengusap batu nisan Zenita.
"Maafkan aku, kamu bisa menghukumku. Aku memang laki-laki yang tidak bertanggung jawab." ucap Alvaro dengan wajah tertunduk.
"Sebelum aku pergi, bukankah kamu sudah berjanji padaku untuk menjaga dan membahagiakan Zenita? tapi sekarang, Zenita pergi dengan cara bunuh diri? bagaimana ini bisa terjadi? apa kamu telah menyakiti hati Zenita?" tanya Luna dengan kedua matanya yang merah.
"Apa kamu percaya aku menyakiti hati Zenita?" tanya Alvaro dengan suara tercekat.
Luna menatap dalam wajah Alvaro, bagaimana bisa dia percaya Alvaro melakukan hal itu. Selama bertahun-tahun lamanya dia telah mengenal hati seorang Alvaro luar dan dalam. Alvaro adalah laki-laki yang sangat baik, penuh kasih sayang dan penuh perhatian, menghargai semua wanita yang di kenalnya.
"Maafkan aku, tapi aku masih tidak bisa percaya bagaimana Zenita bisa melakukan bunuh diri? aku sangat yakin Zenita wanita yang sangat kuat dan keras kepala walau manja. Zenita tidak mungkin bunuh diri, walau apapun yang terjadi." ucap Luna menatap batu nisan Zenita dengan tatapan tak percaya.
"Aku akan menceritakan sesuatu padamu, tapi tidak sekarang. Sebaiknya kita kembali pulang, semua orang sudah pulang. Tidak akan baik kalau kita masih di sini terus." ucap Alvaro seraya mengusap bahu Luna.
"Aku tidak bisa pergi meninggalkan Zenita di sini sendirian. Aku tidak bisa meninggalkannya Alvaro, aku belum bertemu Zenita sama sekali sejak lima bulan yang lalu." ucap Luna menumpahkan semua rasa sedihnya di hadapan batu nisan Zenita.
"Kamu harus bersabar dan kuat Luna. Jangan melepas kepergian Zenita dengan tangisan. Doakan Zenita agar lebih tenang di alam sana." ucap Alvaro membelai puncak kepala Luna.
Luna terdiam, perlahan mengusap airmata yang masih tersisa di wajahnya.
Dengan penuh perasaan, Luna mengusap lembut batu nisan yang bertuliskan nama Zenita Darries.
"Zenita, maafkan aku kalau aku masih menangis sampai saat ini. Harusnya aku melepasmu dengan doa. Aku akan selalu berdoa untukmu Nit, kamu tenang di sana ya." ucap Luna seraya menatap sedih ke tanah basah yang penuh dengan bunga.