Chereads / Friend and Rival / Chapter 17 - Das Ultimatum [Zweiter Teil]

Chapter 17 - Das Ultimatum [Zweiter Teil]

Luna Lusiana POV

"Semuanyaaa! Siapkan HP kalian yaa ...," ujar kak Hannah.

HP? Untuk apa? Tunggu ... jangan bilang, kalau votingnya online. Apakah perkiraan Rafael meleset? Seingatku ... dia bilang akan ada dua kemungkinan sih. Antara memakai cara lama atau modern.

Masih bertempat di aula dengan suasana teratur dan cukup tegang. Para murid telah memegang gawainya masing-masing. Namun, aku sendiri masih cukup bingung untuk memahami cara yang akan dipakai para Osis dalam pemilihan ini.

Semua murid telah bersiap untuk memvoting seseorang untuk dijadikan ketua kelas E.

"Semuanya! Silahkan perhatikan layar hp kalian," suruh kak Darius.

Setelah mendengar ucapan tersebut, aku langsung menatap layar hpku. Kukira awalnya layar hpku ini akan berubah atau muncul sesuatu yang cukup membuatku bingung. Tapi, kenyataannya hanya ada sebuah pesan e-mail yang masuk.

"Sudah? Coba dibuka pesannya yaa ...," sahut kak Hannah.

E-mail ini dikirim oleh pihak sekolah. Isinya cukup jelas bahwa menyuruh kami semua untuk memilih salah satu dari dua kandidat yang akan memimpin kelas E.

Tunggu ....

Bagaimana dengan rencana kami?

Seingatku Rafael hanya mengatakan kalau rencana yang dia buat akan berjalan lancar, jika sistem pemilihan menggunakan cara manual. Diriku mulai panik dan secara bersilih ganti melihat ke arah Ivan dan Clarissa. Setengah kepanikkanku membuat Clarissa heran.

"Luna ...," panggil Clarissa.

"Eh? Kenapa?"

"Kamu tuh yang kenapa ... tadi nyuruh aku tenang, sekarang malah kamu yang kelihatan panik gitu."

Eh? Apakah, aku akan mengacaukan rencana ini? Atau rencana ini tak akan berjalan lancar? Meskipun artinya sama, tapi rasanya tidak akan berjalan lancar sesuai skenario. Kalau gagal ... astaga! Meskipun aku ini sering bersikap cuek dan judes kepada Rafael, tapi aku gak bisa ngebayangin kalau dia marah karena kelalaianku dalam menjalankan rencananya.

"Luna, kuharap kau ada cara lain untuk membujuknya," bisik Ivan.

"Iya? Eh? ... ehm ... kurasa tak ada cara lain, hasil voting pasti akan muncul dengan cepat sebelum aku sempat berbicara dengannya," balasku.

"Kurasa tidak akan secepat itu ...."

"Hah? Kok?"

"Per kelas diberikan waktu 15 menit untuk menentukan pilihannya sekaligus diperhitungkan jumlah suara kelasnya."

"Itu artinya ...."

Jadi ... meskipun cara yang dipakai cukup modern, namun sistem penghitungan suaranya tergolong lambat. Hanya saja, karena votingnya langsung dilakukan di tempat duduk masing-masing, aku masih belum menemukan peluang untuk mendekat dan membujuknya.

"Jangan terlalu berpikir keras ... pemilihan telah dimulai, sebaiknya kamu segera memilih Yurika sebelum lupa," sahut Ivan

Sudah mulai? Sejak kapan? Ah lupakan, aku tidak peduli! Sekarang aku hanya butuh mengklik link yang ada di e-mail ini. Linknya mulai mengarahkanku ke sebuah website, sudah dipastikan kalau laman ini milik sekolah. Hmm ... aneh ..., rasanya aku tidak tahu jika sekolah ini punya website resmi, atau hanya firasatku saja?

Halaman website yang muncul sangat mirip dengan yang terlihat jelas pada kertas surat suara pada umumnya. Ada foto dan nama serta kelas kandidat, namun ... kenapa ada identitasku juga? Bisa kupikir nanti saja, lebih baik kuklik sekarang saja gadis yang bernama Yurika.

"Lalu bagaimana dengan suaranya Rafael?" gumamku.

"Tenang saja, dia memberikan akun e-mailnya kepadaku," sahut Ivan.

"Eh van!" panggilku.

"Sudah ... kamu jangan terlalu berpikir keras, hampiri saja dia dan ajak ke suatu tempat, dia pasti menerima perintahmu," jawab Ivan.

"Semudah itu kah?"

"Kau tak lupa kasta kita di sekolah ini, kan?"

"Kalian berdua bahas apa sih?" tanya Clarissa.

"Bukan apa-apa kok Clarissa ...," sahut Ivan.

"Iya ... bukan apa-apa kok, oh iya kamu harus milih si cewek itu yaaa ...," ucapku.

"Oh oke sip!" balas Clarissa.

Ngomong-ngomong soal ucapannya Ivan barusan, semudah itu kah dia mengatakannya? Tak kusangka lelaki bijak seperti Ivan akan mengingatkanku mengenai posisi kasta. Tapi ... apakah benar akan semudah itu untuk memerintah seorang murid yang posisi kelasnya berada di bawah kelasku? Sebelumnya aku tak pernah mencoba hal itu, tapi ... mungkin harus kucoba. Sekarang ... mari kita lihat situasinya.

"Wah suara-suara dari kelas A rupanya telah terkumpul dengan cepat sekali. Bahkan, waktu yang tersisa pun masih lama sekitar sepuluh menit," ujar kak Hannah.

Oke ... kurasa sekaranglah waktu yang tepat. Aku langsung bangkit dari tempat dudukku dan segera berjalan menuju ke kiri. Si pembawa acara sejenak terdiam dan murid-murid kelas lain rasanya mulai memperhatikan gerak-gerikku. Aku sudah menduga hal ini dan telah terbiasa untuk dihadapkan dengan situasi seperti ini.

"Halo adik manis berambut pendek dari kelas A ... kamu mau kemana?" panggil kak Darius.

Baru juga diriku sampai di kursi paling kiri bagian kelasku, pertanyaan itu telah dilontarkan begitu saja. Untuk situasi seperti ini, sudah pasti aku tak boleh terbawa emosi. Aku mencoba menoleh ke arah pembawa acara dan menjawab,

"Ah saya mau ke toilet dulu kak ...," jawabku.

"Sendirian aja tuh?" tanya kak Darius.

"Kalau sendirian, kakak mau nemenin?" godaku.

"Ah enggak lah ... kakak cuma penasaran ... terus yakin tuh cuma sendirian aja?" ucap kak Darius dari atas panggung.

Apakah dia mencurigaiku? Kurasa tidak. Kalau kulihat dari ekspresi wajah, sepertinya kak Darius benar-benar penasaran. Situasi yang tepat untuk menyeretnya.

"Gak kok kak ... saya ke toiletnya bareng temen dari kelas E," ujarku.

Suasana mulai terlihat sedikit ribut. Sorotan perhatian dari mereka semua mulai berbicara dengan konotasi buruk. Apakah mereka merasa heran jika ada anak kelas A berteman dengan kelas E? Yaa ... meskipun kenyataannya aku tak memiliki hubungan dengan murid dari kelas E dan kali ini hanya untuk menjalankan rencananya Rafael.

"Ooo gitu, silahkan ...," ucap kak Darius.

Setelah mendengar ucapannya. Aku langsung melanjutkan langkahku berbelok ke kiri dan melewati satu demi satu deretan kelas.

Aku sudah tidak peduli dan mendengarkan ocehan pengisi suara di depan sana. Kelas B, C, D di setiap kelas pasti saja ada yang melirik maupun melihatku. Apakah karena sikap? Penampilan? Bukan bermaksud sombong tapi kenyataannya rata-rata mata para lelaki yang mendominasi.

Hingga akhirnya aku telah berada di samping deretan kursi kelas E. Belum sempat kutatap mereka. Para murid dari kelas ini telah melihatku dengan raut muka curiga dan penasaran. Ya sudah ... aku harus tetap tenang dan menghadapi situasinya. Aku mulai tersenyum manis dan menatap ke arah murid-murid kelas E. Aku baru sadar jika posisinya cukup jauh dari tempatku berdiri. Berarti aku harus memanggilnya kemari.

"Yurikaaa ...," panggilku.

"Eh iya? Ada apa?" sahutnya.

"Sini dong ...."

Yurika sempat kebingungan dan sedikit bertanya ke teman-teman yang berada di sampingnya. Namun, teman-temannya sendiri menyuruhnya untuk menuruti ucapanku. Dia mulai bangun dari tempat duduknya dan mencoba menghampiriku. Ckckck ... semudah itu ya? Dasar emang ... murid kalangan bawah ....

"Iya ... ada apa?"

"Anterin aku ke toilet dong."

"Eh? Kenapa aku?"

Aku mulai menggapai dan memegang kedua tangannya. Mulai memasang muka melas dan kuselipi sedikit ekspresi pemaksaan.

"Please ... tolong anterin aku ke toilet ...," pintaku.

"Kenapa aku? Eh? Kenapa gak barengan sama teman ... ahh," ujar Yurika diakhiri dengan erangan sakit.

Tujuanku memegang tangannya karena untuk memaksanya secara fisik. Aku telah meremas sedikit tangannya dan sesekali kuku ibu jariku menusuk telapak tangannya.

Aku mendekatkan wajahku ke telinganya dan sedikit berbisik kepadanya, "ini perintah dari murid kelas A, loh ...."

Dia sedikit gemetaran dan pada akhirnya dia mengangguk. Aku mencoba tuk menanyainya lagi.

"Gimana? Mau, kan?"

"Ahh iya ... aku mau anterin kamu ke toilet."

Setelah itu aku melepaskan salah satu tangannya dan segera bergegas ke toilet sambil menarik tangannya yang lagi satu.

>===÷===<

Sesampainya di toilet. Aku sebelumnya telah memastikan bahwa tak ada siapapun di sini. Kurasa tempat ini benar-benar titik buta sekolah. Informasi tersebut kudapatkan dari Rio. Aku segera menutup dan mengunci pintu masuk toilet. Kunci ini juga diberikan oleh Rio. Menjadikan orang semisterius Rio berada di fraksi kami memanglah hal yang sangat menguntungkan.

"Ehm ... kamu siapa? dan ... maumu apa?" tanya Yurika.

"Cukup mudah jika kamu bisa melakukan hal sejujurnya ...."

"Hah? Maksudmu?"

"Perkenalkan ... aku Luna dari kelas A sebagai tangan kanannya Rafael ...." Meskipun dia tak pernah menyebutku sebagai tangan kanannya sih, hanya saja ini untuk memastikan dirinya.

"Ra ... Ra ... Rafael?"

Dia gugup? atau ... ketakutan? Apakah dia takut kepada Rafael? Mungkin ini akan terasa mudah untuk menyuruhnya beberapa hal.

Aku melangkah dan mempersempit jarak dengan maksud menyerang pendiriannya. Semakin kudekati sampai dia keliatan sedikit ketakutan dan khawatir akan sikapku. Hingga akhirnya, dia mulai terpojok dan badannya menempel di tembok keramik itu. Diriku dengan senyum licik ini masih memperhatikan raut wajahnya yang manis namun dihiasi dengan kekhawatiran yang cukup membuatku puas. Sejujurnya diriku merasa senang jika melihat seseorang yang sedang khawatir maupun ketakutan.

"Mungkin terdengar seperti pemerasan, tapi ... pada sesi pemilihan ketua kelas A nanti, kamu dan teman-temanmu harus memilih Rafael."

Dia hanya terdiam dan masih terlihat tegang. Aku tau dirinya ingin menolak permintaanku, hanya saja dia tak berani mengatakan hal itu. Aku mencoba berhenti menatapnya dan sesekali melihat ke sekitarku sambil memastikan lagi jika tak ada orang sama sekali. Aku mulai mengeluarkan HP ku.

"Kau tau kan ... diriku yang sebagai tangan kanannya Rafael ini sangatlah berpengaruh di kelas-"

"Tidak Mau!" potong Yurika.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kami semua sudah berjanji memilih-"

"Edward, kan?" Dengan cepat telunjuk kiriku sudah menempel di bibirnya dan tangan kananku menunjukkan layar HP yang sedang menampilkan bukti bahwa diriku sudah memilihnya.

Sepertinya dia perlahan-lahan akan tenang, selain itu dirinya mulai terbiasa dengan sikapku. Kalau begitu aku harus mengambil langkah lebih dari ini. Telunjuk kujauhkan darinya dan tangan kananku mulai mengantongi kembali HPku.

"Jadi gimana? Kamu bisa mendapatkan suara lebih dari enam orang loh, bahkan ... suara seluruh kelas A bisa kamu miliki," ucapku.

"Tapi ...."

"Yaa?"

"Aku dan Edward juga menjanjikan hal yang sama."

Kedua tanganku secara cepat memegang kedua pundaknya, lucunya dia pada saat itu juga bereaksi kaget dan kembali tegang. Kini aku lebih mendekatkan wajahku ke arahnya, hingga kedua kening kami hampir bersentuhan. Aku sedikit mendengar dan merasakan desahan nafasnya yang mulai tak beraturan. Tangan kananku yang tadi berada di pundaknya kini secara perlahan naik ke tengkuk lehernya dan sesekali meraba-raba bagian tersebut.

"Yurikaaa ...," panggilku lembut.

"A ... a... ah iya?" sahutnya

Tangan kiriku mulai bergerak ke bawah secara perlahan sembari itu, "kamu tahu kan ... kalau terkadang lelaki itu mudah sekali berdusta maupun berbohong ...."

"Eh ... aku gak tau ... eh! geli tau!" responnya saat jemari tangan kiriku secara halus baru saja sampai di daerah sikunya.

"Benarkah? Seharusnya kamu tau dong," ucapku sambil melanjutkan pergerakkan tangan keluar dari daerah lengannya dan langsung hingga di bagian pahanya.

"Ah ...." Suara kagetnya saat tangan kiriku telah mendarat di bagian yang kurasa adalah daerah sensitifnya.

"To ... long ... berhenti ... meraba bagian itu ...," erangannya yang cukup membuat seorang lelaki terlena dan ingin bergabung melakukan hal ini.

Terkadang badannya terasa bergetar, mungkin sudah termasuk respon alami darinya. Tangannya mulai melawan dan berusaha menjauhiku darinya. Namun aku tetap sadar, bahwa diriku tak seharusnya menghabiskan waktu lebih lama di sini. Tangan kiriku ini semakin naik ke bantalan empuk di belakangnya itu, hanya saja tak masuk ke dalam roknya. Mulai dari situ, jemariku dengan sedikit gemas meremas dan meraba hingga dirinya semakin bersikeras dan berusaha menjauhkanku dari dirinya.

Perlawanannya serta suara desahannya mulai melemah. Badannya merosot kebawah hingga dia terlihat tak kuat untuk berdiri. Kurasa ini kesempatan yang bagus untuk merebut sesuatu darinya. Momen yang sesuai skenario akan sampai pada titik dimana.

"Luna ... tolong ... meskipun kamu ... cewek, hal seperti ini bisa kulaporkan ...," ucap lemas Yurika.

Kedua tanganku langsung kujauhkan dari tubuhnya. Dia cukup terlihat lemas karena mendapatkan beberapa rangsangan dariku. Namun, dia tetap tak sadar bahwa ada yang hilang dari dirinya. Yaa .. aku telah merebut hal itu secara diam-diam

"Yakin ngelaporin aku?" ucapku sambil menunjukkan HPnya yang kini berada di genggaman tangan kiriku.

"Eh! HPku?" respon Yurika kaget langsung mengecek kantong jasnya.

Anehnya dia tetap tak percaya bahwa yang ada di tanganku ini adalah HPnya dan tetap melanjutkan mencari ke kantong bajunya. Selagi dia bingung, dengan cepat jariku ini mulai membuka dan mengirim apapun yang ada di dalam HPnya ke alamat e-mailku. Aku turut bahagia karena wifi sekolah sangatlah kencang. Data di HPnya yang hanya kurang lebih segiga dapat kukirim sebentar saja.

Yurika mulai bangkit dan berusaha merebut kembali HPnya, "sini balikkin HPku!"

Tangannya sangat cepat dalam merebut benda tersebut. Aku sendiri sampai takjub dengan gerakan secepat itu atau ... mungkin diriku saja yang lengah. Toh juga ... segala yang ada di dalam HPnya telah tersalin ke dalam HPku. Aku mulai mengambil HPku yang berada di kantong jas dan segera membukanya lalu mencari sesuatu yang mampu memerasnya.

"Jadi ... gimana?"

"Aku tetap gak bakal mau milih Rafael!" tegas Yurika.

Raut mukanya yang kesal itu sirna dengan cepat ketika diriku menampilkan sebuah fotonya yang berada di dalam galeriku. Aku suka melihat wajah keputus-asaan itu, lucunya ... kedua matanya mulai mengeluarkan sedikit air mata.

"Mungkin ini sedikit memeras, tapi kalau kamu memang melakukan yang sejujurnya, hal ini tak akan terjadi ...," ujarku.

Dia mulai menundukkan kepalanya dan mengepalkan kedua tangannya. Terlihat jelas ingin melawan namun tak bisa berkehendak.

"Untungnya buat aku apa?"

"Bukan masalah keuntungan, tapi ... apakah Edward akan benar-benar memilihmu? Berani taruhan jika dia tidak memilihmu?"

"Eh?" sahut Yurika tiba-tiba mengangkat wajahnya.

Entah kenapa sekarang aku malah merasa kasihan melihat wajah kusutnya yang luntur karena air mata itu. Aku jadi ingat beberapa hal menganai cewek ini. Kemarin Rafael sempat bercerita secara singkat tentang masa lalunya. Mengingat hal itu, aku sendiri rasanya jadi sedikit perhitungan untuk menjatuhkan mentalnya. Mungkin aku sudah terlihat cukup jahat di hadapannya. Secara spontan diriku pun mendekatinya, namun kali ini. Aku malah memeluknya dan membisikkan sesuatu kepadanya.

"Jika benar ... maukah dirimu kembali lagi ke sisinya? Kamu akan mendapatkan perlindungan yang besar dari kejamnya diskriminasi sekolah ini."

>===o===<

Cerita ini adalah fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di Cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Nächster?

Immer noch im selben Abschnitt

>===#===<